Senin, 26 Mei 2014

Pemangsa Malam.

Dahulu kala di dunia bagian barat daya, dibawah angkasa dan bernuansa sederhana. Angin nya begitu bisa membuat siapa saja yang merasakanya seakan terbang, matahari satu-satu nya membuat semua pepohonan menyambutnya dengan hangat. Ada satu ekor srigala jantan sedang mengaung mencari arah untuk pulang. Srigala itu tersesat dan hampir akan putus asa, dia lelah dan selalu kelaparan. Srigala itu sangat membenci malam, karena saat itu dia sangat merasa sendirian.   

“Hay semesta! Lihat aku!! Begitu menyedihkanya aku.” srigala itu mengaung   

“HAHAHA ya. Memang sangat menyedihkan.”   
“Siapa itu?” srigala itu mencari asal suara yang membuatnya semakin terasa meyedihkan   

“Aku!” burung hantu cantik meneriaki nya dari batang pohon yang berada jauh diatas kepala srigala itu   

Srigala itu tak menghiraukanya, dia menganggap bahwa burung hantu itu hanya melewatinya dan beberapa saat akan pergi dari pandanganya. 

Srigala memejamkan matanya untuk beberapa saat, mengistirahatkan tubuhnya yang berdarah-darah karena perjalanan yang melelahkan. Menangisi kini tak ada rasa lagi baginya, dia hanya bisa membaringkan tubuhnya yang sudah tak memiliki energi penuh seperti biasanya.   

Pertengahan malam srigala itu terbangun dan kemudian tersenyum. Hati nya merasa nyaman dengan suara yang lahir dari malam, ditambah desiran angin yang tersaring oleh daun-daun pohon yang dijadikannya tempat peristirahatan. Lelah nya tiba-tiba hilang, beban nya tersapu oleh angin malam. Untuk pertama kalinya srigala itu merasakan nafas nya lagi masih berada didalam tubuhnya, pendarahanya kembali berjalan seperti biasanya.   

“Dari mana kamu belajar mengeluarkan suara yang sebegitu merdunya?”  

“Aku sama sekali tak melakukan apapun. Aku hanya bernyanyi sambil menghibur malam agar tak merasa kesepian.” Burung hantu itu tersenyum   

“Apa jangan-jangan kamu yang merasa kesepian?” srigala mulai mempermaikan waktu malam bersama burung hantu yang cantiknya seperti sinaran bulan   

“HAHA tidak. Aku hanya ingin menghibur malam.”   

“Malam sudah ditemani oleh bulan dan jutaan bintang. Mungkin kali ini kamu harus menghiburku.” Srigala itu tersenyum manis berusaha agar gigi nya tak terlihat menakutkan untuk burung hantu   

Malam itu, srigala dan burung hantu berteman dan membicarakan banyak hal. Srigala bercerita bahwa dia sedang merasa kesepian dan ingin sekali menemukan jati diri yang sampai sekarang belum dia temukan. Sedangkan burung hantu bercerita bahwa dia sangat senang berpetualan dan berbicara bersama malam.   

Beberapa hari kemudian srigala dan burung hantu sangat dekat. Mereka bersama menyelusuri siang dan malam, memburu angin dibawah angkasa. Burung hantu setia disisi srigala tanpa pernah merasa takut bahwa dia akan terluka atau dimangsa, meskipun srigala sangat lapar. Setiap malam srigala selalu meminta burung hantu bernyanyi untuknya.  

“Kamu percaya takdir?” srigala bertanya pada burung hantu yang berada tepat diatas kepalanya   

“Tentu. Apa kamu percaya?”   

“Tidak. Jika bukan karna kesalahan takdir yang masih saja belum bisa menemukan jati diriku. Mungkin aku tak akan merasa kesepian. Aku beruntung memiliki kamu disisiku.”   

Burung hantu hanya tersenyum.   

Ratusan hari sudah mereka lewati bersama, mengolok-ngolok malam yang semakin hari semakin membuat srigala itu bahagia. Burung hantu bernyanyi semakin membuat srigala itu jatuh hati. Baginya, burung hantu adalah bulan yang dapat terbang. Burung hantu itu bercahaya dan terlihat berbinar-binar dimatanya. Semakin lama srigala itu menjadikan burung hantu adalah segalanya.   

Tanpa terasa,   

“Apa kamu tak merindukan kelompokmu?” burung hantu itu bertanya diantara malam yang tak terlihat ada bintang   

“Mengapa kamu menanyakan ini padaku?”   

“Kamu sudah menjadi srigala yang sesungguhnya. Memangsa, mengaung gagah dan sudah dapat berteman dengan malam.”   

Srigala terdiam…   

Malam berikutnya burung hantu tak terlihat ditempat biasa kaki kecilnya meremas batang pohon tinggi yang menjulang. Srigala resah dan berharap tak ada yang berubah. Namun ternyata salah, srigala menyadari ada yang berbeda. 

Burung hantu kini merindukan kepakan sayapnya yang bebas menciumi langit-langit malam.   

“Kamu tau takdir? Aku dan kamu ditakdirkan untuk saling bertemu dan belajar menemukan jati diri masing-masing. Darimu aku belajar menjadi burun hantu yang tak takut memilih jalanku, belajar tak takut pada apapun yang ada dihadapanku.”  

Srigala itu mendengarkan suara merdu burung hantu kini berubah menjadi salam perpisahan. 

“Kamu rindu berpetualang bukan?”   

Burung hantu terdiam dan memandang angkasa. Langit malam berkelipan seperti sebuah pertanda mengajaknya untuk terbang bersama. 

“Teruslah berlari dan mengaung sekeras mungkin. Agar aku akan terus mendengar bahwa kamu baik-baik saja. Dan jadilah srigala yang memiliki segalanya.”   

“Karna mu, aku sangat mencintai malam. Aku akan sangat merindukan suara mu.” 
Srigala meneteskan air mata dan menjilatnya karna belum pernah merasa kehilangan yang sesungguhnya   

“Suaraku akan terdengar ditelingamu. Meskipun nanti aku berada sangat jauh darimu.”   

Srigala menatap ke angkasa, melihat burung hantu itu mengepakan sayapnya dan pergi berpetualang dan meninggalkanya. Lalu srigala itu berlari, berusaha menemukan kelompoknya dan memulai jati dirinya dengan bahagia karena malam kini ada dipihaknya.

Selasa, 13 Mei 2014

Langit Untuk Angga (part 3)

Hari ini adalah hari terakhir aku melaksanakan ujian nasional. Setelah keluar dari ruangan ini, dengan resmi aku sudah selesai urusan dengan dunia pendidikan sekolah menengah atas. Sepulang nya, kepalaku seperti tergoncang keras karena pergantiian pemikiran dari soal menjadi memikirkan soal Angga.   

Aku kehilangan komunikasi dengan angga setelah angga meninggalkanku ke bali, padahal seminggu setelah angga pergi, aku dan angga masih berkomunikasi dengan baik, saling bertanya kabar, memberikan semangat satu sama lain, melakukan percakapan dengan telepon genggam. Hampir semalaman aku merayu ibu agar mengizinkan aku menunggu kelulusan di kota bandung, alasan yang logis untuk aku sambil menunggu ditemukan oleh angga.   

***   

Satu hari, dua hari, tiga hari, seminggu sudah aku menunggu angga yang ternyata tetap tak kunjung datang. Rasanya seperti mengharapkan hujan salju di tengah-tengah kota; suatu ketidakmungkinan dan satu hal yang mustahil bukan.   

Ini adalah minggu malam ke dua aku di Kota bandung menunggu angga pulang ke sisi ku lagi. Seperti anak remaja lainya, aku memasang status di Blackbery Mesangger. Bebera menit setelahnya ada chat masuk dari teman lama ku,   

“Lang, kamu di bandung?”   

“Ya. Hehe”   

“Sekarang kamu dimana?”   

“Di rumah.”   

“Rumah mu masih disana kan?”   

“Ya, tentu saja. Ada apa din?”   

“Tunggulah sebentar! Aku akan kesana beberapa menit lagi. Aku rindu sekali padamu.”   

“Haha okey. Hati-hati.”   

“Oke”   

Satu jam menunggu akhirnya dia datang, wanita berambut pendek dengan memakai gaun biru tua dan renda-renda menginjakan kaki nya di teras keramik berwarna biru mengkilap ku.   

“Dinda Putri Cantika! Aku rindu padamu!” aku menyambutnya dari balik pintu   

“Ya! Aku juga langit!” dinda memelukku erat dan kami pun berpelukan   

“Tumben, ada apa nih mau datang jauh-jauh kesini?” tanyaku langsung   

“Haha masih aja jutek nya kamu ini lang! aku mau ke dago, mewakili tante ku ke acara pertunangan anak bos nya. Sekalian aja mampir kesini. Hehe”   

“Yaelah! pantes aja pakaian mu formal gitu, pake gaun pula. Haha” aku tertawa puas sambil mencolek-colek gaun dinda dengan jahil   

“Hmmm, ya sekalian mau minta temenin dong lang. Sekalian bisa nongkrong sama temen lama.” Dinda nyengir   

“Ah gak mau ah males.” Jawabku singkat   

“Please langit, aku gak ada temen!! Gak kangen apa kamu main sama aku?” Gaya nya sudah seperti anak yang merengek minta naik kuda-kudaan 

“Kangen sih. Lagian aku ga ada kerjaan. Yaudah deh ayo.” Aku menyerah   

“Nah gitu dong. Ayo!” dinda bergegas berdiri dari kursi di ruang tamu menuju pintu   

“Bentar! Aku siap-siap dulu. Masa pake baju tidur kaya gini sih?”   

“Iya iya. Cepet ya” dinda sewot   

Aku hanya bisa diam, tak percaya dinda yang lugu dan polos bisa dengan gagah nya menyetir mobil nya sambil sesekali memainkan ponsel nya, padahal seingatku, di sekolah menengah pertama dulu dinda sama sekali tak berani menyetir sepeda motor milikku. Wajah nya sudah terias sempurna dan terlihat cantik. Dinda yang ku kenal dulu begitu pendiam dan kekanak-kanakan, dan dinda yang sekarang terlihat lebih dewasa. Sangat jauh berbeda.   

“Lang, sejak kapan kamu pake jilbab gitu?” dinda memulai percakapan   

“Sejak pindah.” Jawabku singkat   

“Cantik loh beneran deh. Keliatan cewek nya.” Dinda tertawa mengejek   

“Maksudnya apa?” nada bicaraku meninggi

“Dulu kan kamu preman banget lang”   

“Sialan!” ku tepuk jidat nya yang lebar   

“Aww! Sakit tau!” dinda mengerutkan alis nya sambil tertawa melihat tingkah ku yang masih kekanak-kanakan. Dan kami pun tertawa bersama   

Sesampai ditempat yang di tuju Dinda langsung memarkirkan mobil nya. Kami berdua turun, terlihat tak sedikit orang yang menggerombol masuk dan keluar dari gedung yang besar ini, ku tebak ini adalah pertunangan yang hebat. Dengan lampu yang tertata rapi juga orang-orang yang terlihat adalah orang-orang besar dan punya wewenang juga jabatan yang tak cuma-cuma.   
“Baru tunangan aja udah kaya gini, gimana lagi kalau sampe nikah ya lang.” dinda nyerecos dengan suara pelan dan datar   

“Iya nih.” Ku jawab singkat dengan memendam rasa penasaran   

***   

Baru masuk gedung, dinda sudah menghilang entah ke arah mana. Mungkin lagi cari makan karena kelaparan. Aku berjalan berkeliling gedung, takjub dengan dekorasi gedung dan semua yang tertata rapi di acara pertunangan ini.   

Beberapa langkah, aku dikejutkan oleh wajah yang tak asing untukku. Tanpa memikirkan lebih jauh, aku menghampirinya perlahan sambil menepuk punggung nya yang terlihat sudah lemah seakan tulang-tulang itu telah lelah.   

“Nek?”   

“Nak langit..” terlihat dengan jelas raut wajah terheran-heran melihatku disini   

Seorang wanita paruh baya yang sebenarnya telah tua menatap wajah ku dengan dekat, mungkin matanya sudah mulai rabun atau mungkin karena tak percaya bisa melihatku lagi setelah sekian lama.   

“Nenek lagi apa disini?”   

“Loh… nak langit.. juga la…gi a…pa?” suara nya terdengar pelan dan seperti bisikan-bisikan menyuruhku untuk pulang. Dan baru kusadari ada yang tak beres disini.   

“Nenek apa kabar?” ku tanya tanpa ragu pada nenek angkatnya itu   

“Puji Tuhan, nenek baik-baik sa…” Belum selesai ucapan nenek, kami sudah dikejutkan oleh pembawa acara yang suara nya lebih keras dibandingkan kami. Jadi, aku dan nenek langsung mengalihkan perhatian pada pembawa acara itu.   

“Mari kita beri tepuk tangan untuk calon pengantin kita…. Angga Dewa Saputra dan Tiar Widya Utami” Suara tepuk tangan yang menggelegar dari banyaknya pasang tangan memecahkan gendang telingaku sampai mampu meretakan hatiku.   

Aku tak percaya, tak bisa menduga-duga Angga mana yang dibicarakan oleh pembawa acara itu. Aku melangkah maju, meninggalkan nenek angkat angga yang sejak tadi menahan langkahku. Sampai didepan panggung yang tingginya selutut aku, munculah pasangan yang menurutku adalah pantas menjadikan dunia ini adalah milik mereka.   

Disaat semua orang meneriaki kebahagiaan, aku malah menurunkan butir kesdihan. Menahan sesak dada yang tak bisa ku ungkapkan, mata ku berkaca-kaca, kepalaku terasa berat dan kaki ku bergemetar hebat. “Benarkah itu angga yang ku tunggu-tunggu akan pulang?” 
Aku melihatnya, meskipun sakit namun langkahku terjaga oleh wajah Angga yang mungkin hanya ada geratan kecewa. Di depan, aku menangis kencang, tersedu-sedu hingga mengambil perhatian banyak orang disekelilingku. Aku tak menghiraukan nya sampai pada acara puncak pasangan itu saling menukar cincin di jari-jemari mereka satu sama lain.   

Aku semakin tak tahan dengan air mata dan dada yang sesak. Akhirnya ku paksakan kaki ku untuk mengambil langkah pulang.   

“Langit!” Langkah kaki ku berhenti, tepat di pintu keluar gedung ini. Di sekelilingi dengan lampu-lampu bercahaya berisi kebahagiaan dua pasang orang yang akan menyatukan cinta.   

Aku tak mampu membalikan tubuhku karena takut prasangka itu betul bahwa yang memanggil ku adalah Angga yang ku tunggu.   

Angga tepat berada didepan tubuhku, sangat dekat hingga nafas nya bisa ku rasakan. Entah itu nafas kebahagiaan atau nafas ketegangan. Kami saling memandang. Aku tak tau bagaimana keadaan wajahku saat itu, mungkin make-up ku telah luntur oleh deraian air mata yang turun. Ku lihat wajah angga yang semakin lama semakin membuatku kecewa. “Benarkah angga ini yang dulu pernah mengatakan cinta dan ingin menajdikanku satu-satunya?”. Aku menangis. Aku tak tahan, bisikku dalam hati.   

“Langit! Angga bisa jelasin semuanya.” Tangan angga menggenggam tanganku hingga memerah   

“Angga… a..ku ing..in pu..la..ng!!!” tenggorokan seperti tercekik dan pita suara ku hilang dimakan kucing, mungkin.   

“Nggak! Angga bisa jelasin semuanya sama kamu. Angga mohon! Jangan pulang langit! Jangan!!!”   

“Angga lepasin!!” aku berteriak. Mungkin suara teriakan ku tak ada guna nya karena yang ku dengar, suara tangisku terdengar lebih jelas   

“Langit! Ini bukan kemauan angga. Angga berani sumpah!”   

“Angga lepasin tanganku!!!” Aku menangis semakin jadi. Tak ku hiraukan semua pandangan yang memandang tapi tak mencoba membantu menyelesaikan masalah kami berdua. Dalam lelah, aku mencoba melepaskan genggaman angga yang masih mengunci langkahku. Sekuat tenaga sampai aku terjatuh di tanah dan sekarang semakin terlihat sangat menyedihkan, patah hati ku terungkapkan.   

“Langit!! Angga mohon dengerin angga dulu. Jangan menangis seperti ini. Angga sakit liat kamu kaya gini!.” Angga memelukku erat, sangat erat. Sampai aku sulit bernafas.   

Kali ini, posisi nya semakin sulit. Aku terjatuh di tanah, jilbab ku berantakan seperti orang kerasukan. Dan posisi angga yang memelukku dari belakang. Bahkan detak jantung nya bisa ku rasakan sangat jelas di punggung.   

“Angga.. demi Tuhan! Aku ingin pulang!” aku memanggil nama dinda berulang-ulang. Memastikan bahwa dinda melihat kondisiku yang meneydihkan dan langsung membawaku pulang   

“Langit! Angga gak mau kaya gini lang.. percaya sama angga!”   

Yang membuatku semakin tak kuasa adalah mendengar angga merintih dalam tangis yang entah menangisi apa. Bukankah ini hari pertunanganya? Harusnya angga bahagia.   

Kami berdua menyedihkan. Saling berpelukan dan menangisi-yang-entah-apa. Dan lebih menyedihkan karna aku harus menangis dan mericuhkan acara pertunangan orang lain. 

Beberapa saat kemudian ada laki-laki bertubuh besar dengan paksa melepaskan pelukan angga dari tubuhku, di susul dengan beberapa pria lain. Dan terjadilah luka-luka kecil di tangan dan tubuhku karena tubuhku dilepaskan secara paksa dengan tubuh yang seharusnya selalu bersamaku sampai akhir; Tubuh angga.   

Hanya butuh beberapa menit tubuh angga terlepas dari tubuhku. Dan kamu dipisahkan begitu saja. Ya, begitu saja.

Sabtu, 10 Mei 2014

Langit Untuk Angga (part 2)

"Lang, kamu percaya takdir dan cinta sejati itu bisa ditawar?”   

“Entahlah, kenapa?”   

“Aku ingin takdir ku adalah menjadikamu cinta sejatiku.”

Ya, aku tau betul bahwa Angga mencintaiku. Terlihat jelas dalam matanya yang menangis haru ketika tau aku akan meneruskan hidupku di kota yang semakin jauh darinya. Aku menatapnya haru sambil sesekali mengusap rambutnya.   

“Ngga, kamu tau kenapa Tuhan buat kamu berbeda?"

“Biar kita sama-sama membuat persamaan.”   

“Bodoh!”   

“Masih juga kamu bahas soal Agama 
lang? aku mencintaimu, bahkan ketika kamu memakai jilbab mu itu. Aku mencitaimu, bahkan ketika aku sedang memakai kalung salib ku.”   

Aku menatapnya haru…   

“Aku ingin berjalan bersama denganmu dalam kesatuan, hanya satu-satu nya kamu yang ku inginkan lang.” 

Angga menatapku dengan dalam, tanpa kedipan satu kali saja kini matanya berjarak sangat dekat dengan wajahku   

“Bagaimana kita bisa menyatu jika Tuhan kita tak satu?”   

“Lang…” Angga memelukku lagi untuk kesekian kalinya di malam ini   

***   

“Lang, aku akan pergi ke bali.” Kalimat pertama yang ku dengar dari Angga sesampai nya dirumah ku setelah pulang dari bandara karena sudah larut malam.   

Aku kembali terdiam, merasakan dentungan jantungku yang berhenti lagi seketika. Pagar-pagar besi berwarna hitam kecoklatan lah yang menjadi saksi kebisuan ku terhadap pernyataan Angga barusan.   

“Pergi lagi? Meninggalkanku lagi?”  

“Tapi lang, ini bukan tentang kita. Ini tentang dunia, dunia ku dan dunia mu berbeda.”  

“Ya ngga, aku tau. Aku tau betul sebelum kamu menjelaskan bahwa dunia ku dan dunia mu berbeda. Kamu adalah anak tunggal dari keluarga kaya. papa mu punya saham dimana-mana, perusahan besar yang banyak di Jakarta atau kota-kota besar adalah milik papa mu bukan? Sedangkan aku, aku hanya anak dari seorang pengerajin biasa.”   

“Bukan itu maksudku lang! kamu tentu tau bagimana gila nya papa ku ketika sepeninggalan mama kan? Papa jadi tak bisa diam dan berleha-leha karena tak ingin mengingat bagaimana kehilangan itu dibuatnya. Aku harus membantu papa dan menemaninya dimanapun papa berada. Aku mencintai papa ku lang, dan aku ingin menjaga nya. Dia masih merasakan kehilangan meskipun sudah bertahun-tahun mama meninggal.”   

“Tapi ngga, kenapa harus sejauh itu?”   

“Bukan aku yang menentukan tapi papa lang. aku harus bagaimana sekarang? Aku pun tak ingin kehilangan jejakmu lagi.”  

Aku menangis, hujan kini membantuku menutupi segala kegalauan yang terlihat jelas di wajahku. Angga menunduk lesu, aku bisa melihat kebimbangan yang terpancar dari gerak geriknya setelah bicarakan masalah keluarganya.   

“Bulan depan aku akan melaksanakan pelatihan ujian nasional ngga. Aku harap setelah semua urusanku dengan dunia pendidikan selesai, kamu mau datang lagi menemuiku.”   

“Ternyata, selama itukah kita berpisah lang? seperti baru kemarin aku melihatmu tertawa dengan rambutmu yang terkucir berantakan, juga seragam putih merah yang sudah tak beraturan. Sekarang kamu sudah mau menghadapi ujian nasional dan sebentar lagi kamu akan kuliah.”   

Aku berharap, aku akan cepat menikah.”   

“Kalau begitu, selagi kamu mempersiapkan diri untuk mengikuti ujian nasional, aku akan mempersiapkan diri untuk melamarmu di tahun depan.”   

“Aku tak mau menikah dengan orang yang bahkan tak bersekolah.” Suaraku datar, sangat datar   

“Dasar anak sialan! Angga itu sekolah lang, bedanya hanya dirumah dan mata pelajaran yang hanya tertuju pada dunia bisnis saja.” Angga mengelak   

“Tetap saja kamu terlihat seperti angga yang bodoh dan….” Belum sempat aku menyelesaikan kalimat, angga sudah memeluk ku lagi di tempat. “Ya Tuhan, aku harap ini bukan perpisahan yang panjang.” Tak disadari permohonan dalam hati pun terpanjatkan.   

*** 

Aku memasuki kamar, menutup tubuhku perlahan dengan selimut yang hangat. Mengingat bagimana dulu aku bertemu dengan Angga. Tentu saja pertemuan itu tak pernah aku lupakan. 

Hari itu hari rabu, aku memakai baju olah raga biru, sepulang sekolah seperti biasanya aku menunggu ayah mejemputku dengan sepeda motor yang berisik ditelingaku. Duduk dengan menggendong ransel yang hanya terisi makanan dan minuman tanpa terisi buku, ku lihat ada anak laki-laki yang menangis sendirian dibawah pohon dekat aku berdiri sekarang. Anak laki-laki itu menangis memanggil mama nya yang tak kunjung menjemputnya. Aku menghampirinya, menanyakan apa dia sekolah disini atau bukan. Anak laki-laki itu hanya menggeleng kepala nya sambil sibuk mengusap air mata nya. Setelah ayah datang menjemputku, anak laki-laki itu menangis semakin kencang, dengan wajah yang ingin tau ayah bertanya padaku, setelah ku ceritakan ayah menyuruhku mengajak anak laki-laki itu untuk pulang bersama, setelah sampai dirumah barulah ayah akan menghubungi keluarganya. Aku tau ayah tak kan tega meninggalkan anak laki-laki itu sendirian menunggu-yang-entah-siapa.   

Anak laki-laki itu kepalaran, ku lihat dia sibuk mengunyah apel dan terbata-bata menyebutkan namanya adalah Angga. Belum sempat apel itu habis, angga sudah menangis lagi. Dan kali ini angga menangis sambil memeluk wanita paruh baya yang ternyata adalah nenek angkatnya. Ku lihat muka ayah mengangguk-anggukan kepalanya ketika sedang bicara dengan nenek angkat angga. Ayah menggandeng tanganku dan memperkenalkanya dengan nenek angkat angga. Aku hanya melempar senyum, ku lihat angga yang murung.   

Empat hari kemudian ku lihat angga sedang duduk lagi di bawah pohon dekat sekolahku. Aku menghampirinya dan langsung bertanya mengapa saat itu angga pulang dari rumahku tanpa pamit padaku. Angga hanya tersenyum malu dan menggeser posisi duduk nya sehingga aku bisa duduk bersamanya di bangku panjang berwarna hijau dibawah pohon yang entah adalah pohon jenis apa.   

“Aku lum tau nama kamu” angga bicara seperti hal nya anak berumuran murid sekolah dasar kelas enam

“Nama aku langit.”   

“Langit, makasih ya waktu itu kamu mau ajak aku  pulang sama kamu. Kalau tidak, aku pasti akan terus menunggu mama yang ternyata malah pergi ke surga tanpa menjemput aku terlebih dulu.”   

“Surga katamu?” aku terkejut  mendengar perkataan angga dan tak lebih terkejut karna melihat raut wajah angga yang tak berubah, tidak memperlihatkan ekspresi apapun ketika sedang mengatakanya

***  

“Angga sudah sampai di bali” pesan singkat masuk di pagi ke tiga angga benar-benar pergi meninggalkanku   

“Syukurlah.”   

“Angga pasti akan pulang untuk melamarmu.”   

“Tahun depan? Aku tak mau.” 

“Tak sabaran! Haha secepatnya aku pasti akan melamarmu.”   

“Tak bisa.” Jawabku singkat   

“KENAPA?” angga memabalasnya dengan huruf kapital   

“Agama mu bukanlah duniaku.”

Selasa, 06 Mei 2014

Langit Untuk Angga

Pernah merasakan bubungan pahit karena perbedaan? Haha ku rasa ada yang pernah, dan ada yang tak pernah, atau mungkin sedang merasakan 'pernah'. Maaf jika sering ku katakan kata 'pernah', karena menurutku 'pernah' adalah kata yang pas untuk mengatasi masalah soal kenangan masa silam.

Namanya Angga. Dan aku benar-benar tak ingat nama panjanganya, dan aku benar-benar tak ingin mengingat nama panjangnya.

Angga adalah seorang laki-laki yang manis. Yang sama sekali tak bisa berbahasa inggris. Dia satu-satunya teman yang ku anggap sudah sangat teramat dekat. Keluarga nya sangat melekat, bahkan aku bisa merasakan kasih sayang dalam keluarga kecilnya.

Saat aku menangis, hanya seorang Angga yang bisa membuatku berhenti.
Saat aku tertawa, hanya seorang Angga yang bisa meneruskan semuanya.
Angga itu adalah segalanya.

Pada hari yang sama dengan perpisahan sekolah. Aku dan Angga berjanji untuk pergi ke mall besar di Bandung barat, dengan mengganti seragam putih merah yang sudah kusam tentunya. Setelah lulus, aku dan Angga akan masuk ke sekolah menengah pertama yang sama. Angga sudah janji padaku, janji sepuluh jari yang tentunya hanya bisa dilakukan oleh aku dan Angga yang menciptakanya.

Pada hari pendaftaran, aku menunggu ditempat biasa. Didekat toko bunga, tempat aku dan Angga mencekrama sambil tertawa. Aku menunggu lama, tapi aku masih menunggunya, menunggunya untuk datang, sampai ku putuskan untuk pulang.

Seminggu kemudian, angga datang dengan setangkai bunga mawar dan coklat. Aku tersenyum malu, karena untuk pertama kalinya aku merasa menjadi perempuan dewasa yang tau apa itu cinta.

Keesokan harinya, satu pesan masuk tiba di ponsel baruku pemberi ibu karena aku diterima di negri. Ya, aku masuk disalah satu sekolah menengah pertama negri di Kota Bandung.
"Lang, angga lagi di bandara"

Aku tersenyum dan membalasnya.
"Kenapa sepagi ini?"

Aku dan Angga biasa melihat pesawat terbang dibandara dekat sekolah ku dulu. Angga suka suara pesawat ketika sedang lepas landas. Aku hanya bisa tertawa mendengar ada seseorang yang menyukai suara bising pesawat.

"Angga mau pergi ke malaysia. Bukanya itu mengasyikan! Nanti ku bawakan anting panjang"

Aku terdiam.
"Ngapain kamu ke malaysia?"

"Liburan sama papa"

Aku tak membalasnya. Aku merasa ditinggalkan. Tidak ada penjelasan, Angga pergi begitu saja.

Setiap hari aku menunggunya. Menunggu kabar kapan Angga akan pulang. Yang ku tau, Malaysia itu berjarak sangat jauh dari tempatku berada sekarang.

***

"Aku rindu suara kamu yang bisingnya melebihi suara pesawat terbang yang sedang lepas landas"

"Siapa ini?"
Ku balas dengan cepat dan tergesa-gesa ketika tau ada pesan baru masuk pada email ku.

"Angga"

Tiba-tiba aku tersedak pohon kelapa. "Bagaimana bisa? Ya tuhan ini itu Angga yang mana" suara penuh tanya bermunculan pada telinga dan kepala.

Ku balas lagi:
"Dari mana kamu tau alamat email ku?"

"Facebook mu."

"Kamu punya facebook?"

"Tidak"

Rasanya menyebalkan karena semua balasanya yang singkat dan seakan tak ada apa-apa.

"Ada apa? Ku pikir km sudah lupa."

"Setiap hari aku mencari mu"

"Aku sudah pindah"

"Ya, aku tau. Banyak yang berubah"

"Ya, memang sudah banyak yang berubah. Kamu fikir 4 tahun waktu yang sebentar?"

Unggah selesai.

Angga mengirimkan aku potret dirinya yang memang telah banyak yang berubah.

"Kamu masuk SMA mana?" Ku ajukan pertanyaan sederhana untuk menghangatkan suasana

"Aku sekolah dirumah"

"Oh"

Itu balasan terakhirku. Dan tak ada balasan lagi. Menyebalkan bukan, sudah bertahun-tahun Angga pergi dan datang lagi dengan Angga yang baru yang menyebalkan.

Tiga hari kemudian ku buka email ku dan ada satu pesan masuk, dan itu dari Angga. Dia memintaku mengirimkan nomor ponsel.

Satu bulan kemudian, ada nomor tak dikenal mengirimkan aku pesan yang hanya berisikan "aku ingin menebus kesalahanku" ku balas "siapa ini?" Dan tak ada balasan.

Hari itu adalah hari natal. Aku berlibur dirumah lama, Kota Bandung, satu-satu nya kota yang selalu membutku jatuh cinta. Entah dari segi bentuk apapun, tapi yang pasti Kota Bandung selalu jadi tujuan ku untuk berteduh.
Malam itu jalanan padat, motorku sampai tak bisa bergerak.

Lalu ku putuskan untuk pulang. Jalanan gelap membuatku tertuju pada sosok laki-laki yang sedang berdiri dengan tegap dengan menghadap kearahku dengan tepat.

“Maaf mas, ada perlu apa ya?”   

“Saya mau ke Langit mbak, rumah nya disini.” 

Laki-laki itu menunjuk kearah rumah lama ku.   

“Loh mas ini siapa ya?”   

“Saya teman nya. Mbak kenal dengan Langit?”   

Aku terdiam, laki-laki itu juga terdiam. Kami saling bertatapan. Aku mencoba mengingat siapa sosok laki-laki yang katanya adalah teman ku. Dan tiba-tiba laki-laki itu terdiam, dalam sekejap tangan nya sudah melingkar erat di pinggangku, tangan lembutnya terasa sampai ke punggung. aku ingat sekarang, belaian seperti ini yang selama ini ku rindukan.

“Aku lelah lang, aku mencarimu.”

Tanpa aba-aba air mata ku bocor dan turun deras tak tertahan. Pipi ku basah, suara rengekan seperti bayi besar sedang menggema ditelinga kami berdua.   

“aku rindu kamu lang.”   

Aku masih membisu menahan tangis, tubuhku yang didekap erat oleh laki-laki ini seperti telah menyerahkan diri sepenuhnya untuk dibawa pergi ke kerajaan mimpi, mimpi yang dulu telah kami bangun bersama dekat bandara husein sastra Negara.   

Aku dibawa pergi, tanpa pertanyaan, tanpa suara, aku membiarkan tubuhku di manja oleh dekapan-dekapan yang ku rindukan.   

Malam natal yang membawa rinduku sampai ke Bandung, jalanan padat yang membawaku pulang, pulang ketempat asal ku yang memang ku rindukan. Laki-laki ini bicara panjang lebar menjelaskan semua persoalan yang sampai sekarang masih ku pertanyakan. Aku tak bisa mendengar jelas, pikiranku hanya tertuju pada wajahnya yang ternyata sudah banyak berubah, telingaku hanya bisa mendengar music klasik yang dimainkan oleh pemain piano di kedai kopi ini.   

Aku sadar diri, aku berteriak sampai semua orang yang jaraknya tak jauh dari meja kami memperhatikan tingkahku yang seperti sedang kerasukan.   

“Kamu kemana Angga?! Kamu pergi! Meninggalkanku sendiri tanpa kabar yang jelas dan tanpa perihal yang tepat kamu meninggalkan aku sendiri dengan semua tanda tanya yang sama sekali tak ku mengerti” 

aku menangis sejadi-jadinya. Satu pelayan menghampiri kami, pelayan wanita itu mengelus-elus bahu ku. Mungkin pelayan itu member i isyarat bahwa aku harus tenang karena semua orang yang berada di kedai kopi itu melihat kearahku dengan wajah yang sepertinya ingin tau. 

Angga merangkulku, memohon padaku untuk berhenti berteriak seperti orang tak waras, dan tiba-tiba perhatianku tertuju pada kalung salib yang melingkar dileher Angga. 

Tiba-tiba jantungku sudah lagi tak berdetak, berhenti seketika.   

“Sejak kapan kamu berpindah agama?” aku bertanya pelan dengan iringan air mata yang sudah tak tertahan   

“Apa?” Angga tak merespon pertanyaan ku   

“Kalungmu ngga.” suara bicaraku semakin pelan  

“Dari dulu aku bukan Islam. Apa kamu lupa?”   

Jantungku hilang dari tempatnya.   

“Lang.. langit.. langit!”   
Suara Angga membangunkanku dari lamunan yang sedang mengingat masa lalu itu. 

“Apa benar Angga bukanlah Islam?” hatiku berbisik tak kalah pelan. Aku memandangya   

“Kamu benar-benar cantik dengan jilbab itu lang.” 

“Terimakasih.”   

Aku meminta Angga untuk mengantarku pulang. Tanpa bertanya Angga meng-iya kan nya.   

“Tapi sebelum pulang, bolehkah kita berhenti di bandara? Aku ingin melihat pesawat lepas landas denganmu lagi.”   

“Tidak. Ini sudah malam. Aku ingin pulang.”   

“Aku mohon lang.”   

“Ya.” Aku menjawab singkat

Ya Tuhan, badanku lemas. Batinku lemah, dan aku masih tak percaya soal perbedaan Agama antara aku dan Angga. Aku melihat Angga yang sedang menunggu pesawat untuk lepas landas, wajah nya melihat ke atas, sehingga aku bisa melihat dengan jelas kalung salib yang melingkar di lehernya. Aku masih tak percaya. Angga menghampiriku dengan wajah kecewa. “Pesawatnya belum ada yang lewat.” Aku tertawa dalam hati “Apa menurutmu pesawat sama dengan kendaraan umum yang sering lewat?” sudah ku bilang bukan, seorang Angga selalu bisa membuatku tertawa.   

“Kamu tau lang, tiap aku sedang menunggu pesawat melewati kepala, aku pasti sedang membayangkan wajahmu yang bulat manis di atas langit.”   

Aku tak menjawab omonganya, aku hanya terdiam membisu mendengarkan Angga bicara.   

“Dan apa kamu tau lang, betapa bahagia nya aku yang tau akan diajak papa liburan ke Malaysia. Kamu pasti tau kan kalau aku dan papah tidak berkomunikasi dengan baik setelah mama meninggal” 

Aku tak menjawab omonganya, aku hanya terdiam membisu mendengarkan Angga bicara.   

“Dan apa kamu tau lang, bagaimana hancur nya hatiku ketika papa katakan bahwa aku tak akan pernah pulang. Karena ternyata papa memutuskan untuk pindah. Dan yang membuatku hancur alasan papa yang katanya ingin melupakan semua kenangan bersama mama di Indonesia”   

Aku tak menjawab omonganya, aku hanya terdiam membisu mendengarkan Angga bicara.   

“Lang, setiap hari aku merindukanmu.”   

Aku tak menjawab omonganya, aku hanya terdiam membisu mendengarkan Angga bicara. 

Tapi kini kepala Angga sedang menghimpit diantara telinga kanan dan bahu kanan ku. Ku akui, ini adalah malam yang paling indah, dengan hiasan bintang, tanpa pemilihan waktu yang harusnya aku ikut serta untuk menyetujuinya, satu kecupan manis mendarat di bibir ku. Dengan lembut kini angga memelukku. Aku tau, Tuhan sedang mempersiapkan perpisahan untukku.