Aku
membuka mata perlahan karena terlalu rapat untuk aku perlihatkan, jari-jemariku
perlahan aku gerakan karena masih terlalu linu untuk dipaksakan, aku menendang-nendang
seakan ingin segera cepat berlari bertemu dengan hari-hari yang suci. Bibir ku
masih terlalu lemah untuk aku perlihatkan senyumku yang indah.
Kemudian
aku mencoba mengedipkan mata, dan kulihat sosok malaikat yang nyata. Seorang wanita berparas cantik dengan
sempurna nya dia mendekatkan wajahnya padaku, dia mencium seluruh
sudut tubuh ku.
Ya, dia adalah seorang Ibu. Seseorang yang wajah nya seperti sudah tak asing
lagi bagiku, seperti seseorang yang selalu dalam mimpiku. Yang dengan sepenuh hati setia menompangku
selama 9 bulan lamanya didalam perutnya,
yang tak pernah mengeluh ketika aku menyakiti rahim nya, dan yang benar-benar
berjuang ketika membantuku hadir di dalam dunia nya.
Lalu
kemudian aku ditaruh disamping nya dengan lantunan lagu indah mententramkan
tangisku. Sebuah suara yang merdu masuk melalui telingaku. Ya, seorang Ayah
yang dengan sepenuh hati nya meng-adzan kan ku.
Dan setelah itu, mulai lah bermunculan wajah-wajah yang
memperlihatkan tangis haru kebahagiaan karena melihat ku hadir
diantara mereka sekarang.
Dan kali ini adalah puncak dari segala yang telah ku
mulai dari awal. Mungkin bagi sebagian orang umur 17 lah yang menjadi impian
dan ujung dari segala pengharapan, karena sudah mulai diberikan izin untuk
memiliki surat perijinan untuk mengendarai kendaraan, atau bahkan sudah diakui
oleh Negara menjadi penduduk tetap. Namun bagiku tidak.
Tepat di umur inilah aku menjadikan nya puncak.
Bagaimana tidak? Saat menjelang pagi, ada satu pasang mata yang menangis karena
tau aku sudah menjadi wanita yang ku damba. Umur inilah aku resmi menjadi
panutan semua adik-adik ku kelak, tepat di umur inilah aku menjadi wanita yang
sudah dibebaskan dalam memilih jalan ku sendiri. Menapaki segala macam bentuk
dan jenis tanah dengan kaki ku sendiri.
Dan untuk dua puluh tahun ini, tak bisa ku tulis satu per
satu siapa saja yang sudah mau sudi datang dan pergi meski sesuka hati mampu
menghiasi sepanjang hidup ku di masa-masa ini. Untuk setiap rasa, entah
bahagia, kecewa, terluka, bahkan tertawa yang ku rasa sudah mampu membentuk ku
untuk terus menjadi dewasa.
Untuk ku, Selamat bertambah usia menjadi kepala dua.
Semoga tuntutan menjadi dewasa akan ku terima dengan lapang dada.