Kamis, 17 November 2016

Pernikahan.



Pernikahan itu soal kesiapan, bukan tentang bagaimana dua buah keluarga sudah saling kenal, bukan tentang sudah lamanya sebuah hubungan, bukan tentang betapa besar cinta yang dirasakan oleh masing-masing pasangan.

Bagiku, pernikahan adalah sebuah pilihan yang besar. Bukan tentang bagaimana susunan acara pestanya, bukan tentang harus menghabiskan berapa banyak uang untuk resepsinya, bukan tentang berapa teman yang harus menghadiri undanganya, bukan tentang tanggal dan bulan kapan harus diselenggrakannya, tapi pilihan atas siapa orangnya.

Menikah itu pasti akan terjadi. Tentu aku akan menikah dengan seseorang yang telah Tuhan pilihkan dan keluarga ku restukan, juga orang yang tentunya aku putuskan.

Sebelum adanya rasa bimbang yang menggelegar didalam dada. Aku merasa bahwa aku terlalu menyepelekan sebuah hubungan, aku terlalu menggap bahwa menikah adalah hal bahagia yang harus disegerakan, yang aku pastikan bahwa aku telah menemukan.

Kemudian beberapa perasaan ku menggiurkan segala bentuk pilihan. Aku lupa bahwa menikah itu adalah sebuah akhir dalam pencarian, sebuah akhir dari memanjakan sebuah perasaan, sebuah akhir dalam segala keputusan. Dan awal bagi segala bentuk permasalahan yang nantinya akan dituangkan dari dua kepala yang berisi pemikaran yang berbeda.

Ku pejamkan mata sambil berdoa. Lalu aku menyadari akan beberapa hal yang terjadi jika aku sudah menikah nanti.

Dan pada akhirnya, aku ingin meminta maaf untuk semua orang yang telah ku kecewakan. Aku tahu bahwa pilihanku telah menyakiti beberapa harapan pada sebagian orang yang ku sayang. Aku sadar bahwa sebuah tekanan hadir disana setelah ku utarakan sebuah keputusan.

Pernikahan itu soal kesiapan, soal bagaimana aku menghabiskan seumur hidupku dalam satu rumah yang sama dengan seseorang yang sama setiap harinya, soal bagaimana aku mengabdikan seluruh hidupku untuk seseorang yang harus ku banggakan seterusnya, soal bagaimana aku harus selalu menuruti setiap ucapannya, soal bagaimana aku harus menghormatinya meskipun dia salah, soal bagimana aku harus mengalah agar sebuah hubungan itu tetap baik-baik saja, dan soal dengan siapa aku akan melakukannya.

Lalu pikiranku terus melaju...

Melaju pada perasaan yang sekarang sedang ku rasakan.

Pernikahan itu soal kesiapan.

Minggu, 09 Oktober 2016

Kisah Wanita Periang yang Malang


Dari luasnya semesta dan banyaknya benda di antariksa terdapat salah satu desa di belahan dunia yang salah satu wanita nya memiliki kemampuan yang luar biasa. Wanita itu bisa menjalankan satu permohonan yang dapat diubah-ubah selama hidupnya. Semua orang percaya bahwa dia sebenarnya adalah sebuah bintang yang kesepian.

Wanita itu seorang periang yang jatuh hati pada seorang pria tampan. Tepat diatas bukti dekat salah satu bintang terang, wanita itu memohon agar dapat dipersatukan. Dan keeseokan harinya semua terkabulkan dan hubungan antara wanita periang dan si pria tampan berjalan dan bertahan.

Wanita itu hanya tahu bahwa dia mencintainya, lalu didetik pertama mereka berhubungan, wanita itu langsung mengganti permohonan dengan ingin selalu membahagiakan kekasihnya.

Mereka menjadi pasangan yang sering dibicarakan oleh yang lainnya karena keharmonisan dan kedekatan mereka benar-benar membuat iri semua pasangan. Sampai suatu ketika pria tampan itu mengatakan sesuatu hal,

 “Sayang, bisakah kau membuat ku tertawa hingga aku bosan?”

 “Untuk apa? Apa kau sudah bosan ku buat bahagia?” jawab wanita itu

“Bukan seperti itu. Aku hanya ingin dibuat tertawa olehmu.”

“Tapi aku tak bisa melucu. Dan aku hanya ingin membuatmu bahagia. Itu saja.”

“Baiklah, tak apa." jawab pria tampan itu melemah

"Yasudah jika memang itu mau mu. Aku akan membuatmu tertawa."

Kemudian wanita itu mengganti lagi permohonannya agar mampu membuat kekasihnya tertawa. Dan memang benar, kekasihnya pun tertawa hingga bosan dan benar-benar bosan lalu meninggalkannya.

Wanita itu tak mengerti apa yang terjadi. Kekasihnya meminta agar dibuat tertawa, tapi setelahnya, wanita itu ditinggalkannya. Lalu, wanita itu tersadar bahwa kekasihnya memang tak pernah mencintainnya. Di atas bukit itu, wanita itu hanya meminta permohonan untuk dipersatukan, bukan agar sang pria tampan itu mencintainya.

Lalu wanita itu memutuskan untuk pulang dan bersembunyi dibawah bantal. Dia melihat langit-langit kamar dan mulai menjerit kesakitan. Wanita itu menangis merintih hanya dalam beberapa jam dalam semalam. Lalu kemudian tangisnya berhenti seketika dan meneruskannya dengan tertawa. Wanita itu kebingungan karena dia ter tawa ketika sedang kehilangan seseorang.

Akhirnya wanita itu menyadari satu hal, bahwa menangisi seseorang yang telah memutuskan untuk meninggalkannya itu benar-benar menyakitkan dan dia lebih memilih untuk tak ingin menyakiti dirinya dengan menangisinya.

Keesokan harinya wanita itu membuat sang pria tampan kembali tertawa sambil membasahi pipinya dengan air mata. Perlakuannya membuat semua orang merasa kasihan karena itu terlihat sangat menyedihkan, semuanya meminta wanita itu untuk mengganti permohonanya dengan yang lainnya. Tapi, wanita itu menolak karena menganggap bahwa cara itu bisa membuat pria yang dicintainnya bahagia dengan cara yang dia inginkan; tertawa.

Wanita itu sama sekali tak mengganti permohonannya sampai sekarang hingga wanita itu dikenal dengan wanita periang yang malang.

Kamis, 06 Oktober 2016

JODOH



Belakangan ini aku merasa berbeda. Mungkin karena cuaca di kota ini sedang buruk, atau suhu tubuh ku yang sedang tak menentu. Atau aku hanya sedang ragu. Atau aku merasa gugup.

Setelah dihitung, aku sudah mengenalnya hampir mendekati dua tahun, mungkin tak sedikit orang yang beranggapan bahwa itu baru seumur jagung atau bahkan belum sampai seperempat kehidupan untuk memulai sebuah tujuan, tapi bagiku berbeda, itu sudah cukup lama, karena aku tak pernah selama ini bersama seseorang.

Baiklah, akan ku perkenalkan. Dia adalah seorang pria yang sederhana, tapi tidak sesederhana seperti kalimatnya. Haha, aku bercanda. Dia adalah pria yang selalu ada untukku. Tanpa ku minta, biasanya dia sudah muncul didepan mata, dia adalah pria yang tidak terlalu banyak bicara, yang bisa memakan apa saja ketika sedang jalan-jalan di luar, “terserah kamu aja. Aku sih bisa makan apa aja.” Katanya. Dia adalah pria yang terlalu banyak gaya, ya maksudku untuk apa habis-habisan agar terlihat sempurna dimata orang jika aku aja sudah ada untuknya, tapi katanya bahkan semua itu untukku. Supaya aku tidak malu membawanya kemana-mana. Bagiku, itu jawaban yang lucu dan menyebalkan. Kadang-kadang, aku bisa sampai kesal.

Pria ini gila akan kerja, “harus cari uang banyak biar bisa beli rumah yang punya dapur besar buat mu.” Katanya. Aku tertawa sekaligus bahagia. Kami sudah sering menggambarkan masa depan bersama, atau membicarakan segala hal jika nantinya kami hidup bersama-sama. Jalan-jalan melihat perumahan, mengubah-ubah susunannya dengan tangan kami yang saling melayang di udara seolah sedang mendekornya, menanyakan harga, bahkan pernah sekali waktu kami menghafal nomor ponsel yang ingin menjual rumah untuk ditanyai harganya.

“Nanti kita patungan beli mobil. Biar bisa bawa barang banyak. Motor ku kan gak ada bagasinya. Ribet.” Katanya. “Iya, aku juga gamau kalau hamil nanti naik motor. Anak ku bisa masuk angin” kataku. Ya, banyak pembicaraan yang menganehkan yang kami lakukan didalam hubungan yang sudah melebihi satu tahun setengah ini.

Tapi beberapa bulan belakangan ini, hubungan ku sedikit lebih rumit. Ada sikap yang baru ku temui dari dirinya, dan ada sikap ku yang katanya sangat dia tak suka. Banyak persoalan yang mempersulit hubungan kami, atau banyaknya orang yang ikut mengurusi ini. Kami saling mengeluh ini-itu, saling bicara yang tak seharusnya kami utarakan, saling meninggalkan, saling berdiam, saling keras kepala, saling tak ingin bicara, meski pada akhirnya kami sama-sama menyesal dan berusaha untuk tak lagi mengulanginya, tapi tetap, pria ini tak pernah berhenti membuatku ingin marah setiap harinya, dan pria ini pun tak pernah berhenti memelukku dengan erat ketika aku ingin terlepas.

“kamu gak inget gimana kita sampai kaya gini sekarang?!” katanya. Itu yang selalu dia tanyakan jika aku sedang ingin marah dan menyerah. Ya, kami sudah melewati banyak hal bersama-sama. Tertawa lepas dijalanan sampai ditegur oleh orang, bertengkar dijalanan, membeli ini-itu bersama. Aku pernah menangis karena tugas akhir ku berantakan sedangkan jadwal sidang ku sudah dekat, dan dia ada disisiku mengatakan bahwa aku memalukan. Dia pernah gugup ketika menjelang sidang dan aku ada untuk mengajarinya bagaimana menjelaskan semua isi dari kepalanya. Kami saling ada satu sama lain tanpa terkecuali. Dan banyak lagi hal lainnya yang kami lakukan bersama atau melakukan hal untuk satu sama lain. Kami selalu berusaha untuk saling membahagiakan meskipun pernah sekali waktu kami sama-sama menangis semalaman dan diam oleh sebuah pelukan. Lalu itu terjadi berulang-ulang dan berkali-kali juga kami bahagia kembali. Kemudian kami sadar bahwa sebuah pertengkaran akan kesalahapahaman tak akan membuat kami ingin berpisah jalan, bahwa mempertahankan adalah satunya-satunya kunci untuk mewujudkan sebuah pernikahan.

Aku tak pernah membayangkan bahwa pria yang tak pernah berhenti berusaha untuk mengajakku makan malam bersama, bertemu malam-malam yang untuk pertama kalinnya didepan rumah, menyatakan cintanya di kedai coffee yang ku suka, yang ku bacakan musikalisasi puisi untuk pertama kalinya di kota ini, didepan orang-orang yang salah satunya adalah dia, yang mau bertahan untukku, yang jarang bicara manis, yang berhasil mendapatkan restu seluruh keluargaku, yang mencintai adik-adik ku, yang sering bertingkah konyol, yang sering membuatku marah, yang pernah membuatku menangis, yang mengatakan bahwa dalam dua bulan kedepan akan mempertemukanku dengan jodohku.

Selasa, 20 September 2016

Surat Cinta Pertama Untuk Gilang Alfian Maulana



Teruntuk pria yang sering berputar-putar dikepala,
Gilang Alfian Maulana

Hi, sayang.
Aku tahu kau akan tertawa dari kau mulai membaca judul tulisan ini. Tak apa, dan ya, kau boleh tertawa. Aku tahu bahwa aku memang sudah sering menulis tentang mu, tentang dirimu, tentang bagaimana indahnya hubungan yang sedang kita jalani sekarang. Tapi ini adalah surat cinta pertama ku utnukmu. Aku juga bisa menduga bahwa saat ini kau sedang mengkerutkan alis lebat mu itu dan sedikit demi sedikit ujung bibir itu tertarik dan dalam sekejap kau bisa sangat terlihat tampan dan menawan. Dan sungguh, raut wajah seperti itu selalu berhasil membuatku jatuh cinta berkali-kali setiap hari lagi dan lagi.

Hari ini adalah tanggal dimana kita memutuskan untuk bersama-sama. Aku tak ingin merusak suasana dengan menghitung sudah berapa lama tepatnya kita membagi kehidupan yang berbeda dengan satu jalur yang sama.

Sayang, aku tahu bahwa kita berbeda. Itu sebabnya mengapa kita dipersatukan. Kamu melengkapi apa yang tidak ada padaku, dan aku juga memiliki apa yang tidak ada padamu. Bukankah memang seperti itu? Kita adalah dua orang yang sama-sama tak sempurna yang akan menyempurnakan segala hal bersama.

Aku juga tahu bahwa belakangan ini hubungan kita sedikit lebih rumit. Banyak tekanan yang membuat kita sama-sama menjauh, saling membenci satu sama lain, mendebatkan permasalahan dari malam hingga pagi petang, meneriaki persoalan sampai kita sama-sama lupa mengapa kita masih bersama sampai detik sekarang. Ya, kita hanya ingin saling membahagiakan. Lalu dari semua hal yang telah terjadi, itu membuat kita semakin saling mengerti satu sama lain. 

Jadi, terima kasih karena kamu tidak menjadi siapapun untuk mencintaiku. Terima kasih karena tangan mu yang kuat itu selalu mampu memelukku ketika aku merengek ingin dilepaskan, terima kasih karena kamu tetap disampingku meskipun aku sedang marah dan menyuruhmu pergi. Dan terima kasih karena meskipun kau hanya seorang kekasih, tapi kau adalah orang yang paling mengerti bagaimana aku.

Sayang, Selamat hari jadi yang kesekian kalinya lagi, lagi dan lagi. Aku mencintaimu tak henti.

                                                            Dari,
                                                            Kekasihmu.

Jumat, 22 Juli 2016

Tipis


Sore ini mulai lagi teringat bagaimana perkumpulan dua keluarga itu membuat ku gila karena terlalu bahagia, bagaimana saat aku datang kerumah mu bersama seluruh keluarga ku untuk memenuhi janjiku kepadamu ketika aku menyelesaikan studi ku, bagaimana acara tunangan beberapa tahun lalu itu membuat ku yakin bahwa kamu memanglah senja yang diciptakan hanya untukku.

Dan lamunan ku tentang saat bahagia itu ditepis oleh suara dering telephone yang ternyata itu darimu

“Hi Senja.”

“Hai.”

“Ada apa? Dan bagaimana kabarmu sekarang?”

“Aku ingin menikah.”

Untuk sesaat degup jantungku berhenti dan perlahan mulai berdebar kencang

“Hallooo?” terdengar suara senja diujung telephone sana

“Ya senja. Aku benar-benar bahagia mendengar keputusan mu itu.”

“Baiklah, aku akan mengabari mu lagi ya. Bye.”

“Bye.”

*

Sudah 2 hari setelah telephone dari senja itu aku tak bisa berhenti memandang cincin yang melingkar di jari manis ku, cincin dengan nama senja dibaliknya, nama wanita yang dari dulu sampai sekarang tetap ku cintai dengan teramat-sangat. Lalu aku mengingat lagi bagaimana tahun-tahun memilukan itu. Tahun-tahun dimana aku kehilangan akal sehatku dan memanjakan emosi ku. Tahun-tahun dimana aku sudah terlalu sering membuat senja menangis.

“kamu terlalu sering menangis. Aku sampai muak mendengarnya.”

“Lalu, aku harus bagaimana sekarang?”

“Biasa saja. Perlakuan mu itu memalukan. Menangis di jalanan, menangis dirumah ku. Aku malu!”

“Aku begini karena mu! Karena semua sikap mu, omongan-omongan menyakitkan yang keluar dari mulutmu. Apa tak bisa kau perlakukan aku seperti tahun-tahun lalu? Saat aku merasa bahwa kamu mencintai ku?”

“Aku masih biasa aja, tak berubah.”

“Terserah!”

Itu adalah kata terakhir yang keluar dari mulutnya saat pertengkaran itu terjadi. Setelah itu aku membiarkanya pergi begitu saja dari rumah ku, aku bahkan sama sekali tak mengejarnya. Aku merasa bahwa senja itu sudah melewati batas. Dia menangis merintih memperbesar semua masalah yang ada, dan itu membuatku jengah. Sampai pada saat ini, aku merasa bahwa aku lah yang salah. Seharusnya aku tak menyakitinya dengan omongan-omongan ku yang sebenarnya keluar dari mulutku karena emosi saja. Seharusnya saat itu aku menghampiri dan memeluknya. Seharusnya aku tahu bahwa saat senja dalam keadaan itu, dia membutuhkan ku untuk menenangkannya bukan malah sebaliknya. Dan sekarang aku menyesal.

*

Pagi ini aku sudah sibuk mengurusi pakaian yang akan ku pakai ke acara pernikahan. Ya, ini adalah hari besar. Aku tak ingin melewatinya dengan begitu saja. Saat aku melihat cermin untuk bersiap-siap dan merapikan rambut ku, sekilas aku mengingat senja lagi yang tak pernah bisa membiarkan rambut ku rapi. Senja yang usil.

Dan senja yang manja. Senja yang selalu menganggu saat aku sedang bekerja. Senja yang selalu marah jika aku pulang bekerja dan langsung meninggalkanya untuk tidur terlebih dulu. Senja yang banyak bicara saat aku terlalu santai dengan tesis akhir ku semasa kuliah dulu. Senja yang tak bisa lama-lama tak bertemu dengan ku dan meminta hari libur ku hanya untuk bersama denganya saja. Senja yang akan marah-marah seharian bahkan sampai malam jika aku tak memberinya kabar. Meski senja menyebalkan, aku seharusnya tahu bahwa dia melakukan itu karena terlalu peduli dan mencintai ku.

Meski begitu, aku selalu saja mengabaikannya, aku selalu menganggap bahwa dia terlalu berlebihan, dan aku selalu tak mementingkannya. Dan sekarang meski menyesal, itu sudah terlambat bukan.

*

“Hi, senja.” Ku lihat riasan pengantin di wajahnya sama dengan apa yang dulu ku bayangkan jika suatu hari nanti senja akan menjadi pengantin

“Hi.” Jawabnya dengan singkat tanpa senyum di wajahnya

“Aku ikut bahagia atas pernikahanmu.”

“Terima kasih karena sudah mau datang.” Senyum nya mulai terlihat

“Seharusnya ini adalah acara pernikahan kita bukan?” ku beranikan diri memulai perbincangan soal perasaan

“Seharusnya dulu kau mau menahan sedikit ego mu dan menahan ku untuk pergi.”

“Ya. Hanya saja, aku masih belum bisa melupakan mu.” Jawabku

“Ya. Hanya saja, dulu kamu lah yang membiarkan ku pergi begitu saja seolah aku sudah tak lagi berarti.”

Aku terdiam. Menyesal dan membiarkannya pergi ternyata hanya beda tipis.