Sudah
beberapa waktu aku bertemu lagi dengan teman di masa lalu ku, setidaknya
meliburkan diri sendiri dengan berlari ke luar kota hanya untuk menenangkan
diri dari persoalan cinta bukanlah hal yang pantas untuk dibanggakan bukan,
tapi aku hanyalah gadis si penyulam rindu yang selalu berharap akan keajaiban
sebuah temu.
Aku
hanya bisa membaur soal rasa di media sosial, meskipun sepertinya orang yang ku
tujukan tak pernah merasakan. Dan bagusnya, aku tak pernah mempersalahkan
semuanya. Bagiku, dia tau apa tidak akan perasaanku terhadapnya bukanlah
masalah besar, ku bilang demikian karena ternyata aku selalu dianggap tersangka
dari semua persoalan.
Malam
ini aku putuskan untuk bertemu marina disalah satu kedai kopi di daerah pasirkaliki Bandung, disana ada pertemuan
yang menghadirkan orang-orang yang hanya menumpakan cinta di sebuah kertas usang
atau sebuah file tak bergambar, hanya tulisan yang mempersatukan semua perasaan
yang tak pernah bisa diutarakan.
“Aku
senang bisa bertemu lagi denganmu.”
“Ya,
aku pun.” aku hanya bisa memperlihatkan senyumku sedikit
“Apa
yang terjadi?”
“Tak
ada.” Jawabku singkat tanpa melihat ke arah marina
Acara
pun dimulai, ada pembawa acara yang bagiku terlihat mengesankan, orang itu
berbeda. Wajahnya terlihat pucat, pipi merah nya bersanding dengan
bintik-bintik jerawat yang bahkan terlihat lucu dimataku. Pembawa acara itu
mulai bicara, dengan percaya dirinya dia akan membahas tema pertemuan kali ini.
Aku hanya tersenyum sesekali sambil melihat tingkahnya yang tak bisa diam.
Seketika
aku dan marina terdiam.
“Apa
kamu bercanda?” marina membentak tepat didepan wajah ku
“Tidak.”
aku kembali terdiam
“Lagi-lagi
soal jarak. Aku muak!”
“Aku
pun tidak tau bahwa pertemuan debat puisi malam ini bertema jarak.”
Marina
menghela nafas panjang, aku pun sama. “bagaimana bisa?” hatiku ikut bicara
Aku
hanya bisa pura-pura tak melihat ketika orang-orang yang membacakan puisi
tentang jarak itu berlalu lalang menaiki dan menuruni anak tangga yang hanya
beberapa untuk sampai ke atas panggung kecil. Marina pun terlihat sama, dia
sibuk mengajaku bicara seakan memberiku tanda bahwa dia tak ingin menggapnya
ada. Suara puis-puisi itu seakan menggema dalam kepalaku, merusak sistem kerja
otak ku. Aku sungguh membenci jarak.
Pembawa
acara itu terlihat seakan mencuri-curi pandangan ke arahku, hatiku langsung
merasa tak enak, aku mengajak marina pulang, tapi bodoh nya marina seakan tau
apa yang terjadi saat itu, marina yang bodoh menggandeng tanganku dengan paksa,
menyuruhku membacakan sedikit perasaan ku malam itu melalui puisi.
“Aku
tak mau, aku tak bisa.” aku menggeleng
“Ayo,
aku yakin kamu bisa.” marina semakin terlihat bodoh
“Tapi
rin…”
“Aku
tau kamu sedang terluka oleh jarak, semoga semesta mendengar mu mengelukan
jarak malam ini, agar kamu mengerti bahwa takdir tak tinggal diam.”
Aku
berjalan perlahan
Aku
melihat-lihat sekitar, wajah-wajah yang sedang menampung jutaan rindu untuk
orang yang sedang ditunggu. Aku terdiam sejenak, membuat diriku terbawa oleh
suasana kedai kopi itu, mencoba mengingat dengan jelas wajah laki-laki yang
sering ku bicarakan dengan Tuhan setiap waktu, yang sampai saat ini masih saja
belum mau datang untuk mencicipi rindu.
Satu cangkir kopi itu telah habis
Ku telan perbutir hingga mengosongkan
semua sunyi
Malam ini ku duduk sendiri
Melihat langit yang selalu terlihat
berseri
Meskipun polos hitam yang masih
terbentang dengan jelas
Aku tertuju pada perasaan semu
Yang harusnya ku tawari dengan senyum
menggelitik
Ternyata harus ku lewati dengan air
mata rintik-rintik
Suara kecil menggema dalam kepala
Ku pikir ada yang sedang berencana
menyuruhku untuk ke kamar
Ternyata aku salah
Hatiku sedang merintih
Memeluk bayang abadi yang ternyata aku
sendiri
Bagai mimpi yang berterbang bagai buih
Hatiku terluka menjerit sambil berdiri
Bersama rindu
Dan perjalan waktu untuk bertemu
Aku menahan pilu
Karena ku yakini kamu mencintaiku
“Rin…”
aku memeluknya dalam diam, dengan belaian pengakuan bahwa malam ini hatiku
sedang terluka. Puisi itu sudah selesai, seperti pengakuan akan dosa yang sudah
membawa ku pada kesalahan jarum jam.
“Aku
mengerti.” marina menangis
“Aku
yang tak mengerti.” Aku memeluknya lagi dengan erat, tidak aku pedulikan
orang-orang yang dengan spontan melihat ke arahku dan marina
“Kamu
hanya belum terbiasa.”
“Rindu
ini rin, aku tak bisa.”
“Kamu
hanya perlu membicarakanya dengan dia.”
“Aku
tak bisa mengatasi rindu yang semakin hari semakin bertambah dan kurang ajar
terhadapku. Aku tak bisa menahan air mataku ketika sudah bicara soal pertemuan
yang ternyata tak pernah bisa ku dapatkan.” Aku menangis kencang
“Dia
pun tersiksa.”
“Dia
tak ada lagi, disini.”
“Dia
mencintaimu.”
“Dan
dia tak pernah lagi muncul dihadapanku.”
“Dia
hanya tak ingin melihatmu tersiksa karena dia yang masih saja belum bisa
mengerti akan banyaknya rindu itu.” marina tersenyum
“Dia
sudah pergi, rin.”
Marina
terdiam.
“Aku
hanya masih saja tak percaya pada jarak yang satu ini, rin.”
“Jarak
itu…”
“Aku
sedang tak membicarakan jarak. Aku cukup tau soal rindu, soal kepercayaan
tentang pertemuan yang katanya akan membuahkan cinta yang lebih besar. Aku
hanya ingin dia mengerti bahwa rindu ku lebih besar jika harus dibandingkan
dengan sikap diam nya yang hanya mengjaggokan kepekaan. Bukankah kita sudah
sama-sama dewasa, sudah tau bagaiamana mengekspresikan perasaan untuk
pasangan.”
“Dan
mungkin rindu dan jarak itu kembar.” marina tergesa-gesa ketika bicara
“Takdir
masih tak ingin ikut main rin…”
“Pertemuan
itu penuh sihir, menjadikan dunia seakan sedang berlipat menjadi segitiga.
Ketika berjalan menanjak, suatu saat kamu akan menemukan puncak yang
menghadiahkan senyum di raut wajahnya. Bagaimana bisa kamu tak mempercayainya?
Bahkan ketika lelah menggerogoti cinta, jarak membuatnya mati rasa. Jarak
adalah alasan rindu itu terus bermunculan, dan pertemuan adalah jawaban.
Mengartikan segalanya adalah rindu mungkin termasuk pembicaraan menakutkan bagi
sebuah rasa yang membuat hubungan itu terlihat membosankan. Percaya pada
pertemuan adalah kunci untuk pintu membuatmu bertemu dengan takdir Tuhan.”
“Kamu
selalu paling bisa menjawab semua pertanyaanku tentang jarak.”
“kamu
belum tau tentang rindu yang terus bermunculan dihatiku bukan?”
“Marina…
hentikan.” aku mengenggem tanganya dengan erat
“Bagaimana
bisa takdir memperhentikan segeitiga perjalanan pertemuan untuk aku dan dia.”
marina membahas soal kehilangan
“Aku
masih tak percaya pada pertemuan rin.”
“Aku
pun…”
Kedai
kopi itu memutarkan musik paling merdu yang pernah kudengar; Puisi malam.