Jumat, 22 Juli 2016

Tipis


Sore ini mulai lagi teringat bagaimana perkumpulan dua keluarga itu membuat ku gila karena terlalu bahagia, bagaimana saat aku datang kerumah mu bersama seluruh keluarga ku untuk memenuhi janjiku kepadamu ketika aku menyelesaikan studi ku, bagaimana acara tunangan beberapa tahun lalu itu membuat ku yakin bahwa kamu memanglah senja yang diciptakan hanya untukku.

Dan lamunan ku tentang saat bahagia itu ditepis oleh suara dering telephone yang ternyata itu darimu

“Hi Senja.”

“Hai.”

“Ada apa? Dan bagaimana kabarmu sekarang?”

“Aku ingin menikah.”

Untuk sesaat degup jantungku berhenti dan perlahan mulai berdebar kencang

“Hallooo?” terdengar suara senja diujung telephone sana

“Ya senja. Aku benar-benar bahagia mendengar keputusan mu itu.”

“Baiklah, aku akan mengabari mu lagi ya. Bye.”

“Bye.”

*

Sudah 2 hari setelah telephone dari senja itu aku tak bisa berhenti memandang cincin yang melingkar di jari manis ku, cincin dengan nama senja dibaliknya, nama wanita yang dari dulu sampai sekarang tetap ku cintai dengan teramat-sangat. Lalu aku mengingat lagi bagaimana tahun-tahun memilukan itu. Tahun-tahun dimana aku kehilangan akal sehatku dan memanjakan emosi ku. Tahun-tahun dimana aku sudah terlalu sering membuat senja menangis.

“kamu terlalu sering menangis. Aku sampai muak mendengarnya.”

“Lalu, aku harus bagaimana sekarang?”

“Biasa saja. Perlakuan mu itu memalukan. Menangis di jalanan, menangis dirumah ku. Aku malu!”

“Aku begini karena mu! Karena semua sikap mu, omongan-omongan menyakitkan yang keluar dari mulutmu. Apa tak bisa kau perlakukan aku seperti tahun-tahun lalu? Saat aku merasa bahwa kamu mencintai ku?”

“Aku masih biasa aja, tak berubah.”

“Terserah!”

Itu adalah kata terakhir yang keluar dari mulutnya saat pertengkaran itu terjadi. Setelah itu aku membiarkanya pergi begitu saja dari rumah ku, aku bahkan sama sekali tak mengejarnya. Aku merasa bahwa senja itu sudah melewati batas. Dia menangis merintih memperbesar semua masalah yang ada, dan itu membuatku jengah. Sampai pada saat ini, aku merasa bahwa aku lah yang salah. Seharusnya aku tak menyakitinya dengan omongan-omongan ku yang sebenarnya keluar dari mulutku karena emosi saja. Seharusnya saat itu aku menghampiri dan memeluknya. Seharusnya aku tahu bahwa saat senja dalam keadaan itu, dia membutuhkan ku untuk menenangkannya bukan malah sebaliknya. Dan sekarang aku menyesal.

*

Pagi ini aku sudah sibuk mengurusi pakaian yang akan ku pakai ke acara pernikahan. Ya, ini adalah hari besar. Aku tak ingin melewatinya dengan begitu saja. Saat aku melihat cermin untuk bersiap-siap dan merapikan rambut ku, sekilas aku mengingat senja lagi yang tak pernah bisa membiarkan rambut ku rapi. Senja yang usil.

Dan senja yang manja. Senja yang selalu menganggu saat aku sedang bekerja. Senja yang selalu marah jika aku pulang bekerja dan langsung meninggalkanya untuk tidur terlebih dulu. Senja yang banyak bicara saat aku terlalu santai dengan tesis akhir ku semasa kuliah dulu. Senja yang tak bisa lama-lama tak bertemu dengan ku dan meminta hari libur ku hanya untuk bersama denganya saja. Senja yang akan marah-marah seharian bahkan sampai malam jika aku tak memberinya kabar. Meski senja menyebalkan, aku seharusnya tahu bahwa dia melakukan itu karena terlalu peduli dan mencintai ku.

Meski begitu, aku selalu saja mengabaikannya, aku selalu menganggap bahwa dia terlalu berlebihan, dan aku selalu tak mementingkannya. Dan sekarang meski menyesal, itu sudah terlambat bukan.

*

“Hi, senja.” Ku lihat riasan pengantin di wajahnya sama dengan apa yang dulu ku bayangkan jika suatu hari nanti senja akan menjadi pengantin

“Hi.” Jawabnya dengan singkat tanpa senyum di wajahnya

“Aku ikut bahagia atas pernikahanmu.”

“Terima kasih karena sudah mau datang.” Senyum nya mulai terlihat

“Seharusnya ini adalah acara pernikahan kita bukan?” ku beranikan diri memulai perbincangan soal perasaan

“Seharusnya dulu kau mau menahan sedikit ego mu dan menahan ku untuk pergi.”

“Ya. Hanya saja, aku masih belum bisa melupakan mu.” Jawabku

“Ya. Hanya saja, dulu kamu lah yang membiarkan ku pergi begitu saja seolah aku sudah tak lagi berarti.”

Aku terdiam. Menyesal dan membiarkannya pergi ternyata hanya beda tipis.