Ponsel
ku berdering sesekali, rasa lelah sehabis pulang kuliah membuat tanganku malas
bergerak meskipun hanya mengambil ponsel dari dalam tas. Terpejam beberapa
saat, terdengar lagu Endah Resa – When
You Love Someone dari radio kamar yang lupa ku matikan saat berangkat tadi
siang. Jam berdetak sudah pada poros paling bawah, hampir maghrib dan badanku
masih berbau kendaraan jalanan tadi. Lalu ku putuskan untuk mandi
Menutup
pintu kamar untuk berpakaian, lagu yang terdengar kini berganti menjadi Sherina Munaf – Pergilah Kau. Ku ambil
ponsel didalam tas yang terlihat kembung karna terisi lembar-lembar materi
perkuliahan anak ekonomi. Ku sentuh sambil sesekali mengacak-acak rambutku yang
basah sehabis ku bilas, tiba-tiba mataku terasa akan keluar seketika melihat
email yang masuk dari seseorang yang sebenarnya tak ku harapkan.
Hatiku
berdegup kencang, kini lagu sudah berganti menjadi Efek Ruma Kaca – Lagu Kesepian siapa yang tidak tau dengan lagu
itu?
“Dimana terang yang kau janjikan, aku
kesepian. Dimana tenang yang kau janjikan, aku kesepian. Ku tak melihat kau
membawa tenang yang kau janjikan. Kau bawa debu bertebar diberanda berair mata”
Orang
yang sudah berbulan-bulan hilang, kini datang membicarakan rindu yang bahkan
sudah habis-habisan ku lupakan dengan pemaksaan pada hati ku meskipun semua isi
perasaan ingin rindu ini bertahan. “Sungguh menjijikan” bisikan dalam hatiku
mulai ikut bicara
***
***
Hari
ini tak ada jadwal kuliah, ujian tengah semester pun telah selesai. Meskipun
ini terbilang masih pagi, aku berharap kedai coffee yang biasa ku datangi sudah
terpangpang “Open” di balik pintu kaca yang terlalu tebal menurutku. Dan tak
tau kenapa pagi ini rasanya terlalu lelah mengendarai kendaraan sendiri, “manja
sekali-kali rasanya tak masalah bukan? Haha” berbicara dengan bayangan sendiri
pada cermin, bibir ku kini sudah terpoles lipstick merah cerah seperti warna
bunga mawar yang bermekar indah. Jilbab ku bermotif bunga yang bermacam-macam
warna dan ku pasangkan dengan kaos panjang polos dan rompi pendek oblong juga
celana jeans, tak lupa juga sepatu converse berwarna hitam. Entah apa yang
terjadi, tapi sikap ku pagi ini seperti orang yang telah jatuh hati.
Baru
sampai di perbatasan jalan, ku berhentikan sopir taxi itu..
“Pak,
tunggu sebentar!”
Taxi
itu mendadak berhenti, kepalaku terbentur kursi depan. “Aww” Ingin marah pun
rasanya tak pantas, ku yakin sopir itu dengan cepat menginjak rem karena kaget
mendengar teriakan ku.
“Ya
ada apa mbak?”
“Tas
laptop ku tertinggal. Hehehe”
“Hmm,
memang ya yang lagi jatuh cinta mah suka lupa segala hal ya mbak.”
“Ihh
apaan sih pak. Tunggu sebentar ya pak.”
Tidak
lebih dari 10menit ku tinggal taxi itu menghilang. Tas, dompet, ponsel ku ada
ditaxi itu pun ikut terbawa pergi. Dengan cepat ku hubungi ponsel ku dari
telepon rumah.
“Hallo..
hallo pak.”
“Ya
hallo?”
Suara
pria muda atau mungkin dewasa terdengar dari ujung telepon sana. Suara yang
sepertinya ku kenal, tapi tak ku pedulikan, yang terpenting ponsel ku
dikembalikan.
“Hallo
mas. Ini dengan siapa ya? Ponsel itu punya saya. Loh tunggu, bukanya ponsel itu
ada didalam tas dan tas itu ada didalam taxi ya.”
“Iya
mbak, taxi nya saya pakai, saya gak tau kalau taxi ini sudah ada orang. Maaf ya
mbak, saya buru-buru soalnya.”
“Yaudah
sekarang kembalikan kerumah saya lagi!” ku bentak dan ku tuutp langsung
***
Setelah
menunggu beberapa menit taxi itu pun datang lagi, dengan jengkel nya ku hampiri
dengan wajah kesal dan menahan amarah. Pintu taxi itu terbuka, raut wajah ku
sudah siap untuk memperlihatkan… eh tunggu!
“Angga?”
“Langit?”
Aku
terdiam, mematung sambil menatap wajah itu. Wajah yang selalu ku rindukan,
satu-satu nya pria yang selalu berpehuni dalam mimpi ku setiap malam, bahkan
setiap aku memejamkan mata. Rasanya seperti terdengar lagu Afgan – Jodoh Pasti Bertemu, jika aku memang tercipta untumu.. jodoh
pasti bertemu. Tak lupa juga bertaburan bunga, hahaha
“Angga
ko kamu ada disini?”
“Langit…
a..ku…”
Tiba-tiba
isi kepalaku memutar ingatan lalu, saat Angga secara tiba-tiba menghilang dari
hidupku, begitu saja meninggalkanku.
“Kamu
menaiki taxi milikku!” tanpa menghiraukannya aku masuk ke dalam taxi itu dan
meninggalkanya begitu saja.
Di
perjalanan bibirku terdiam, pandanganku tak lepas dari wajah itu… bahkan sopir
taxi yang sedari tadi menanyakan kemana tujuan ku tak ku berikan jawaban.
Setelah
ku sadar taxi ini melewati jalanan yang sama untuk kedua kali barulah ku gubris
bapak sopir ini..
“Pak,
kita mau kemana sih? Ko muter-muter?”
“Loh
ko tanya saya? Mbak mau kemana?”
“Ohiya
lupa. ko saya tanya bapak ya? Haha. Saya mau ke kedai coffee yang didaerah dago
pak.”
“Iya
mbak.”
Baru
membuka pintu nya saja sudah membuat hati ku tenang. Kedai ini memang selalu
ramai, tapi tak pernah bising, itu yang ku sukai. Menu disini pun gak aneh-aneh
dan masih dalam kewajaran isi dompet seorang mahasiswa. Ku pilih tempat duduk
seperti biasanya, pojok kiri dekat kaca dan menghadap ke luar untuk melihat
jalanan. Ku pesan menu seperti biasa, brownis bakar cokelat dan ice coffee
caramel late. Dan seperti biasanya juga, sambil menikmati menu ku habiskan
waktu dengan browsing atau sekedar menulis.
“Tunggu
dulu! Tas laptop ku mana? Ketinggalan di taxi!!” untungnya aku berteriak hanya
didalam hati, dalam kenyataanya hanya ku perlihatkan di raut wajah saja.
“Gimana dong? itu Laptop mana masih bagus pula. Masa udah hilang aja sih.”
Rasanya lemas dan ingin menangis
Sudah
satu jam lebih tak ku sentuh pesanan ku. Mungkin sekarang brownis nya sudah
dingin dan ice coffee caramel late sudah membaur menjadi rasa aneh. Tak juga
ingin pulang. Kedai coffee ini memang sudah menghipnotis ku untuk tetap tinggal
dan menyuruh ku tetap santai, meskipun laptop ku hilang! Ku lihat jalanan
diluar yang kini telah turun hujan.
***
Pintu
kedai coffee terbuka lebar, sampai angin diluar masuk dan menghembuskan
pandanganku.
“Loh
ngapain kamu disini?” terkejut melihat wajah ini sekali lagi muncul dihadapanku
secara tiba-tiba
“Nih!
Tadi aku menaiki taxi itu lagi. Sopir nya bilang tas laptop mu tertinggal. Dia
bilang kamu turun di kedai ini, jadi dia meminta tolong aku untuk
mengembalikanya padamu.”
“Ahh!
terimakasih angga.” Rasanya melegakan
“Dasar
ceroboh.”
“Aku
kan lupa.”
“Dan
sejak kapan sih seorang Langit itu gak pernah ceroboh dan gak lupa”
“Dan
sejak kapan sih seorang Angga itu gak so tau.”
Pria
ini kini sedang duduk dihadapanku, wajah nya bisa ku lihat terus menerus tanpa
jeda waktu. “Apa bumi sedang berhenti berputar?” hatiku pun ikut bicara
“Masih
juga kamu suka ngopi disini lang?”
Tiba-tiba
ingatan lalu terputar lagi didalam kepala, kedai coffee ini adalah tempat
favorite kami dulu, dan tempat ini juga adalah saksi bisu tentang pernyataan
cinta aku dan Angga.
“Ya,
memang kenapa?”
“Gak
apa-apa ko. Kuliah dimana sekarang?”
Aku
tau Angga sedang memulai percakapan, mencoba menghangatkan suasana seperti
biasanya, tapi kali ini keadaan kami berbeda. Rasanya benar-benar sudah tak
nyaman jika harus berada didekat Angga.
“Mau
tau banget sih.”
“Masih
juga kamu bete sama aku lang?”
Aku
terdiam
“Ngambi
jurusan apa?”
“Ekonomi.”
“Loh
bukanya sastra?”
“Bukan.”
“Kenapa?”
“Ceritanya
panjang”
“Kamu
kenapa sih lang?”
“Tanya
saja sama Tuhan kamu.”
Aku
pergi, beranjak dari tempat duduk menuju kasir untuk membayar bill. Tanpa
melihat wajah itu, aku meninggalkan kedai. Aku terus berjalan kedepan tanpa
pernah melihat lagi ke belakang, tidak akan pernah, tidak lagi.
***
“Lang..
tunggu!”
Sudah
berusaha keras untuk tak membalikan badan pun tetap saja suara itu memang
selalu bisa membuatku menoleh lagi.
“Ada
a…pa la..gi sihh?” belum sempat ku teruskan, tubuh nya sudah melekat pada
tubuhku, kini parfum nya pun bisa ku cium jelas. tanganya melingkar erat pada
pinggang ku, seakan sedang meremas segala rasa penyesalan.
“Angga
mohon lang, jangan tinggalin soal kita lagi.”
“Tak
pernah ada Kita diantara kita.” Ku lepaskan tubuhnya perlahan. “Sudah malam,
aku pulang duluan ya. Kamu hati-hati dijalan.” Ku tinggalkan lagi wajah itu dan
berharap tak ada lagi panggilan untuk menyuruhku berhenti berjalan, karena kali
ini ku pastikan aku benar-benar tak akan kembali pada kenyataan pahit itu lagi.
Tiba-tiba
tanganku terayunkan oleh angin malam. Untuk kedua kalinya kaki ku berhenti
berjalan, ku lihat lagi wajah itu, disampingku tersenyum dan menggenggam
tanganku. “Angga gak akan pernah lagi lepasin kamu lang. bahkan jika seandainya
Tuhan mu tak pernah menyetujui kita, dan jika nantinya kita pergi ke tempat
ibadah yang berbeda, memanggil namaNya dengan sebutan yang berbeda. Tapi ketika
aku melihatmu bersujud dengan wajah basah oleh air wudhu dan ketika aku sedang
melipat jari-jemari berpegang erat pada salibku, aku benar-benar mencintaimu.”
Ada
hujan yang membasahi pipiku, rintikan kebahagiaan yang tak bisa ku jelaskan.
***
Pagi
ini suara burung-burung terdengar lebih merdu. Lagu-lagu bahagia sudah bisa
terdengar jelas ditelinga. Ponsel ku berdering…
“Hallo
Assalamu’alaikum?”
“Hallo
hai…”
“Hey!
Aku sedang memberikan salam” nada bicaraku sedikit keras
“Hmm..
iya iyaaaa waalaikumsayang.”
“Apa
sih ngga…” jawaban angga membuatku tertawa geli
“Hai
sugar… sudah siap?”
“Su…gar?
Iya..a aku u…dah siap ko.”
Rasanya
benar-benar tak bisa ku jelaskan. Setelah sudah hampir lima bulan aku
merindukan panggilan itu akhirnya ku dengar lagi, dan sudah ada lagi wajah nya
yang muncul di layar ponsel ku. Setiap kali dia menelepon ku, setiap kali itu
juga aku bisa melihat wajah nya karena ku simpan photo dalam contact person.
Suara
mobil terdengar dari dalam rumah. Ku percepat langkahku seakan sedang diburu
waktu. Ku lihat pria itu lagi pagi ini, dan dia tersenyum…
“Silahkan
tuan putri”
“Aw..
terimakasih tuan.” Ku berikan senyum terbaikku pagi ini
Angga
membukakan pintu mobil itu lagi untukku, memperlakukan aku layaknya putri lagi.
Dan semuanya lagi. Selalu ada kata “Lagi” karena ini bukan untuk yang pertama
kali. Angga memutar lagu Bruno Mars –
Marry you didalam mobil. Rasanya ingin mengucap selamat pada hati karena
telah merasakan cinta lagi, dan mengucapkan hati-hati karna pasti akan terluka
lagi. Tapi apapun persoalan hati, aku ingin menikmati dulu rasa bahagia ini
bersama pria yang kucintai.
“Tumben
kamu bawa mobil?”
“Biar
jilbab mu gak berantakan dijalan.”
“Ohgituh…”
Angga
tersenyum kearahku, ku harap senyum itu akan selalu ku lihat setiap saat
untukku.
“Kita
mau kemana sih ngga?”
“Kampung
gajah.”
“Apaaaa??!
Kampung gajah? Are you serious? Whoa!!! Kampung gajah in wonderland!”
“Haha
yes of course. Seneng amat deh sampe teriak-teriak gitu.”
“Hehehe
ya maaf. Abis seneng banget sih…”
“Iya
iyaaa. Hari ini kita seneng-seneng ya.” Suara angga terdengar lebih bersemangat
***
“Sayang,
adzan tuh. Shalat sana.”
“Oh
iya, udah dzuhur ternyata. Gak kerasa deh”
“Yaudah
kita cari masjid dulu ya, terus makan.”
“Ngga,
please… don’t ever change, stay with me.”
“Never
sugar” angga menggenggam tanganku. Menuntunku untuk mencari tempat ibadah ku.
Meskipun dalam perbedaan ini kami saling tersakiti, tapi dengan dia hadir
disisiku itu membuatku lebih mudah percaya suatu hari nanti kami bisa bersama
tanpa mempermasalahkan Tuhan yang berbeda.
Aku
memejamkan mata, mengangkat kedua tangan dengan iringan air mata. “Ya Allah,
lihatlah pria itu. Pria yang sedang sabar menunggu wanita nya berdoa dengan
cara yang berbeda, beribadah ditempat yang berbeda. Pria itu masih bisa mengingatkanku
menjalankan kewajiban lima waktu ku untukmu, bahkan pria itu menyuruhku untuk
menjadi hambaMu yang paling dicintai olehMu. Bukankah dia adalah pria yang baik
untukku?” hatiku bicara dalam kesedihan yang mendalam, dalam sepi hati ku itu
berdoa.
“Udah
shalat nya sayang?” angga menggenaggam tanganku lagi
“Udah
ko”
“Cari
makan yuk.”
“Ayooo!
Laper nih”
Setelah memutuskan menu makanan, dan makanan tiba dimeja
kami. Kami mulai beroda, ada perdebatan yang selalu terulang saat itu.
“Tuhan yang kami sebut dengan berbagai nama, yang kami sembah
dengan berbagai cara” aku mulai berdoa
“Terimakasih atas
berkat yang kau berikan, jauhkanlah kami dari percobaan” Angga meneruskan doaku
“Aamiin.” kami mengucap Amin dengan nada seirama
***
“Angga…”
“Ya sugar?”
“Tau film cinta gak?”
“hmm.. Movies about love?”
“Yes, but love god a difference”
Angga berhenti berjalan, memandangku dengan tatapan dalam
“What happened sugar?”
“We’re so fit for each other. Aku cinta kamu, dan kamu pun
cinta aku.”
“So?”
“Aku islam, kamu Kristen”
“Maksud kamu apa sih lang?” saat ini nada bicara angga
sedikit naik
“Gak apa-apa ko. Itu Cuma sedikit cuplikan dari film cinta
yang tadi ku bicarakan.”
“Sayang, I love you without you can imagine. You’re my
everything. Meskipun aku gak bisa berterima kasih secara langsung sama Tuhan
kamu karena sudah menciptakan wanita seindah kamu. Setidaknya, aku sudah
katakan berkali-kali sama Tuhan ku, tolong sampaikan Terimakasih ku pada Tuhan
kamu.” Angga tersenyum
“Kenapa Allah ciptain kita beda-beda, kalau Allah cuma mau
disembah dengan satu cara?”
“Makanya Allah nyiptain cinta, biar yang beda-beda bisa nyatu
tapi tetep yang bener cumasatu”
“Loh ko jawaban kamu bisa sama persis dengan jawaban cina di
film cinta?” aku terheran-heran
“Kan aku tau film nya sayang.” Angga tertawa. Mencium
tanganku sambil berlari terlebih dulu menuju parkiran mobil
“Angga begooo!” aku berteriak, mengejarnya dengan wajah
bahagia. Suara canda tawa yang tak bisa ku sembunyikan “Thanks god for everything”
suara lembut itu terdengar lagi didalam hatiku
***
Pagi ini aku harus mengabaikan ponsel ku yang terus berdering
tanda pesan masuk, di pagi ini juga aku harus menaiki taxi ke kampus karna ban
mobil ku bocor dan belum ku perbaiki. Tugas akuntansi lupa belum ku serahkan
kemarin. Terlalu bahagia bisa mengahbiskan waktu bersama dengan Angga membuatku
lupa segala hal, termasuk tugas ini.
Setelah berlari kesana-kesini mencari dosen dan akhirnya
tugas itu sudah ku berikan, barulah aku membuka ponsel ku. 5 pesan baru dan
semua itu dari Angga, juga 3 panggilan tak terjawab dan semua itu dari Angga.
“Hallo assalamu’alaikum”
“Hallo lang! lang, kamu dimana? Kamu kemana aja sih ko ga
bales sms ku, gak angkat telepon ku. Kamu dimana?” angga tak berhenti bicara
“Ya ampun ngga. Tenang dulu kaliii. Aku di kampus nih. Iya
maaf tadi aku gak sempet mainin ponsel ku.”
“Ngapain di kampus?”
“Kumpulin tugas ku.”
“Sama siapa?”
“Sendirian. Kenapa sih?”
“Ya udah angga kesana sekarang. Kamu tunggu ya.”
“Ya. Emang ada apa sih?”
Telepon terputus….
***
“Kamu tuh kalau kemana-mana bilang aku dulu lah lang. aku kan
bisa anter kamu.”
“Maaf ngga, aku tadi buru-buru banget”
Didalam mobil pun kami masih saja membahas masalah pagi tadi.
“Yaudah gak apa-apa. Lain kali kamu gak boleh kaya gitu lagi
ya.”
“Hmm.. oke.”
Banyak pertanyaan didalam kepalaku mengapa angga sebegitu
khawatirnya padaku
“Sekarang kita cari sarapan ya.”
“Iyaaa angga bawel.”
Satu cubitan manja mendarat di pipi ku. “Ahh angga, sakit
tau!” angga hanya tersenyum
***
“Kamu pesen dulu aja ya, aku ke toilet dulu sebentar.”
“It’s oke”
Baru angga pergi beberapa saat, ponsel nya berdering “Loh
angga ko malah gabawa ponsel nya sih” aku nyerecos sendiri
“Hallo? Angga kamu dimana sih? Aku khawatir banget sama kamu.
Kamu gak kabarin aku. Jahat banget sih!”
“hay sorry, ponsel angga ketinggalan. Angga nya lagi keluar
sebentar.”
“Loh? Ini siapa? Ko ponsel nya angga di kamu?” nada suara
wanita itu semakin tingtgi dan membuat telingaku sakit
“Aku.. aku langit. Kamu siapa?”
“LANGIT?” wanita itu membentakku
“I..iya… ini siapa ya?”
“Langit… bisa minta tolong? Simpan nomor ku dan ku tunggu
kamu menelepon ku. Dan tolong jangan katakan pada angga kita sempat bicara.”
Nada suara nya kini semakin lemah dan terdengar samar lalu menghilang. Telepon
terputus
“hey sugar, what’s wrong?” angga menatapku yang sedang
melamun sendiri tak mengerti apa yang terjadi
“Nothing. I want to go home.”
“Why? No breakfast?”
“No! I want to go home angga!!!”
Angga tak lagi menatapku. Dia hanya terdiam sejenak lalu
mengantarku pulang. Kami tak bicara banyak, saat sampai dirumah pun tanpa
ucapan terimakasih aku membuka pintu mobil itu sendiri, menutupnya lalu
meninggalkanya.
“Hallo?”
“Ya? Siapa ini?”
“Aku langit. Kamu yang menyuruhku untuk menghubungimu kan?”
“Langit.. kamu lagi dimana? Masih sama angga?”
“Udah enggak ko. Tenang aja, sekarang aku udah ada dirumah.
Dan angga pun sudah pulang.”
“Bisa kita bertemu? Ada yang mau aku bicarakan denganmu.”
“Tentu. Kapan?”
“Besok malam.”
“Kenapa gak sekarang?”
“Aku baru membeli tiket pesawat menuju bandung tadi pagi.
Nanti siang aku baru berangkat.”
“Loh ternyata kamu bukan orang sini?”
“Aku orang Bali.”
“Yasudah. Aku tunggu kabar darimu.”
“Oke. Thanks.”
“You are welcome.”
***
Angga menghubungiku beberapa kali, mengirimkan pesan sampai
berbelas-belas. Aku sedang tak ingin menggubrisnya. Ada perasaan ku yang sedang
terganggu oleh panggilan wanita itu di ponsel angga. Aku tak ingin
menebak-nebak siapa wanita itu untuk angga. Hatiku belum bisa menerima luka
baru.
“Hallo langit..”
“Ya?”
“Aku sedang dalam perjalanan menuju hotel. Kita akan bertemu
dimana?”
“Nanti aku sms saja alamatnya, jam delapan malam.”
“Oke. See you”
“Yaps.”
Angga mengirim ku pesan yang membuatku semakin gila
“Langit, ada banyak jawaban
dari semua yang ingin kau tanyakan. Ada banyak penjelasan dari segala sesuatu
yang kamu ingin tahui. Cukup mengikuti kata hatimu, maka aku akan menjadi
milikmu”
“Apa maksud perkataan angga? Ahh! aku tak ingin
menebak-nebak.” Ku bantingkan ponsel ku. Rasanya ingin menangis, akankah luka
hati ini muncul lagi untuk kedua kali
***
Aku tiba terlebih dulu di restoran ini. Alasan aku memilih
restoran ini karna menurutku ini tempat yang bagus untuk mengobrol dengan orang
baru, apalagi masalah yang serius. Walaupun ukuran toko nya 4x4 meter persegi
dan tempat duduk yang ada hanya
berjumlah 6 kursi saja, tapi café ini tak terlalu ramai, itu yang lebih
penting untukku. aku hanya memesan Hot
Chocolate, sedikit berharap bahwa cokelat membuat ku lebih tenang. Pintu
café ini terbuka, ada satu wanita masuk dengan cantiknya. Gaun hitam dengan
renda-renda dan sepatu higheels yang cantik, satu jepitan pita besar menghiasi
rambutnya, menggelungkan rambutnya hingga aku bisa melihat jelas kalung salib
yang melingkar di leher nya.
“Langit kan?” wanita itu langsung menghampiriku, seakan telah
tau bahwa aku sedang duduk menunggunya
“Yes.” Aku langsung berdiri dan menjabat tanganya
“Whoa! You are so beautiful. Dengan jilbab mu, you look very
sweet.”
Aku tersenyum, menyalahkan perasaanku atas dugaan bahwa
wanita ini akan menyakitiku, tapi tenyata tidak sama sekali. Sungguh pertemuan
pertama yang bagus “Thank you.. kamu pun sangat cantik.”
“You are welcome. Ahh, kamu berlebihan. But, thanks. Hehehe”
“No no. I’m serious. Kamu mau pesan?”
“Of course. Apa menu makanan terbaik di café ini?”
“Mungkin Sachertote kali ya. Kue khas Austria yang bentuknya
seperti cake-cake. Tapi disini dipadukan dengan Selai buah apricot yang
dipadukan dengan coklat sponge cake, dan dipoles dengan dark coklat icing.
Desserts yang pernah ku makan. Atau kamu lapar?”
“Wow, mendengarnya saja sudah membuatku gila ingin
mencicipinya. Enggak ko, aku udah makan malam tadi di hotel.”
“Baiklah. Sebentar, aku panggil dulu pelayan nya.”
“Oh my god! aku lupa belum memperkenalkan diri. Haha I am Tiar.”
“Haha it’s oke. No problem Tiar.”
Sambil menunggu pesanan datang, sesekali Tiar menatapku.
“What’s wrong Tiar?”
“Kamu ada hubungan apa
sama angga?”
Pertanyaan awal yang membuatku menggigil, “Siapa kamu sampai
aku harus menjawabnya?”
“Langit, banyak yang tak kamu mengerti. Bahkan mungkin
sepertinya kamu gak tau sama sekali.”
“Maksudnya?”
“Apa kamu tau angga itu tinggal dimana?”
“Ya dirumahnya lah tiar. Di jln. Cemara. Rumah yang berwarna
cream coklat dan pagar yang berwarna abu tua juga halaman besar dan taman yang
di isi dengan kolam ikan bukan?”
“Ya, mungkin itu rumahnya. Tapi mungkin juga itu adalah rumah
lamanya.”
“Maksud kamu apa?”
“Apa kamu gak tau kalau angga udah pindah ke bali?”
“A..pa? bali? Tapi… ka..pan?” tenggorokanku terasa tercekik
“Ya bali. Sekitar tiga bulan yang lalu.”
“Hah??!”
“Setelah mama nya meninggal.”
“Apaaa katamu???! Meninggal? Tante asri meninggal?”
“Setelah mama angga meninggal. Papa nya memutuskan untuk
kembali ke kampung halamanya, Bali.”
“Tapi angga tak pernah cerita apa-apa soal ini.”
“Haha tentu saja angga tak cerita. Kalian baru bertemu lagi
kan? Dan baru bersama lagi dalam beberapa hari. Mana mungkin angga menceritakan
semuanya.”
“Apa maksudmu semuanya?”
“Ya semuanya lang! Sebenarnya ingin sekali aku menjambakmu,
memukuli mu hingga memar-memar. Hingga kamu tau bagaimana rasanya melihat pria
yang dicintai hampir gila karena wanita yang bahkan telah meninggalkanya.”
“Apa lagi maksudmu dengan pria yang dicinta? Hampir gila?
Siapa?”
“Hah! Ternyata kamu benar-benar tak mengetahui segalanya. Apa
yang terjadi denganmu disini disaat angga hampir gila karna kamu telah meninggalkanya?
Bagaimana kabarmu disini disaat angga tak ingin makan ataupun tidur karna terlau
keras memikirkanmu? Apa kamu memikirkanya seperti angga yang tak pernah
berhenti memikirkanmu?” Tiar menangis
“Ta…pi angga baik-baik saja Tiar.”
“APAAA???! Bak-baik saja katamu? Mungkin dihadapanmu angga
terlihat baik-baik saja, terlihat sama sekai tak punya beban dibenaknya. Dan
bukankah seharusnya kamu bisa melihat bagaimana kondisi orang yang kau cintai.”
Aku terdiam… tak mengerti dan tak tau harus berbuat apa.
“Apa kamu mencintainya lang?”
“Tentu… aku sangat mencintainya. I can’t live without him,
Tiar. Please, tell me what happened!”
“Setelah kamu meninggalkan Angga, dia patah hati. Tak bisa
melupakanmu sama sekali. Bahkan ketika saat Mama nya sakit, angga tak terlalu
memperhatikanya. Dan ketika mama nya meninggal, angga terkejut dan semakin
mengurung diri dikamar. Papa nya tak tau harus berbuat apa, sampai akhirnya
papa angga memutuskan untuk pindah ke Bali. Itu yang ku tau dari papa angga,
lang.”
Aku menangis. Air mata sudah benar-benar tak bisa ku tahan
lagi. “Aku tak pernah tau kalau angga sebegitu kehilangan.”
“Yang membuatku penasaran, mengapa kamu meninggalkanya jika
memang katamu, kamu mencintainya?”
“Perbedaan.” Ku jawab dengan sendu-sendu tangis yang sedang
ku tahan
“Tak ada cinta yang tak butuh pengorbanan. Semua cinta butuh
perjuangan langit.”
“Kamu tidak tau rasanya ketika dicibir ketika sedang berjalan
bersama. Padahal aku tak melakukan kesalahan, aku hanya berjalan-jalan dengan
pria yang ku cinta.”
“Mungkin itu adalah salah satu cara Tuhan melihat
perjuanganmu soal cinta ini kan lang?”
“Tuhan yang mana yang sedang kita bicarakan? Kamu juga tak
tau bukan rasanya ketika hanya bisa melihat orang yang kau cinta sedang
berbicara berdua bersama Tuhan nya dan kamu tak ada disana untuk menemaninya?
Kamu juga tak tau bukan bagaimana rasanya ketika tak bisa beribadah bersama
orang yang seharusnya menjadi imam mu kelak?”
“Lang….”
“Kamu juga pasti tak pernah tau bagaimana rasanya ketika
orang yang kau cinta harus memanggil Tuhan dengan panggilan yang berbeda..
rasanya menyakitkan.”
“Aku memang tak pernah tau lang, tapi yang ku tau cinta
sejati tak pernah membiarkan orang yang berada didalamnya bersenang-senang
diawal.” Saat ini Tiar menatapku penuh haru
“Tuhan kita saja tak satu, bagaimana aku dan angga bisa
bersatu. Katakan!!!” aku menangis tersedu-sedu
“Mungkin itu alasan Semesta membawaku pada kalian.”
“Maksudmu?”
“Lang, apa kamu tau siapa aku?”
“Bagaimana aku bisa tau jika kamu tak memberitau ku?”
“Aku adalah calon tunanganya angga.”
“Tunangan?” suara ku hilang. Hati ku berantakan, dan kaki ku
bergemetar. Rasanya ingin sekali membanting meja makan ini. Tapi apa daya jika tubuhku
lemas dan hanya menginginkan pulang.
Tiba-tiba aku beranjak berdiri dan kaki ku mengajak ku
berlari kencang keluar dari restoran, menembus angin malam dan tak peduli
bagaimana keadaan, ku biarkan wajah ku dilihat oleh orang-orang, aku tau peduli
bagaimana pemikiran orang-orang yang melihatku penuh dengan air mata, mereka
tidak tau bagaimana isi hatiku yang sekarang telah tercabik-cabik oleh
kenyataan bahwa aku tak bisa bersama dengan pria yang ku cinta hanya karena
perbedaan.
***
Sesampainya didepan rumah, aku disambut oleh pelukan hangat
dari seseorang yang menjadi alasan ku untuk pergi meninggalkan café itu.
“Sayang, kamu kenapa? Apa yang terjadi?”
“Angga…” aku meneruskan tangis ku, semakin kencang, semakin
deras, semakin tak terkendalikan
Angga memelukku erat “Kamu kenapa? Bilang sama angga lang”
Aku hanya bisa menangis. Sama sekali tak ingin bicara atau
menceritakan segalanya pada angga. Angga benar-benar sudah kelewatan, tapi
pelukan ini yang sekarang ku butuhkan.
“Langit!”
Aku dan angga sama-sama terdiam, melihat seorang wanita
berlari ke arahku sambil berteriak memanggil namaku.
“Tiar… ngapain kamu disini?” angga berteriak terkejut
“Langit, tas kamu ketinggalan.” Tiar menyodorkan tas kecil ku
“Dari mana kalian? Apa yang kau bicarakan pada langit? Tiar,
jelaskan padaku ada apa ini sebenarnya!” angga membentak tiar dihadapanku
“Sudahlah ngga, aku gak apa-apa ko. Eh makasih ya tiar udah
jauh-jauh anterin tas nya padaku.”
“Sama-sama lang. lain kali jangan ceroboh ya”
“Iya.. tapi kamu tau dari mana rumah ku?”
“Aku buka dompetmu. Disana kan ada KTP dan ada alamat rumah
nya juga. Hehe maaf ya udah lancang buka isi tas mu.”
“Gak apa-apa ko tiar.” Aku tersenyum ke arah tiar, mengusap
perlahan air mata ku yang berjatuhan
“Lalu kamu pulang naik apa?” angga bertanya dengan nada
khawatir
“Naik taxi. Tuh taxi nya masih ada belum aku bayar. Aku bayar
dulu ya sebentar.” Aku pergi meninggalkan angga dan tiar. Aku sengaja
meninggalkanya agar mereka bisa bicara tanpa ragu karena keberadaan ku diantara
mereka
“Apa yang kamu lakukan disini?” Angga memulai pembicaraan
“Kamu fikir aku tak khawatir tau kamu tak memberiku kabar
beberapa hari terakhir?”
“Aku kan sudah bilang berulang kali. Aku ingin menghabiskan
waktu bersama langit. Aku rindu padanya.”
“Tapi tidak dengan mengabaikan aku begitu saja. Aku ini
tunanganmu.”
“Tunangan katamu? Jangan sampai aku membahas soal ini lagi
Tiar!”
Tiar terdiam. Ketika aku datang, angga dan tiar membungkam.
“Aku mau istirahat. Angga, kamu pulang aja. Dan sekalian
tolong anter Tiar. Sekarang dia sudah menjadi temanku.”
“Tapi lang…”
Ku tinggalkan angga yang masih bicara. Apapun jawabanya tak
ingin ku dengar. Aku lelah dengan semuanya. Lelah pada kenyataan yang ternyata
semesta sudah membuat kesalahan membiarkan dua orang bertemu dan menjalin cinta
sebegitu dalam sedangkan mereka tak pernah ditakdirkan.
***
Saat aku membuka mata, sudah ada satu pesan masuk dari angga
“Lang, don’t leave me again.
Please, I love you so much”
Matahari pagi seakan memang tak ingin memberikan sedikit
sinaranya padaku. Kamar ku kini benar-benar gelap gulita, bahkan cahaya lampu
tak membuatnya sedikit terang. Atau mungkin ini hanya perasaan ku saja.
“Langit!” suara yang tak asing itu terdengar lagi
“Aduuh apa sih angga masih pagi udah teriak-teriak depan
rumah orang. Kalau ayah ibu bangun gimana.”
“Langit! Angga mohon. Jangan pergi lagi” angga memelukku
“Siapa sih yang mau pergi? Orang baru bangun.”
“Angga serius.”
“Serius udah bubar!”
“Lang… kita menikah yuk”
“What? Married? Are you kidding? Hahaha”
“I’m serious. Will you marry me? Angga berlutut dan
memberikanku cincin emas perak dengan satu permata yang indah berada diatasnya
“Gila kamu angga!”
“Nanti biar angga yang jelasin sama Tuhan kamu.”
“Dari awal, kita emang gak ditakdirkan ngga.” wajah ini
memang tak pernah lelah untuk menangis ternyata
“Lang, angga bener-bener gak bisa kehilangan kamu lagi.
Bahkan untuk sehari.”
“Angga stop! Look at me!! Cinta tidak harus memiliki bukan?”
“Pepatah yang mengerikan. Mana ada cinta yang tak harus
memiliki sih lang?”
“I’m happy if you’re happy.”
“You are my happy, sugar. Please, stay with me.. forever.”
“Hahaha forever? Mungkin maksudmu adalah ever?”
“Lang, nikah sama angga!”
“Aku gak bisa ngga! Keputusan bodoh!”
“Angga gak bisa gak ada kamu. Angga cinta sama kamu lang!”
“Aku juga” pagi ini kami menangis bersama dalam pelukan yang
sepertinya adalah perpisahan
“Kamu percaya jodoh?” aku memulai pembicaraan setelah kami
bisa sudah mulai tenang
“Ya, seperti pelangi dan hujan? Mereka jodoh bukan”
“Pelangi dan hujan itu bukan jodoh ngga. Mungkin mereka
memang terlihat serasi, tapi pada kenyataanya mereka tak pernah bisa bersama.
Pelangi hadir ketika hujan telah reda. Kapan mereka bisa bersama?”
Angga terdiam lemas “Seperti kita.”
“Angga, bahagialah dengan pilihan takdirmu dari Tuhan kamu.”
“Tapi aku akan mengiklarkan janji sehidup semati dengan
wanita yang bukan kamu nantinya.”
“If you love someone, you gotta let them go.” Suaraku memelas
“You said, you love me. But, cinta mana yang sedang kamu
bicarakan lang? kamu lupa bagaimana perjuangan kita bertahan dalam keadaan yang
menjepit dua agama hanya ingin menjadikan cinta kita tak dipandang sebelah
mata? Kenapa sekarang kamu rela aku menikah dengan wanita yang bukan kamu.”
“Aku tau kamu sayang aku ngga. Aku tau sayang kamu lebih dari
apapun untuk aku, maka dari itu aku bisa tahan dengan sakit yang harus
melepaskanmu.”
Angga terdiam. Wajah nya basah dengan air mata
Alasan ku bisa tegar dengan melepaskan angga adalah
pembicaraan itu. Malam itu, saat aku sedang menyalahkan takdir karena tak
menjodohkan aku dan angga, saat aku membenci wanita yang Tuhan jodohkan dengan
angga dan bukan aku. Tiba-tiba Tiar mengirimku pesan…
“Lang, aku berada didepan
rumah mu.”
Aku langsung membuka pintu, melihat kearah luar pagar. Ku
lihat Tiar yang sedang berdiri menunduk penuh derai air mata.
“Tiar, kamu kenapa? Bukankah aku menyuruh Angga untuk
mengantarmu pulang?”
“Enggak lang, angga meninggalkanku setelah kamu masuk ke dalam
rumah.”
“I’m so sorry Tiar. Maaf kalau aku jadi perusak hubungan
kalian.”
“Harusnya aku yang minta maaf. Tadi aku sudah sampai hotel,
bahkan aku sudah terbaring di atas kasur. Tapi setelah ku fikir-fikir aku tak
ingin menjahati cinta kalian, menjadi orang ketiga yang tak tau batasan untuk
merebut pria yang kau cintai.”
“Apa maksudmu?”
“Angga memang benar-benar mencintaimu.”
“Jika angga memang mencintaiku, dia tak mungkin akan menikahi
mu.”
“Lang, aku dan angga menikah karena perjodohan. Bukan karena
dijodohkan oleh semesta untuk dipertemukan tanpa perencanaan.”
“Perjodohan?” aku memelas tak percaya
“Aku bisa bertemu dengan angga pun semata-mata karena papa
kami punya bisnis yang sama. Papa angga tau umur manusia tak ada yang bisa
menduga-duga. Angga adalah anak satu-satunya, papa angga ingin angga cepat
menikah dan memiliki keluarga yang harmonis, keluarga yang utuh, dan keluarga
yang seiman. Maka papa angga menjodohkan aku dengan angga.”
“Ya, Om bayu selalu mengingkan wanita yang seiman untuk menjadi
pendamping angga”
“Saat pertama kali aku melihat angga, dia seperti pria yang
tak punya tujuan hidup. Sampai aku diberitahukan soal persoalan kalian oleh
papa nya angga. Aku mencoba mengerti dan mulai mendekati angga dengan
mengajaknya bicara soal kamu”
“Soal aku?”
“Ya. Angga selalu membicarakanmu. Aku sampai harus pura-pura
mengenal kamu dan memuji kamu dihadapanya. Ku katakan bahwa kamu pun
merindukanya, kamu mencintainya. Hatiku sakit karena saat itu aku sudah berada
dalam keadaan mencintainya. Angga adalah cinta pertama ku lang.”
“Tiar, aku tak bisa tanpanya. Sudah ku coba untuk
melupakanya. Alasan sebenarnya aku meninggalkanya adalah saat itu. Saat sore
sabtu aku disuruh angga untuk menemuinya di salah satu restoran ternama di Kota
ini. Awalnya aku sedikit tak percaya mengapa angga menyuruhku datang ke tempat
sebegitu megahnya. Dan kamu tau saat aku datang kesana dan menghampiri nomor
meja itu? Ternyata yang mengirimkan ku pesan atas nama angga adalah om bayu.
Dia menyuruhku untuk melepaskan angga. Om bayu tau tante asri sakit-sakitan dan
om bayu ingin angga cepat menikah, dan seperti yang tadi kamu katakan, om bayu
ingin wanita yang seiman denganya.” Aku menangis lagi
“Lang, aku tak tau kalau itu alasan kamu meninggalkan angga.
Itu adalah alasan yang bijak”
“Angga mengira aku sudah tak lagi mencintainya. Angga marah
dan meninggalkanku begitu saja. Mungkin itu adalah saat angga pergi ke bali
seperti yang kamu katakan. Ku fikir, angga sudah bisa bahagia.”
“Angga itu tak pernah berhenti memikirkanmu. Bahkan mungkin
ketika saat kami menikah nanti, cinta angga tetap untukmu.”
“Jika angga benar-benar mencintaiku, mengapa dia mau begitu
saja menikah denganmu?”
“Langit, asal kamu tau. Angga menyetujui rencana om bayu
untuk menjodohkan kami hanya agar dia bisa menghampirimu kesini. Fasilitas
angga benar-benar dibawah kuasa papa nya.”
“Jadi alasan angga kesini untuk mengucapkan selamat tinggal?”
“Angga kesini untuk mengajakmu pergi bersamanya kemana saja
dan meninggalkan semuanya. Itu tujuan angga datang ke Bandung. Aku sudah
memperingatkanya bahwa itu adalah pilihan yang bodoh tapi angga tak pernah
mendengarkanku, maka dari itu aku bicara padamu. Aku harap kamu membantuku
dengan melepaskanya.”
“Tolong bahagiakan angga, Tiar.”
Malam itu tiar hanya menatapku. Dia memelukku dengan haru,
ucapan terimakasih yang selalu dia katakan sedikit membuatku tenang. Mungkin
benar, Tiar adalah alasan Semesta membawanya ke hubungan aku dan angga. Aku
yakin cinta ku dan angga akan baik-baik saja nantinya. Aku percaya Tuhan tak
pernah salah mengambil keputusan
***
“Aku percaya Tiar adalah wanita yang baik yang sudah dipilih
Tuhanmu untukmu.”
“Kamu percaya takdir lang?”
“Seperti apa?”
“Seperti… Langit untuk angga”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar