Langit
itu biru ya, bu?
Satu
pertanyaan yang sering kali ku tanyakan pada ibu. Dan jawaban ibu hanya tertawa
sambil sesekali mengelus-elus rambut panjangku. Wajahnya masih terlihat sangat
muda, dan tangan kuat nya masih saja bisa menompang beban badanku yang mulai
berat. Setiap pagi aku selalu menyempatkan memandang langit yang baru disinari
matahari, sambil menggenggam tangan ibu dan perlahan tidur di antara kedua kaki
nya.
Dan
itu adalah pagi sekitar 17tahun yang lalu. Sejak saat itu, aku sudah lupa
bagaimana cara menikmatinya di pagi hari.
Akhir-akhir
ini langit terlihat menawan, keindahan yang tak bisa ku paparkan. Semakin sering
melihat keatas, aku semakin sadar bahwa langit masih terlihat sama, hanya saja
aku yang telah berbeda. Dan kali ini langit membuat ku rindu akan aku yang
dulu.
Aku
rindu memandang langit bersama mu, sambil bercerita bagaimana hari-hari lelah
ku. Aku percaya jatuh cinta akan membuat kita bahagia, tapi kali ini biarkan
aku menghabiskan waktu untuk mengingat masa-masa dulu. Kesibukan kita yang
berbeda membuat semuanya terasa menganehkan. Aku tak percaya bahwa waktu bisa
berjalan secepat ini. Terasa baru kemarin aku bermanja-manja dipangkuanmu,
terasa baru kemarin aku sibuk menangis hanya karna memar kecil.
Langit
itu biru ya, bu?
Satu
pertanyaan yang sering kali ku tanyakan pada ibu. Dan pagi ini jawaban ibu
berbeda, ibu hanya tersenyum kearahku sambil menggendong adik kecil ke-4 ku
yang baru lahir sekitar lima bulan yang lalu.
Ternyata
sudah banyak langit pagi hari yang ku lewati. Sampai aku lupa bagaimana mengulang rasa bahagia ketika menikmatinya. Padahal aku tahu bahwa langit ku
masih sama. Hanya kali ini aku yang telah berbeda.
Langit
membuat ku sadar bahwa waktu tak bisa diulang, dan hanya dia yang bisa
menggenggam semua kenangan. Kita hanya bisa menikmati keindahanya, bukan
untuk memikirkan bagaimana langit bisa selalu terlihat sama oleh pandangan kita.
Langit
itu biru ya, bu?
Boleh
kah aku memandangnya sambil mengadu keluh kesah ku di pangkuanmu, seperti saat sewaktu kecil dulu?