Minggu, 20 Desember 2015

Berhenti.


Aku tahu bahwa tak ada kebetulan saat kita dipertemukan. Kita adalah suatu rasa yang sudah semesta suguhkan, bahagia kita adalah apa yang semesta siapkan selama bertahun-tahun lamanya semenjak kau dan aku dilahirkan.

Kita adalah dua orang yang berisikan pikiran di dalam kepala yang berbeda, namun entah mengapa perbedaan bahkan membuat kita semakin tak bisa dipisahkan. Rasa yang mengalir dalam segala bentuk ucapan adalah sebagian kecil apa yang ada dalam dada. Jika ku utarakan, mungkin langit malam tak akan pernah terlihat karena siang akan bosan mendengar segala bentuk pencapaian.

Harus ku akui, aku mencintai mu di segala musim dan peristiwa yang sudah beberapa lama ini kita rasakan bersama. Menghabiskan ratusan senja dan milyaran hari adalah salah satu dari banyak nya hal yang tak hentinya ku syukuri selama ini. Basah nya air hujan yang turun, aroma genangan yang selalu mencegah kita untuk kembali pulang dan menahan lelah semalaman bahkan membuat ku selalu berfikir bahwa inilah saatnya aku berhenti.

Berhenti menerka-nerka apa yang akan terjadi setelah ini.

Berhenti menerka-nerka akan berapa lama kau akan tetap tinggal disini.

Berhenti menerka-nerka kapan waktunya kau pergi.

Berhenti menerka-nerka apa yang akan terjadi jika si peretak hati muncul saat ini.

Dan berhenti menerka-nerka apa yang akan terjadi jika kau sudah tak ada lagi.

Berhenti.

Aku akan benar-benar berhenti menerka-nerka jika sudah mengingat berapa lama kita lupa sedang bersama. Karena pada hakikatnya, kebersamaan kita lah yang sudah membuat segalanya terasa sempurna, bahkan sampai membuat kita lupa bagaimana rasanya sendirian.

Karena aku akan mulai membiasakan diri dengan mengikuti langkah kaki mu kemana kau mau. Karena aku tahu, langkah mu tak akan pernah membingungkan ku. Aku akan selalu menikmati setiap waktu selama kamu mampu menghadirkan segala bentuk bahagia yang sudah kau usahakan agar tercipta diantara kita. Tak apa jika luka mulai bermunculan disetiap kenangan yang kita lalui bersama, karena itu adalah salah satu langkah yang memandu kita untuk menaiki tingkat selanjutnya.

Dengan mu, aku merasa aman. Tubuh ku merasa tak ketakutan bahkan saat kita hanya sedang berdua, karena aku tahu bahwa pria ku ini tak akan pernah mau membuat ku malu menjadi wanita sempurna yang akan dihadapkan nya di sebuah pernikahan yang halal.

Aku tak peduli berapa waktu yang kita miliki untuk bersama. Apa besok akan berpisah, atau lusa. Karena selama kamu ada, disitulah aku ada dan kita sama-sama bahagia.

Pria ku, selamat hari jadi yang kesekian kali nya lagi. Selamat berhenti untuk mencari lagi.

Minggu, 29 November 2015

Coffee, rain, and you.

Aku selalu suka hujan, terlebih jika sudah mulai bermunculan pikiran tentang kamu yang berada dalam bayang-bayang. Seperti mungkin saja suatu hari nanti kita bisa memiliki lokasi rumah yang sama, atau mungkin saja suatu saat nanti kita bisa memiliki nama anak yang sama.

Karena hujan membuat ku berfikir bagaimana jika nantinya aku dan kamu bisa menghabiskan waktu bersama sampai tua.

Aku selalu suka hujan, terlebih jika kita berada dalam satu ruang yang sama, memiliki tempat di salah satu sudut rumah kesukaan kita. Bercerita penuh canda sambil menikmati satu cangkir coffee caramel yang biasa ku buat.

Karena hujan membuat ku nyaman jika didekatkan dengan aroma tubuh mu yang khas.

Aku selalu suka hujan, terlebih jika kita masih bisa bersama. Tanpa pernah mau membahas bagaimana rasanya jika kita berpisah nantinya.

Karena hujan tak pernah membiarkan ku menikmati dingin nya seorang diri dengan rasa sedih.

Selasa, 03 November 2015

Klarifikasi


Maaf jika sudah lama aku menghilang dan tiba-tiba kembali dengan tulisan ku ini yang menganehkan. Aku hanya ingin menjelaskan tentang tatapan menganehkan dari laptop kesayangan yang sudah lama tak ku jamah dengan sebuah tulisan.

Aku menghilang bukan karena berpisah dengan sang pacar lalu menangis semalaman, bukan juga karena terlalu menghabiskan waktu bersama teman-teman sampai lupa menulis setiap malam. Aku menghilang karena tugas kuliah ku yang terlalu banyak sampai menghabiskan sebagian besar ion dan semangat dalam tubuhku seharian, jadi setiap malam nya yang tersisa hanya lelah. Tapi tenang saja, ini adalah tingkat akhir ku di kuliah, setelah ku selesaikan semuanya, akan ku habiskan lagi waktu di kedai coffee sambil mendengarkan musik klasik, dan tentu sambil menulis. Berbincang dengan malam seolah keramaian dalam kesendirian benar-benar tak ku pedulikan.

Dan akan aku tulis lagi banyak kisah dan cerita.

Maka dari itu, tolong doakan aku agar cepat menyelesaikan studi ku. Ya?

Terima kasih.

Sampai berjumpa dengan tulisan ku yang nanti tentu akan ku postingkan satu persatu.

Minggu, 04 Oktober 2015

Happy Birthday For You, 20.


Ketika aku berkenalan dengan semesta ada banyak wajah-wajah yang membuatku mencintai seluruh dunia.

Aku membuka mata perlahan karena terlalu rapat untuk aku perlihatkan, jari-jemariku perlahan aku gerakan karena masih terlalu linu untuk dipaksakan, aku menendang-nendang seakan ingin segera cepat berlari bertemu dengan hari-hari yang suci. Bibir ku masih terlalu lemah untuk aku perlihatkan senyumku yang indah.

Kemudian aku mencoba mengedipkan mata, dan kulihat sosok malaikat yang nyata. Seorang wanita berparas cantik dengan sempurna nya dia mendekatkan wajahnya padaku, dia mencium seluruh sudut tubuh ku. Ya, dia adalah seorang Ibu. Seseorang yang wajah nya seperti sudah tak asing lagi bagiku, seperti seseorang yang selalu dalam mimpiku. Yang dengan sepenuh hati setia menompangku selama 9 bulan lamanya didalam perutnya, yang tak pernah mengeluh ketika aku menyakiti rahim nya, dan yang benar-benar berjuang ketika membantuku hadir di dalam dunia nya.

Lalu kemudian aku ditaruh disamping nya dengan lantunan lagu indah mententramkan tangisku. Sebuah suara yang merdu masuk melalui telingaku. Ya, seorang Ayah yang dengan sepenuh hati nya meng-adzan kan ku.

Dan setelah itu, mulai lah bermunculan wajah-wajah yang memperlihatkan tangis haru kebahagiaan karena melihat ku hadir diantara mereka sekarang.

Dan kali ini adalah puncak dari segala yang telah ku mulai dari awal. Mungkin bagi sebagian orang umur 17 lah yang menjadi impian dan ujung dari segala pengharapan, karena sudah mulai diberikan izin untuk memiliki surat perijinan untuk mengendarai kendaraan, atau bahkan sudah diakui oleh Negara menjadi penduduk tetap. Namun bagiku tidak.

Tepat di umur inilah aku menjadikan nya puncak. Bagaimana tidak? Saat menjelang pagi, ada satu pasang mata yang menangis karena tau aku sudah menjadi wanita yang ku damba. Umur inilah aku resmi menjadi panutan semua adik-adik ku kelak, tepat di umur inilah aku menjadi wanita yang sudah dibebaskan dalam memilih jalan ku sendiri. Menapaki segala macam bentuk dan jenis tanah dengan kaki ku sendiri.

Dan untuk dua puluh tahun ini, tak bisa ku tulis satu per satu siapa saja yang sudah mau sudi datang dan pergi meski sesuka hati mampu menghiasi sepanjang hidup ku di masa-masa ini. Untuk setiap rasa, entah bahagia, kecewa, terluka, bahkan tertawa yang ku rasa sudah mampu membentuk ku untuk terus menjadi dewasa.

Untuk ku, Selamat bertambah usia menjadi kepala dua. Semoga tuntutan menjadi dewasa akan ku terima dengan lapang dada.

Selasa, 22 September 2015

Bagaimana?


Bagaimana?

Mencintai atau dicintai?
Kau harus tau dulu rasa mana yang paling kau tau keberadaan si letak bahagia.

Jika ditanya, siapa saja pasti lebih memilih untuk dicintai. Bagaimana tidak? Dinomor satukan dan disegalakan oleh orang yang mencintaimu? Padahal bisa saja kau sama sekali tak peduli akan itu.

Beda hal nya dengan mencintai. Kau harus siap mengorbankan segala bentuk rasa dan kecewa karena orang yang kau cinta. Padahal bisa saja orang yang kau cinta sama sekali tak peduli akan apa yang kau rasa.

Mencintai tak pernah bisa se-sederhana seperti hal nya dicintai. Meskipun dia adalah orang yang paling ahli.

Yang paling di takutkan dari mencintai adalah berhenti dan bahkan sampai tak lagi peduli.

Tapi, jangan salahkan mereka yang sudah lagi tak peduli.

Mereka hanya lelah berjuang sendiri tanpa henti, memprioritaskan bentuk yang menjadikannya hanya nomor akhir, mengutamakan rasa yang bahkan seringnya menyakiti mereka.
Mereka hanya tak tahu harus berbuat seperti apa lagi, menyakiti hatinya sendiri dan menyimpan segala rasa kecewa yang  tentu sudah mulai terasa terbiasa.

Sebenarnya, orang yang sudah lagi tak peduli adalah orang yang pedulinya sudah terlalu besar namun mengambang lalu meledak dan menghilang.

Kau harus tau, kau sama sekali tak bisa mengubah seseorang menjadi apa yang kau mau. Maka dari itu Tuhan menciptakan sesuatu yang bernama “cinta” agar hati seseorang ada kemauan untuk berubah lebih pengertian; hanya untuk orang yang kau sayang.

Selasa, 04 Agustus 2015

I'm Done; Simple sacrifice is time.



“aku mau kita putus.”

“apa katamu?” ku lihat dia meremas bunga yang disembunyikan dibelakang tubuhnya

“ya. Aku mau kita akhiri semuanya. Aku selesai.”

“kamu bercanda? Maksudmu apa?"

“tidak. Maksudku ya seperti itu.”

“alasan mu?”

“kita sudah tak cocok.”

“hahaha, setelah hampir 4 tahun kita bersama, dan dalam jangka waktu sebulan lagi kita akan mengadakan pernikahan. Kamu baru mengatakan sekarang bahwa kita tak cocok?”

Ku lihat amarah yang sedang memuncak di wajahnya; memerah.

“ya.” Jawabku singkat

“aku sama sekali tak mengerti maksudmu. Ada apa denganmu?”

“tak ada apa-apa. Bahkan aku baik-baik saja.”

Untuk beberapa saat kita sama-sama saling diam. Sampai dia mengatakan hal menyedihkan yang terarah padaku.

“apa selagi aku pergi, kamu bersama laki-laki lain?” sorot matanya sangat kejam menurutku

“apa serendah itu pemikiran mu tentang aku?”

“lalu? Jika bukan karena laki-laki lain, mengapa kamu memutuskan ini?”

“menururtmu?”

“apa laki-laki itu menyuruhmu untuk meninggalkan ku?”

“masih juga kamu menyudutkan ini pada seorang laki-laki lain yang bahkan tak ada dihubungan ini?”

“aku lelah. Aku baru saja sampai di kota ini dan langsung menemui mu. Bahkan aku baru sampai di pintu rumah mu, dengan seikat bunga yang mungkin sekarang sudah layu.”

“aku pun, sangat lelah.”

“kamu lelah dengan ku, bukan?”

“ya.”

“kamu sudah tak butuh aku lagi, bukan?”

“tidak, bahkan sebaliknya.” Ku pandang wajah pria yang sebenarnya ku tunggu sejak lama untuk datang menemuiku itu

“aku sudah disini. Aku ada untukmu. Harusnya kau tahu itu.” Tanganya menggenggam tanganku dengan mesra

“aku tau kamu disini. Tapi baru kali ini. Aku membutuhkan mu selama ini. Harusnya kamu tahu itu.” Ku lepaskan genggamnya perlahan

“aku bekerja di luar kota, mencari biaya untuk pernikahan kita, mengabdi pada rutinitas untuk menghidupi mu nanti. apa itu masalah mu?”

“andaikan kamu tau, bahwa waktu adalah pengorbanan yang tak bisa diperhitungkan. Jika kamu membahas soal pekerjaan, berarti kamu sedang memperhitungkan segala hal.”

“dewasalah, jangan terlalu menuntut untuk terus bertukar kabar. Kita bukan anak kecil lagi, sayang. Banyak hal yang harus ku kerjakan.”

“bahkan dari dewasalah aku tahu bahwa hanya orang yang bisa menghargai sebuah kabar yang sepertinya serius menjalani hubungan.”

“okay. Aku minta maaf.”

“aku tak butuh permintaan maaf.”

“lalu?”

“aku ingin diperjuangkan.”

“hahaha, berhentilah bercanda. Kita menjalani hubungan sudah bertahun-tahun lamanya. Dan akan menaiki level berikutnya, ya kan? Sebuah pernikahan.”

“aku tak bercanda. Jika kamu menganggap demikian, itu berarti kamu yang merasa bahwa hubungan ini hanya candaan.”

“aku tak memberimu kabar karena aku sibuk dengan pekerjaan. Setelah selesai, aku kelelahan dan terlelap.”

“jika aku penting untuk mu, kamu bisa mempertimbangkan soal itu.”

“apa kamu pikir, aku tak memberimu kabar karena aku tak menganggap mu ada?”

“aku tak berpikir seperti itu. Aku tau pria ku tak akan sebrengsek itu.”

“lalu? Apa kamu pikir, aku tak memberimu kabar karena wanita ku bukan hanya kamu?”

“aku tak berpikir seperti itu. Aku tau pria ku tak semurahan itu untuk memiliki banyak simpanan.”

“lalu? Apa kamu pikir, aku tak serius padamu?”

“ya.”

“aku mencintaimu. Harusnya kamu bisa menerima kekurang ku itu.”

“aku pun mencintaimu. Maka dari itu aku bisa bertahan selama ini untuk mu.”

“lalu sekarang? Kamu sudah tak mencintai ku. Begitu?”

“aku masih mencintaimu, dan akan selalu begitu.”

“cinta seperti apa yang akan segitu mudahnya menyerah?”

“aku hanya bisa mencintaimu, itu saja. Tapi untuk hidup bersama orang yang tak bisa menghargai waktu seakan tak pernah sekalipun menghargai akan posisi ku, sepertinya aku tak mampu.”

“aku akan berubah. Aku janji.”

“aku sudah terlalu lelah menunggu mu berubah.”

“lelah? Bahkan pernikahan pun belum kita selesaikan. Ayolah sayang, jangan menyerah.”

“aku tak pernah menyerah, sungguh. Menurutmu siapa yang mempersiapkan pernikahan ini? Aku, sendirian. Meskipun banyak keluarga, serta teman yang siap membantu. Tapi ini adalah pernikahan ku, pernikahan kita lebih tepatnya. Aku membutuhkan mu juga.”

“kamu bisa langsung menghubungi ku, kan?”

“lihat ponsel mu. Sudah berapa puluh panggilan yang tak saja kau jawab? Sudah berapa puluh pesan yang sepertinya juga tak kau baca. Apa aku sama sekali tak punya hak atas waktu mu?”

“aku hanya…”

“aku sama sekali tak ingin menganggu waktu kerja mu, aku hanya butuh beberapa menit untuk ku tanya tentang dekorasi, dan bangunan, atau semua yang berkaitan dengan pernikahan.”

“aku juga kan menghubungi mu, aku memberimu kabar.”

“ya, kabar bahwa kamu akan datang hari ini. Itu saja. Pesan-pesan dan panggilan sebelumnya sama sekali tak kau anggap dengan benar.”

Dengan cepat pria itu memelukku dengan erat. Dan aku tak bisa menolak.

“kau tau? Waktu adalah hal yang tak bisa dikembalikan. Maka jika kamu bertemu dengan seseorang yang mau membagi waktunya denganmu, meskipun dia sibuk dan hanya memiliki batasan waktu untuk sebuah pertemuan meskipun tak sampai seharian. Ajak dia ke sebuah penikahan.” Ku lepaskan pelukanya perlahan

“Tapi…aku… mencintaimu” katanya dengan suara terputus-putus

Ku tutup pintu rumah ku tanpa pedulikan tubuh itu masih saja berdiri tegap.

“jika kamu tak ingin kehilangan waktu mu, maka kamu akan kehilangan aku.” Kataku dari balik pintu.

Sabtu, 04 Juli 2015

No Subject



Ponsel ku bordering…

“Hallo…” jawab ku.

“Ada yang mau aku omongin sama kamu.”

Aku membisu, ku tahu ada yang salah dari ini semua

“Aku mencintai mu, bagaimana jika aku ingin membahagiakan mu?”
“kamu serius? Ahh, terima kasih sinta.”

Telepon terputus.

Beberapa pemikiran ku sedikit membeku. Dalam semenit jalan otak ku buntu.

Satu pesan masuk ke dalam ponsel ku.

“Aku sudah mengikuti apa yang kau pinta dari ku. Sudah cukup kah itu buat mu? Sudah bahagia kah kamu mendengar semua itu? Aku tak ingin lagi melihatmu.”

Tiba-tiba perasaan ku mati rasa. Bergetar seperti yang kehabisan baterai. Rasa yang seharusnya bahagia berubah menjadi tak ingin apa-apa.

*

“Andra, tunggu sebentar!” teriak ku setelah melihat setengah dari wajah pria yang ku cari selama dua hari belakangan ini

Wajah itu hanya memandang ke arah ku tanpa bicara, rasanya menyakitkan.

“Kamu kemana aja sih?” tanyaku langsung

“Sorry, aku kan sibuk jalan sama pacar ku. Apa kamu lupa sekarang ini aku sudah punya kekasih baru?”

Aku hanya diam, sama sekali tak ingin menjawab pembicaraan yang satu ini.

“Kamu bahagia tidak aku sudah punya kekasih baru? Bukanya ini permintaan mu kan? Iya kan?”

“Hmm, iya. Selamat ya.”

“Terima kasih.”

“Andra tunggu…” ku tarik tangan kanan nya sebelum dia pergi meninggalkan ku sendiri di taman kampus yang seramai ini.

“Apa lagi?”

“Tempo hari, kamu telepon aku cuma untuk mendengarkan pernyataan cinta mu untuk sinta?”

“Ya, aku ingin kamu ikut menyaksikan hari bahagia ku bersama teman mu juga. Aku tahu kamu dan sinta sangat dekat, maka dari itu aku ingin serta membahagiakan teman dari kekasih ku. Apa aku salah?”

“Hmm, enggak ko. Hehe aku titip salam ya untuk sinta.”

“Oke. Nanti ku sampaikan”

Andra, sahabat pria ku yang dulu sering menghabiskan waktu nya dengan ku kini menjadi pria yang sepertinya tak ingin lagi berada disamping ku. Bahkan untuk membicarakan hal-hal yang tak penting.

*

Lima hari berlalu, aku mulai merasakan ada yang tak beres dengan diri ku. Hati ku terasa linu disaat yang bersamaan saat ku dengar bahwa andra dan sinta selalu bersama.
Hari ini juga ku dengar sinta mencari ku di kampus, mungkin dia ingin menceritakan betapa bahagia nya akhirnya dia bisa mendapatkan pria yang dia inginkan.

Ponsel ku bordering…

“Hallo?” terdengar jelas suara yang tak asing lagi untuk ku.

“Ya sin, ada apa?”

“Loh ko suara mu lemas gitu?”

“Aku baru bangun tidur nih.”

“Yaampun, sejak kapan kamu doyan tidur siang sih?”

“Hahaha, ada apa nih tumben.”

“Nggak ada apa-apa sih, aku Cuma mau tanya. Kenapa belakangan ini aku jarang melihat mu di kampus? Sakit kah?”

“Hmm, enggak ko sin. Aku nggak sakit.” Ku elus-elus dada ku perlahan
“Serius kamu nggak apa-apa?”

“Iya aku nggak apa-apa.” Suara ku melemah

“Syukurlah kalau begitu.”

Telepon terputus.
Aku sangat yakin sinta sangat bahagia belakangan ini. Ya, tak lain pasti karena dia bahagia bisa bersama dengan Andra. Pria yang sering dia bicarakan pada ku.

*

Satu minggu berlalu. Rasanya benar-benar mengerikan mengasingkan diri dari kampus dan jalanan. Malam ini aku memutuskan untuk pergi ke kedai kopi biasa aku menghabiskan semua keluh kesah seharian sendirian.

Dengan suasana yang setenang ini, satu cangkir kopi di meja kedai ini benar-benar membuat ku rindu akan sosok Andra. “Apa kabar dia sekarang? Sudah lama aku tak melihat wajah konyol nya.” Bisikku dalam hati

“Senja! Aku merindukan mu.”

Dengan cepat ku balikan pandangan ku pada asal suara itu. “An..dra?” suara ku malu-malu untuk bicara dan tak percaya

“Bagaimana kamu tahu aku disini?” tanyaku masih tak percaya bisa bertemu dengan Andra disini

“Aku melihat sepeda motor mu.”

“Hahaha, masih saja kamu tak bisa membohongi ku. Ayo mengaku! Tahu dari mana aku disini?” Tanya ku lagi dengan sedikit nada tinggi

“Hahaha, masih saja aku ketahuan.”

“Hahaha.”

“Aku tahu dari sinta.”

Tiba-tiba aku berhenti tertawa. “Lalu sinta nya mana?”

“Dirumah nya.” Jawabnya santai sambil meminum habis kopi ku yang sebenarnya masih terasa panas

“Bagaimana bisa sinta membiarkan kekasih nya menghampiri teman wanita nya seorang diri?”

“Hahaha, sinta itu bukan kekasih ku.”

“Hah? Maksudmu?” aku tak habis pikir mengapa andra tak menganggap sinta sebagai kekasih nya

“Ya, aku dan sinta tak ada apa-apa.”

“Secepat itu? Hanya satu minggu?”

“Hahaha, bahkan kamu bisa tahu seberapa banyak waktu yang kamu buat menderita karena ulah mu.”

Aku terdiam.

Andra memandang ku. Tubuh nya berada tepat didepan ku, dan mata nya yang kecoklatan itu seakan sedang membiarkan aku untuk tetap diam menikmati setiap sudut dari wajah nya. “Mengapa kamu harus melakukan ini?”

“Hmm, ndra… aku hanya ingin sahabat ku mendapatkan apa yang dia inginkan. Termasuk cinta.”

“Maksudmu, sinta?”

“Ya.”

“Lalu bagaimana dengan apa yang kamu inginkan?”

“Urusan ku belakangan.”

“Aku sama sekali tak mengerti. Mengapa wanita selalu menyimpulkan apa yang mereka pikirkan? Apa salah nya dibicarakan?”

“Maksud mu?”

“Kode dan peka itu. Aku muak!”

“Andra, aku tak mengerti.”

“Bisa kah dari banyak nya wanita yang hanya mengandalkan kode dan peka, kamu bisa menjadi wanita yang apa adanya?”

“Ndra…”
“Sekarang aku tanya. Dari mana kamu bisa berfikir bahwa sinta mencintai ku?”

“Dia sering membicarakan mu pada ku.”

“Apa kamu menanyakan nya pada sinta?”

“Tidak.”

“Lalu dari mana kamu yakin sinta mencintai ku?”

“Aku hanya merasakanya. Aku itu wanita, sama seperti sinta. Jadi tanpa sinta bicara pun, aku tahu dia mencintai mu”

“Lalu kamu? Apa kamu mecintai ku?”

Aku terdiam untuk kesekian kalinya… “Apa sih kamu ini!”

“Lagi-lagi aku tak mengerti pada mu! Pada wanita yang menganggap bahwa apa yang dia lakukan itu benar, padahal dia sama sekali tak tahu apa yang dirasakan nya.”

“Kamu datang kesini hanya untuk menyalahkan ku?”

Andra beranjak dari kursi nya dan menghampiri ku. Tubuh nya sedikit membungkuk dan wajah nya berada sangat dekat dengan wajah ku.
“Apa kamu pernah bertanya pada ku, apa aku mencintai sinta atau tidak?”
“Apa kamu pernah bertanya pada sinta, dia mencintai ku atau tidak?”
“Apa kamu pernah bertanya pada ku, apa aku ingin menjadi pacar nya atau tidak?”
“Apa kamu pernah bertanya pada sinta, dia ingin menjadi pacar ku atau tidak?”

“Hentikan!” ku dorong tubuh nya agar menjauh

“Kopi mu itu terasa hambar! Sama dengan perasaan ku terhadap mu sekarang. Sama dengan satu minggu ini kamu menjauhi ku dan juga sahabat mu itu.”

Untuk kedua kalinya Andra pergi begitu saja dan meninggalkan ku sendirian.

Semalaman aku tak bisa terlelap. Pikiran ku terus mengulang kejadian di kedai kopi itu bersama Andra. Apa yang dia bicarakan membuat ku sulit mengambil nafas panjang.

“Hallo Sinta…” aku memutuskan untuk menghubungi sahabat ku

“Hallo, kamu kenapa senja? Ko nangis?”

“Andra sin.. dia tadi datang ke kedai dan ngomong macam-macam.”
“macam-macam gimana maksudmu?”

“katanya dia… bukan kekasih mu. Kenapa dia bisa sejahat itu? Dia tak menganggap mu, padahal dia tahu aku itu sahabat mu.”

“Andra memang bukan kekasih ku. Lagi pula, kita nggak pernah menjadi kekasih.”

“Tapi sin… tempo hari aku dengar sendiri andra menyatakan perasaan itu pada mu.” suara ku tersedu-sedu karena masih saja tak mengerti

“Oh ya itu. Katanya andra hanya tak tahan mendengar mu terus menerus menyuruh nya agar menyatakan perasaan nya pada ku. Bahkan aku juga tak mengerti pada mu.”

“Itu… aku tahu kamu mencintai andra. Makanya ku suruh dia agar menjadikan mu kekasihnya.”

“Tapi, dari mana kamu tahu aku mencintai andra?”

“kamu sering membicarakan dia.”

“Hahaha, senja. Aku sering membicarakan dia karena ku lihat kalian sangat dekat. Bahkan aku bisa menebak bahwa andra itu menyukai mu. Dan kamu pun menyukai nya kan?”

“Itu.. ta..pi sin..”

“Senja, aku sama sekali tidak memiliki perasaan lebih dari sebagai teman untuk andra.”

“Lalu selama seminggu ini? Berita yang ku dengar dari anak-naka kampus kalau kalian selalu jalan bersama?”

“Hahaha, jadi selama ini kamu memang benar menjauhi ku dan andra? Yaampun.”

Tangis ku semakin menjadi, ditambah penyesalan yang membuat ku tak bisa bertahan dengan rasa yang ku tahan selama ini.

“Itu kerjaan nya andra. Dia menyuruh ku untuk memberi mu waktu. Katanya, biarkan kamu mengerti dan faham sendiri apa yang kamu rasakan.”

“Sin…” tangis ku tak bisa ku hentikan.

“Kamu mencintai nya kan?” tanya sinta pada ku.

*

Satu pesan singkat masuk ke ponsel ku “Senja, aku didepan pintu rumah mu”
 “Sepagi ini?” tanya ku pada pria yang ku lihat dari balik pintu rumah

“Aku hanya ingin memastikan bahwa kamu sudah faham.”

Aku tersenyum “Tapi kenapa harus satu minggu sih?”

“Biar senja ku mengerti bahwa aku ingin mencintai nya dengan apa adanya, tanpa adanya kode dan peka.”

“Ndra..” aku terkejut dengan kalimat yang keluar dari mulut nya

“Aku mencintai mu, senja.”
Andra memeluk ku.

“Aku juga mencintai mu.” Ku erat kan pelukan ku

“Jadi, berhentilah menjadi wanita menyebalkan yang selalu menganggap dirinya benar! Apa yang kamu pikirkan belum tentu sama dengan apa yang orang lain rasakan.”

“Ya!” ucap ku lantang

“Dan juga, berhentilah mengandalkan kode dan peka. Tidak semua pria faham dengan itu itu. Jadilah wanita yang apa adanya dan mau bicara. Ya?”

Ku kecup pipi kanan nya pertanda bahwa aku faham.