“aku
mau kita putus.”
“apa
katamu?” ku lihat dia meremas bunga yang disembunyikan dibelakang tubuhnya
“ya.
Aku mau kita akhiri semuanya. Aku selesai.”
“kamu
bercanda? Maksudmu apa?"
“tidak.
Maksudku ya seperti itu.”
“alasan
mu?”
“kita
sudah tak cocok.”
“hahaha,
setelah hampir 4 tahun kita bersama, dan dalam jangka waktu sebulan lagi kita
akan mengadakan pernikahan. Kamu baru mengatakan sekarang bahwa kita tak cocok?”
Ku
lihat amarah yang sedang memuncak di wajahnya; memerah.
“ya.”
Jawabku singkat
“aku
sama sekali tak mengerti maksudmu. Ada apa denganmu?”
“tak
ada apa-apa. Bahkan aku baik-baik saja.”
Untuk
beberapa saat kita sama-sama saling diam. Sampai dia mengatakan hal menyedihkan yang terarah padaku.
“apa
selagi aku pergi, kamu bersama laki-laki lain?” sorot matanya sangat kejam
menurutku
“apa
serendah itu pemikiran mu tentang aku?”
“lalu?
Jika bukan karena laki-laki lain, mengapa kamu memutuskan ini?”
“menururtmu?”
“apa
laki-laki itu menyuruhmu untuk meninggalkan ku?”
“masih
juga kamu menyudutkan ini pada seorang laki-laki lain yang bahkan tak ada
dihubungan ini?”
“aku
lelah. Aku baru saja sampai di kota ini dan langsung menemui mu. Bahkan aku
baru sampai di pintu rumah mu, dengan seikat bunga yang mungkin sekarang sudah
layu.”
“aku
pun, sangat lelah.”
“kamu
lelah dengan ku, bukan?”
“ya.”
“kamu
sudah tak butuh aku lagi, bukan?”
“tidak,
bahkan sebaliknya.” Ku pandang wajah pria yang sebenarnya ku tunggu sejak lama untuk datang menemuiku itu
“aku
sudah disini. Aku ada untukmu. Harusnya kau tahu itu.” Tanganya menggenggam
tanganku dengan mesra
“aku
tau kamu disini. Tapi baru kali ini. Aku membutuhkan mu selama ini. Harusnya
kamu tahu itu.” Ku lepaskan genggamnya perlahan
“aku
bekerja di luar kota, mencari biaya untuk pernikahan kita, mengabdi pada rutinitas
untuk menghidupi mu nanti. apa itu masalah mu?”
“andaikan
kamu tau, bahwa waktu adalah pengorbanan yang tak bisa diperhitungkan. Jika
kamu membahas soal pekerjaan, berarti kamu sedang memperhitungkan segala hal.”
“dewasalah,
jangan terlalu menuntut untuk terus bertukar kabar. Kita bukan anak kecil lagi,
sayang. Banyak hal yang harus ku kerjakan.”
“bahkan
dari dewasalah aku tahu bahwa hanya orang yang bisa menghargai sebuah kabar
yang sepertinya serius menjalani hubungan.”
“okay.
Aku minta maaf.”
“aku
tak butuh permintaan maaf.”
“lalu?”
“aku
ingin diperjuangkan.”
“hahaha,
berhentilah bercanda. Kita menjalani hubungan sudah bertahun-tahun lamanya. Dan
akan menaiki level berikutnya, ya kan? Sebuah pernikahan.”
“aku
tak bercanda. Jika kamu menganggap demikian, itu berarti kamu yang merasa bahwa
hubungan ini hanya candaan.”
“aku
tak memberimu kabar karena aku sibuk dengan pekerjaan. Setelah selesai, aku
kelelahan dan terlelap.”
“jika
aku penting untuk mu, kamu bisa mempertimbangkan soal itu.”
“apa
kamu pikir, aku tak memberimu kabar karena aku tak menganggap mu ada?”
“aku
tak berpikir seperti itu. Aku tau pria ku tak akan sebrengsek itu.”
“lalu?
Apa kamu pikir, aku tak memberimu kabar karena wanita ku bukan hanya kamu?”
“aku
tak berpikir seperti itu. Aku tau pria ku tak semurahan itu untuk memiliki
banyak simpanan.”
“lalu?
Apa kamu pikir, aku tak serius padamu?”
“ya.”
“aku
mencintaimu. Harusnya kamu bisa menerima kekurang ku itu.”
“aku
pun mencintaimu. Maka dari itu aku bisa bertahan selama ini untuk mu.”
“lalu
sekarang? Kamu sudah tak mencintai ku. Begitu?”
“aku
masih mencintaimu, dan akan selalu begitu.”
“cinta
seperti apa yang akan segitu mudahnya menyerah?”
“aku
hanya bisa mencintaimu, itu saja. Tapi untuk hidup bersama orang yang tak bisa
menghargai waktu seakan tak pernah sekalipun menghargai akan posisi ku, sepertinya aku tak mampu.”
“aku
akan berubah. Aku janji.”
“aku
sudah terlalu lelah menunggu mu berubah.”
“lelah?
Bahkan pernikahan pun belum kita selesaikan. Ayolah sayang, jangan menyerah.”
“aku
tak pernah menyerah, sungguh. Menurutmu siapa yang mempersiapkan pernikahan
ini? Aku, sendirian. Meskipun banyak keluarga, serta teman yang siap membantu.
Tapi ini adalah pernikahan ku, pernikahan kita lebih tepatnya. Aku membutuhkan
mu juga.”
“kamu
bisa langsung menghubungi ku, kan?”
“lihat
ponsel mu. Sudah berapa puluh panggilan yang tak saja kau jawab? Sudah berapa
puluh pesan yang sepertinya juga tak kau baca. Apa aku sama sekali tak punya
hak atas waktu mu?”
“aku
hanya…”
“aku
sama sekali tak ingin menganggu waktu kerja mu, aku hanya butuh beberapa menit
untuk ku tanya tentang dekorasi, dan bangunan, atau semua yang berkaitan dengan
pernikahan.”
“aku
juga kan menghubungi mu, aku memberimu kabar.”
“ya,
kabar bahwa kamu akan datang hari ini. Itu saja. Pesan-pesan dan panggilan
sebelumnya sama sekali tak kau anggap dengan benar.”
Dengan
cepat pria itu memelukku dengan erat. Dan aku tak bisa menolak.
“kau
tau? Waktu adalah hal yang tak bisa dikembalikan. Maka jika kamu bertemu dengan
seseorang yang mau membagi waktunya denganmu, meskipun dia sibuk dan hanya
memiliki batasan waktu untuk sebuah pertemuan meskipun tak sampai seharian. Ajak dia ke sebuah
penikahan.” Ku lepaskan pelukanya perlahan
“Tapi…aku…
mencintaimu” katanya dengan suara terputus-putus
Ku
tutup pintu rumah ku tanpa pedulikan tubuh itu masih saja berdiri
tegap.
“jika
kamu tak ingin kehilangan waktu mu, maka kamu akan kehilangan aku.” Kataku dari
balik pintu.