Rabu, 05 Maret 2014

Ini Hanya Tentang "Jarak"

Minggu lalu saat aku sedang menghabiskan satu cangkir coffe cappuccino late di daerah dago bandung, terisak-isak karena hidungku tersumbat, malam itu aku habis menangis sendirian, ya, ini mengenai laki-laki yang penting, tapi ini bukan tentang cinta, melainkan rindu.

Waktu sudah menunjukan jam malam, ponsel ku terus berdering memperlihatkan ada panggilan masuk yang bermunculan dari Ibu dan kekasihku. Ah, aku sedang tak ingin diganggu. Aku perlu waktu sendiri untuk memperbaiki hati. Ku balas pesan pada ibu karena aku takut dia khawatir atas keadaanku, lalu kekasihku, aku tak memberikan kabar apapun.

Sebelum ponsel ku matikan, aku melihat wajahnya terlebih dulu, begitu membuatku linu, laki-laki macam apa yang tak pernah menghabiskan rindu, padahal aku selalu ingin bertemu, betapa menyedihkan-nya aku. Tak lama kemudian tiba-tiba ada yang memukul pundak ku dengan keras.

“Hey! Ingat aku?"

“Siapa ya?” aku mengkerutkan alis ku sambil berfikir siapa wanita ini
   
“Aku, teman sekolah mu dulu. Aku akan marah jika kamu benar lupa.”   

“Apa? Maaf, aku benar-benar lupa.” Aku tersenyum mengejek nya

Dia tersenyum terus-menerus tanpa henti sambil melihat wajahku. “Kamu tak berubah yah.” Kalimat itu yang pertama ku dengar keluar dari mulutnya. Dia masih terlihat cantik, tahi lalat yang masih berada tepat di hidungnya membuatku yakin bahwa dia benar-benar temanku, Marina. Kita bicara banyak, sampai hal yang tak terlalu penting pun kami bicarakan, mengingat masa sekolah dulu, membicarakan betapa rindunya dengan guru-guru, sampai membicarakan rindu yang akhirnya mendasar pada hubungan yang menceritakan cinta akan sosok nyata.

“Dengan siapa kamu sekarang? Masih jomblo?” dia tertawa    

"Masih juga kamu mengejekku rin? Gini-gini aku sudah gonta-ganti pacar kesekian kali.”   

“Sombong sekali kamu, kualat nanti.”

Kita tertawa bersama.    

“Kalau kamu gimana?” aku bergantian bertanya   

“Aku… Ldr.” dia tersenyum sambil menundukan wajahnya sesekali  

Aku tertawa kencang “Serius rin? aku juga.” Aku tertawa lagi   

"Sejak kapan kamu mau hubungan jarak jauh seperti itu? Bukanya dulu kamu tidak pernah percaya ada cinta yang terhalang jarak?” dia tertawa puas sambil menepuk-nepuk kening ku 

“Tapi ini berbeda.” aku tersenyum malu.

Kami membicarakan jarak, dia membanggakan jarak yang katanya adalah penghias kehidupan ditemani dengan rindu yang dipicu oleh jarak. Sedangkan buat ku, jarak adalah penghalang untuk bertemu karena terlalu banyak merindu.   

“Aku mengenal jarak dari pacarku yang sampai sekarang masih menjadi pacarku” dia tersenyum kecil   

“Sampai sekarang masih bertunduk pada jarak? Aku memotong pembicaraanya

“Dari SMA kelas 2 semester pertama, dia dipindahkan ke kota hujan, Ayah nya memutuskan untuk membawa nya pindah setelah perceraian kedua orangtua nya. Aku hanya bisa melambaikan tangan ketika perpisahan itu dimulai, hanya ada butir-butir air mata yang ku fikir akan segera bertemu untuk mempersatukan pelukan seperti biasanya. Aku belum paham tentang jarak, karena yang dia katakan bahwa jarak hanya memberi ruang lebih untuk aku menghiasi duniaku, lalu setelah menurutku itu sudah cukup, aku bisa menambah hiasan yang diambil dari dunianya. Setiap hari ku tahan rindu yang menggebu pada hatiku, sampai pada batas waktu untuk bertemu, akhirnya dia datang mengampiri teras rumahku. Dia memakan semua rindu itu sampai tak tersisa. Hatiku senang bukan main.” 

Aku hanya tersenyum, dia terlihat bahagia ketika menceritakan akhir ceritanya. 

“Kemudian sampai ujian akhir sekolah selesai. Dia menemuiku lagi, seminggu penuh waktukku diisi oleh suara nya, sampai-sampai tubuhku tak pernah sedetikpun merasa kedinginan karena angin malam. Ku fikir jarak ku sudah selesai. Tapi ternyata jarak terlalu sering mengambil waktunya hingga dia mampu mengambil keputusan untuk meneruskan pendidikan sampai ke Italy. Hari itu fikiranku hanya bercambuk kekecewaan terhadap dia. Belum puas kah dia membebaniku oleh rindu, kali itu aku benar-benar merasa tak dipentingkan. Dia bicara seolah bahwa itu hanya sementara, hanya beberapa tahun kan tak masalah, katanya sambil mencoba untuk memelukku. Aku hanya bisa diam membisu, dalam hatiku, apa tak terlalu jauh mengambil jurusan design grafis sampai harus ke Italy? Tapi dia hanya tersenyum ke-arah ku. Dengan lembut dia menjawab bahwa dia akan mengambil keputusan apapun demi kebahagiaan masa depanku, bukankah kamu menginginkan laki-laki yang mapan untuk menjadi suamimu? Aku hanya tersenyum ketika dia bicara seolah sedang mengajariku.” 

“Marina sungguh pejuang jarak yang hebat.” Aku tersenyum lebar mencoba untuk memberinya semangat karena matanya mulai berkaca-kaca  

“Itu belum seberapa.” Jawabnya singkat

“Maksudmu?”

“Jarak mengambil semua waktunya.” matanya sudah ber-air

“Sudah ku bilang kan rin, jarak itu menyedihkan. Jarak itu egois.” Aku mulai bicara lantang    

“Tapi jarak adalah pemicu rindu yang terhebat.” Marina mulai menjungjung tinggi jarak  

“Jarak membuat hatiku terkikis karena rindu yang semakin hari semakin tak menipis”    

“Tapi jarak membuatmu selalu memikirkan dia yang jauh disana kan?” marina mulai menggodaku  

“Jarak membuatku ragu tentang cintanya terhadapku.”    

“Tapi jarak adalah perindu yang sering membuat pasangan lain cemburu.”    

“Jarak membuatku tak bisa bertemu denganya setiap hari.”    

“Tapi jarak memberikan jeda untuk kamu dan dia menciptakan sesuatu yang indah ketika rindu kalian habiskan bersama.”   

Aku terdiam. Ketika itu, suasana kedai kopi benar-benar hening.    

“Tapi rin…”    

“Jarak itu hebat jika kamu percaya bahwa pertemuan akan membuahkan cinta yang lebih besar. Bahwa jarak sebenarnya memberi ruang untuk menimbulkan rindu lebih banyak.”    

“Dia selalu sibuk dan selalu seperti yang tak ingin bertemu denganku.” Hatiku mulai terasa linu    

“Dulu, aku selalu merengek padanya soal jarak, bicarakan penyerahan lebih awal karena rindu ku tidak pernah lagi mau dia gubris. Aku kesal karena dia yang terlihat menanggapi ku biasa saja. Sampai pada akhirnya dia lelah mendengar semua ocehan yang keluar dari mulut ku. Itu rasanya seperti ditinggalkan secara tidak langsung.” Marina menangis   

“Tapi aku dan dia ldr dengan berjarak sangat jauh rin, aku di kota yang berada jauh darinya dan dia di ibu kota sana” aku memelas    

“Aku pun ldr, aku berada di kota bandung, dan dia berada di sisi Tuhan.”   

Aku terdiam.

12 komentar:

  1. Jadi tak sebanding dengan temannya.....

    BalasHapus
  2. melow gini bacanya
    mampir dong https://aksarasenandika.wordpress.com/2015/02/18/melankolia/

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehe terima kasih, geni :)
      Okay. terus berkarya ya.

      Hapus
  3. mungkin jarak membuat arti merindu yang sesungguhnya.
    salam kenal. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mungkin juga jarak yang membuat arti rindu yang selalu ingin bertemu.
      Ya. salam kenal kembali, Erdi :)

      Hapus
    2. pasti, nis, jarak dan rindu, mereka berteman baik. hehe
      main" ke tempatku.

      Hapus
    3. berteman untuk mengalahkan, haha
      baiklah! ku temui kau disana :)

      Hapus
  4. Jarak.. dan cinta.. asal selalu ada rasa saling mnjaga n percaya mungkin bisa tp realitanya itu memang susah pakek bngetttt.. apa lagi udah lama gak ktmunya.. waw.. salam.. sibocahlaliomah.blogspot.com

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya, jarak dan cinta seperti punya keterkaitan yang tak bisa dijelaskan.
      salam juga, Dhani :)

      Hapus