Sore ini mulai lagi
teringat bagaimana perkumpulan dua keluarga itu membuat ku gila karena terlalu
bahagia, bagaimana saat aku datang kerumah mu bersama seluruh keluarga ku untuk
memenuhi janjiku kepadamu ketika aku menyelesaikan studi ku, bagaimana acara
tunangan beberapa tahun lalu itu membuat ku yakin bahwa kamu memanglah senja
yang diciptakan hanya untukku.
Dan lamunan ku tentang
saat bahagia itu ditepis oleh suara dering telephone yang ternyata itu darimu
“Hi Senja.”
“Hai.”
“Ada apa? Dan bagaimana
kabarmu sekarang?”
“Aku ingin menikah.”
Untuk sesaat degup
jantungku berhenti dan perlahan mulai berdebar kencang
“Hallooo?” terdengar
suara senja diujung telephone sana
“Ya senja. Aku
benar-benar bahagia mendengar keputusan mu itu.”
“Baiklah, aku akan
mengabari mu lagi ya. Bye.”
“Bye.”
*
Sudah 2 hari setelah
telephone dari senja itu aku tak bisa berhenti memandang cincin yang melingkar
di jari manis ku, cincin dengan nama senja dibaliknya, nama wanita yang dari
dulu sampai sekarang tetap ku cintai dengan teramat-sangat. Lalu aku mengingat
lagi bagaimana tahun-tahun memilukan itu. Tahun-tahun dimana aku kehilangan
akal sehatku dan memanjakan emosi ku. Tahun-tahun dimana aku sudah terlalu
sering membuat senja menangis.
“kamu terlalu sering
menangis. Aku sampai muak mendengarnya.”
“Lalu, aku harus
bagaimana sekarang?”
“Biasa saja. Perlakuan
mu itu memalukan. Menangis di jalanan, menangis dirumah ku. Aku malu!”
“Aku begini karena mu!
Karena semua sikap mu, omongan-omongan menyakitkan yang keluar dari mulutmu.
Apa tak bisa kau perlakukan aku seperti tahun-tahun lalu? Saat aku merasa bahwa
kamu mencintai ku?”
“Aku masih biasa aja,
tak berubah.”
“Terserah!”
Itu adalah kata
terakhir yang keluar dari mulutnya saat pertengkaran itu terjadi. Setelah itu
aku membiarkanya pergi begitu saja dari rumah ku, aku bahkan sama sekali tak
mengejarnya. Aku merasa bahwa senja itu sudah melewati batas. Dia menangis
merintih memperbesar semua masalah yang ada, dan itu membuatku jengah. Sampai
pada saat ini, aku merasa bahwa aku lah yang salah. Seharusnya aku tak
menyakitinya dengan omongan-omongan ku yang sebenarnya keluar dari mulutku
karena emosi saja. Seharusnya saat itu aku menghampiri dan memeluknya.
Seharusnya aku tahu bahwa saat senja dalam keadaan itu, dia membutuhkan ku
untuk menenangkannya bukan malah sebaliknya. Dan sekarang aku menyesal.
*
Pagi ini aku sudah
sibuk mengurusi pakaian yang akan ku pakai ke acara pernikahan. Ya, ini adalah
hari besar. Aku tak ingin melewatinya dengan begitu saja. Saat aku melihat
cermin untuk bersiap-siap dan merapikan rambut ku, sekilas aku mengingat senja
lagi yang tak pernah bisa membiarkan rambut ku rapi. Senja yang usil.
Dan senja yang manja.
Senja yang selalu menganggu saat aku sedang bekerja. Senja yang selalu marah
jika aku pulang bekerja dan langsung meninggalkanya untuk tidur terlebih dulu.
Senja yang banyak bicara saat aku terlalu santai dengan tesis akhir ku semasa
kuliah dulu. Senja yang tak bisa lama-lama tak bertemu dengan ku dan meminta
hari libur ku hanya untuk bersama denganya saja. Senja yang akan marah-marah
seharian bahkan sampai malam jika aku tak memberinya kabar. Meski senja
menyebalkan, aku seharusnya tahu bahwa dia melakukan itu karena terlalu peduli
dan mencintai ku.
Meski begitu, aku
selalu saja mengabaikannya, aku selalu menganggap bahwa dia terlalu berlebihan,
dan aku selalu tak mementingkannya. Dan sekarang meski menyesal, itu sudah
terlambat bukan.
*
“Hi, senja.” Ku lihat
riasan pengantin di wajahnya sama dengan apa yang dulu ku bayangkan jika suatu
hari nanti senja akan menjadi pengantin
“Hi.” Jawabnya dengan
singkat tanpa senyum di wajahnya
“Aku ikut bahagia atas
pernikahanmu.”
“Terima kasih karena
sudah mau datang.” Senyum nya mulai terlihat
“Seharusnya ini adalah
acara pernikahan kita bukan?” ku beranikan diri memulai perbincangan soal
perasaan
“Seharusnya dulu kau
mau menahan sedikit ego mu dan menahan ku untuk pergi.”
“Ya. Hanya saja, aku
masih belum bisa melupakan mu.” Jawabku
“Ya. Hanya saja, dulu
kamu lah yang membiarkan ku pergi begitu saja seolah aku sudah tak lagi berarti.”
Aku terdiam. Menyesal dan membiarkannya pergi ternyata hanya beda tipis.