Hari
ini adalah pernikahan ku bersama pria yang telah ku cintai sejak semasa putih
abu dulu. Aku sudah tak lagi menghitung berapa puluh ribu juta hari aku telah
menghabiskan waktu bersama nya, yang seluruh waktunya itu hanya untukku seorang saja.
*
Pria
ini telah berhasil membuat ku bertahan dari masa-masa suram ujian nasional,
dari jengahnya test untuk masuk kampus yang ku idam-idamkan, dari bosan nya
duduk di bangku kuliah, dari pusingnya skripsi, dan dari masa-masa kebimbangan
untuk menerima lamaranya yang bahkan itu semua telah meyakinkan ku untuk
menjadi pendamping hidupnya untuk selamanya.
Dan
dari itu semua tentu aku tak sembarang memilih seorang pria masuk pada hidup
ku, pada celah-celah kegiatan sehari-hari ku, dan dari restu keluarga juga
kedua orang tua ku, yang terutama adalah Bapak.
Bapak
adalah satu-satunya pria yang harus ku dapati restunya. Senyum
yang tak pernah pudar dari wajahnya, perkataan sopan dan manis nya, perlakuan
lembut nya, baik hati nya, dan tentu rasa sayang nya terhadapku lah yang
membuatku tak pernah bisa mencari yang sepertinya. Sampai pada malam menjelang
pernikahan ku Bapak memintaku untuk menemuinya dikamar nya. Rasa gelisah yang
menghantui perasaan ku tercampur aduk oleh rasa takut tak bisa meninggalkanya
dirumah bersama ibu berdua nantinya.
“Dinda…”
ku dengar suara pelan Bapak memanggil ku
“Ya
pak?” ku hampiri dia dengan duduk di sebelah tubuh lemahnya
“Ada
yang ingin Bapak sampaikan padamu. Dan ini sangat penting.”
Ku
dengarkan Bapak dengan seksama. Setelah Bapak mengatakan bahwa ini sangat
penting, maka aku tak ingin ada perkataanya yang ku lewatkan.
“Bapak
ini bukanlah Bapak mu, nak.”
Seketiba
seluruh ruangan di sudut-sudut kepala ku kosong. Lalu ada satu ruangan dimana
semua kenangan ku bersama Bapak berputar-putar sangat cepat.
Aku
masih diam. Sama sekali tak berani mengatakan satu patah kata pun, bahkan
menatap wajah Bapak saja aku tak sanggup.
“Waktu
itu Ibu mu menikah bersama seorang pria yang belum bekerja dan ditentang keras
oleh kedua orang tua nya. Tapi kau sudah ada didalam perut nya. Dan saat kau
lahir, Bapak menikahi Ibu mu.”
Aku
masih diam, namun ada tetes demi tetes yang membasahi telapak tangan ku. Bapak
mengenggam tangan ku dengan erat dan perlahan memandang ku.
“Meski
begitu, Bapak sangat menyangimu nak, sangat.” Peluk Bapak yang erat terhadap
tubuh ku
*
Langit
sudah mulai membiru, hari pernikahan ku di sabtu ini tiba dengan tepat waktu. Ku lihat Ibu sedang sibuk mempersiapkan segalanya untuk ku, dan dalam sekejap
Ibu berhenti dan menatap ku. Ku hampiri dia, dengan mata yang sembab tak tidur
semalaman, aku memeluknya dengan erat “Bu, aku mencintai Ibu dan aku mencintai
Bapak, Bapak yang selama ini ku panggil Bapak.”, Ibu melepas pelukanku dan memandangku,
aku tak bisa menahan segala amarah, sedih, kecewa, dan rasa yang membuatku
bingung di hari pernikahan ku.
“Maafkan
Ibu. Hanya saja, Ibu tidak memiliki keberanian untuk mengatakan nya langsung
itu padamu.” Ibu menangis lebih kencang dariku
“Tidak
apa-apa bu. Tidak apa-apa.” Ku usap-usap punggung nya
“Tapi
mengapa aku harus tau itu semua tepat di hari pernikahanku.” Tangis ku meledak
saat itu
“Ini
adalah keputusan Bapak mu, nak. Dia merasa kamu berhak tau siapa sebenarnya Bapak
mu.”
*
“Bu,
Bapak mana?” tak ku lihat wajah Bapak setelah sampai di gereja
“Didalam mobil”
“Kenapa
Bapak tak ikut turun?”
Ibu
hanya diam sambil menundukan kepalanya, setibanya aku tahu bahwa Bapak masih
saja memikirkan hal itu.
“Bapak…”
ku hampiri Bapak yang sedang tertunduk lelah
“Bapak,
sebentar lagi aku harus memasuki altar dan kenapa Bapak masih disini?”
“Bapak
tak pantas berada disana, Bapak bukanlah siapa-siapa untukmu.” Untuk pertama kalinya
kulihat Bapak menangis sambil memeluk ku
“Pak,
dinda sudah memikirkan semuanya. Mungkin dinda bukanlah anak Bapak, dan Bapak
bukanlah Bapak dinda. Tapi mau bagaimana pun Bapak adalah Bapak dinda. Meskipun
saat ini ada Bapak dinda yang sebenarnya berada diruangan sana, dinda tetap
membutuhkan bapak untuk mengantarkan dinda kedalam sana. Dinda hanya ingin Bapak,
tak ingin yang lain. Bapak mengerti?” ku peluk dengan erat tubuhnya
*
Saat kami berjalan bersama memasuki altar dan saat Bapak menyerahkan ku pada pria yang ku cintai itu, Bapak tanpa ragu mencium seluruh sudut wajahku dan memelukku. Dan saat itu
adalah Sabtu terbaik bersama Bapak yang tak kan pernah bisa ku lupakan.
Dan
Bapak itu adalah Bapak ku, mau sampai kapanpun.