Ini
adalah puluhan ribu hari aku masih mengurung diri. Semua orang tak ada yang
mengerti bagaimana kondisi ku kali ini. Dengan gampang nya mereka katakan
hal-hal yang membuatku semakin merasa
sendirian. Seperti kata Dinda “Sudahlah, lupakan saja!” atau perkataan Marina “Masih
banyak ko yang mau sama kamu” atau mungkin perkataan ibu sekalipun “Bukan
jodohmu. Tuhan sudah mempersiapkan segalanya untukmu.”
Segampang
itu yang mereka anggap adalah proses melupakan. Andai bisa hanya dengan cara
itu maka sudah ku lupakan sosok itu dari awal, mungkin sudah hilang cinta ku
yang besar.
Kenyataanya,
melupakan bukan bagaimana cara kita bisa menghilangkan semua tentangnya. Aku sama
sekali tak menyalahkan cinta soal hatiku yang mulai hilang rasa. Aku juga tak
menyalahkan Tuhan mengapa tak menyatukan aku dengan dia, tapi bagaimana dengan
sebuah pertemuan yang dipercaya adalah keputusan semesta yang sedang
mempersatukan dua hati menjadi satu ikatan cinta suci.
Rasanya
penyesalan kini mencambuk dari belakang. Bagaimana dulu ku sia-sia kan sebuah
pengorbanan. Harusnya saat itu juga ku katakan padanya bahwa aku bersedia
menjadi pendamping hidupnya.
Menyelami
sebuah masa silam bukanlah hal yang sulit untuk ku lakukan. Meninabobokan ingatanku
pada mimpi-mimpi kami dulu yang dibangun dengan pengharapan kebersamaan di masa
depan, mengajak semua pikiran hanya mengingat dia seorang. Ahh! aku rindu
tubuhnya yang seharusnya ku peluk saat ini juga.
“Lang, nikah sama angga!”
“Aku gak bisa ngga! Keputusan bodoh!”
“Angga gak bisa gak ada kamu. Angga cinta sama kamu lang!”
Pembicaraan
itu masih saja terngiang dikepalaku. Seperti suara tembakan dengan jarak yang
sangat dekat.
“Bukankah harusnya ku terima lamaran
angga saat itu juga. Seharusnya aku lebih bisa menghargai pengorbanan nya ingin
memperjuangkanku. Seharusnya tak ku pedulikan lagi soal perbedaan ini. Rasanya benar-benar
ingin mati suri”
Banyak
yang mengatakan seharusnya aku bisa melupakanya. Bodohnya mereka hanya bisa
bicara didepan ku saja. Mengapa tak mereka katakan itu sebelum angga
meninggalkanku untuk selamanya.
“Tuhan, bagaimana bisa aku membiarkan
semuanya terjadi begitu saja. Bagaimana dengan perjuanganku menahan pilu tau
aku harus melepaskan orang yang ku cintai sejak dulu? Ku biarkan dia bahagia
bersama orang yang semesta pilihkan untuknya. Aku sudah bisa menerima semuanya!
Semua detail yang ku pikirkan keluarga nya kelak akan menjadi keluarga yang
bahagia. Yang dengan beberapa orang anak, yang bisa mengajarinya bagaimana
agama nya begitu penting untuk kelanjutan hidupnya. Bagaimana bisa kamu lepas
perhatiaan itu padanya? Padahal didalam sujudku, dalam doa yang tak pernah
sekalipun absen dari nama itu. Ku minta agar engkau menjaganya? Memberikan kebahagiaan
yang tak terkira untuk hidupnya…”
kini
tangisku semakin tak bisa ku kendalikan. Entah apa yang terjadi pada hidupku
ini. Rasanya benar-benar mengerikan, bahkan untuk dibayangkan saja aku tak
menginginkanya. Kali ini ku tanya pada kalian “Apa segampang itu yang kalian katakan
untuk melupakan?”
Tiar,
wanita yang akan menjadi satu-satu nya di hidup angga menghubungiku malam itu. Bicara
tak lepas dari kata bahagia karna esok hari nya akan melaksanakan pernikahan
mereka. Padahal sudah ku katakan berkali-kali padanya apa tak terlalu muda baginya
untuk membina sebuah keluarga. Tiar hanya tertawa, bisa ku rasakan bagaimana
wanita ini benar-benar mencintai pria yang ku cintai.
Aku
sudah tak lagi mendengar kabar Angga setelah malam itu ku putuskan untuk
menolak lamaran nya. mustahil bagiku untuk meninggalkan keluarga ku hanya untuk
pria yang tak seiman denganku. Apa yang akan di pikirkan Ayah ibu ku tentang
cinta ku ini, mungkin tak ada bedanya dengan pandangan semua orang terhadap
kami berdua; cinta kami dianggap salah.
Dalam
butiran sendu air mata ku doakan pasangan itu bahagia. Menjadi keluarga yang
diridhoi oleh semesta dan agama mereka. Aku percaya bahwa Tuhan adalah maha
segalanya. Sampai malam itu tiba…
Ponsel
ku berdering tepat jam satu lewat lima belas menit dini hari. Satu panggilan
tanpa nama yang membangunkanku dari mimpi penuh ketenangan.
“Hallo?”
“Langit!!”
“Siapa
i.. Angga?” nama itu terucap begitu saja
“Lang!
angga sama sekali gak mau menikah dengan wanita yang bahkan gak angga cintai
sama sekali. angga mohon cegah angga lang, cuman alasan itu yang mampu bikin
angga ninggalin masalah ini.”
Ingin
sekali ku katakana semuanya pada angga “Angga,
jangan menikah dengan Tiar. aku mencintai kamu dari saat pertama kali kita
bertemu, dan aku mulai menyukaimu bahkan ketika aku belum mengenalmu. Aku tak
bisa membiarkanmu menikah dengan wanita lain yang bukan aku.” Tapi entah
mengapa bibir ku mengucapkan kalimat yang berbeda “Gak angga. Aku gak bisa.”
“Langit,
angga bener-bener gak tau harus gimana.”
“Pergi
ke gereja. Tundukan kepala dan menggenggam salib mu dengan erat. Cobalah berdoa
pada Tuhanmu untuk meminta pertolongan.”
“Saat
ini angga jauh dari keramaian”
“Jaga
diri ngga.” Tak ku tanyakan keberadaanya, dengan mendengarnya saja ku tau bahwa
angga sedang diam di pinggir pantai. Ombak nya yang besar sampai terdengar di
telinga.
Beberapa
saat kami terdiam bersama
“Lang…”
“Ya
ngga?”
“Kamu
percaya takdir?”
“Ya.
Langit untuk angga bukan?”
“It’s
true, sugar”
Suara
gemuruh angin yang besar dan ombak itu seakan sedang berpesta, sampai-sampai
suara angga tak terdengar. Telepon terputus begitu saja.
Lima
hari setelah itu Tiar menghubungiku. Ku abaikan, sama sekali tak ingin ku
dengar kabar yang mungkin menurutnya adalah kabar bahagia. Mungkin mereka
sedang berada dalam acara bulan madu atau masa dimana satu pasangan pengantin
baru sedang membuat daftar kehidupan baru dengan penuh canda gurau dan tawa
yang akan membuahkan seorang anak nantinya. Aku belum siap mendengar semuanya…
Ku
baringkan tubuhku dengan isi perasaan yang seperti sedang menunggu seseorang
datang, yahh.. ku harap sebentar lagi angga mengetuk pintu rumah ku dan
melamarku satu kali lagi, mungkin aku akan menerimanya kali ini.
Satu
email masuk ke ponsel ku. Dan pengharpanku berbuah kenyataan, email itu dari
angga. Angga mengirimkan ku satu buah gambar, tanpa melihatnya aku sudah tau
bahwa itu bukan gambar yang bagus. Dengan perlahan ku baca kata demi kata
kalimat yang mengantarkan gambar itu padaku, rasanya seperti dijambak oleh
takdir. Tawa kecil membuat suasana kamar lebih menyeramkan selepas ditinggal
angga ke pernikahan dengan tiar.
Kepada sahabatku, Langit.
Maafkan aku karena belum bisa menjaga
cintamu yang begitu besar.
Pengorbanan yang kau berikan sama
sekali tak membuahkan kebahagiaan.
Tolong jangan biarkan aku menanggung
ini sendirian.
Aku tak sekuat engkau. Aku butuh
pelukan orang yang bisa mengerti bagaimana rasanya kehilangan orang yang begitu
amat dicintai.
salam cinta dan kasih dariku, Tiar.
“Hallo
tiar!!!”
“Langit…”
suara nya merintih
“Apa
yang kau lakukan dengan email angga?”
“Email
nya selalu terbuka di laptopnya, selalu menunggu email baru masuk darimu.”
“Apa
maksudmu dengan isi email itu?” aku berteriak
“Buka
gambar itu langit!”
Mata
ku berhenti berkedip saat itu, jari jemariku lumpuh seketika dan suara ku
menghilang. Ada jeritan yang sedang ku tahan. Perasaanku sedang dicambuk oleh
penyesalan. Apa aku harus bahagia karna ternyata angga benar-benar tak menikahi
tiar.
“Aku tak tahan lang!” suara nya merintih
seperti orang kesakitan
Ku
lihat gambar itu dengan seksama, meyakinkan diriku bahwa itu bukan angga, mana
mungkin bisa seperti ini akhirnya. Bukankah akhir adalah bahagia, maka jika
semua belum merasa bahagia itu bukanlah akhir bukan.
Rasanya
ingin ku peluk gambar itu dengan dekapan mesra sebagaimana mana mestinya. Menyedihkan
karna aku hanya bisa mendekap ponsel ku dengan erat, berharap gambar itu bukan
soal angga.
“Apa
maksudmu dengan mengirimku sebuah gambar kuburan?” suaraku lemah
“Pagi
itu saat aku sedang merias wajahku, melihat gaun pengantinku. Ada wanita masuk
dengan wajah sembab seperti sedang diancam untuk membuatku tetap sabar. Suara lonceng
gereja tempat aku seharusnya bahagia berubah menjadi kabar kematian dari pria
yang seharusnya menjadi pendampingku di pernikahaan hari itu. Angga menghilang,
dia tenggelam di pantai. Awalnya aku percaya itu adalah akal-akalan angga agar
tak menikahi ku. Selalu ku tunggu kabar darinya meskipun semua wajah sedang
menangisi keberadaanya. Ku tunggu tanpa mengenal waktu hingga lupa dari hari
apa ku tunggu dan pagi mana yang sedang ku nikmati. Sampai pagi tadi, ku lihat
angga pulang dengan tubuh yang kembung ombak pantai dan wajah yang sedang
menahan dinginya takdir.”
Tanpa
kata-kata ku lempar ponsel itu ke sudut kamar, terbentur pada dinding hingga
ponsel ku sudah tak berbentuk lagi, semuanya terbelah-belah dan terurai entah ke
arah mana saja. Tak ku pedulikan
Entah
apa yang terjadi pada diriku, karena dari saat itu aku tak pernah percaya bahwa
isi peti didalam tanah itu bukanlah tubuh angga. Aku yakin tiar hanya
mengarangnya agar aku bisa membiarkan dia bahagia dengan angga.
Aku
selalu menunggunya, menunggu angga datang dan mengetuk pintu rumah ku untuk
melamarku lagi. Selalu ku tunggu sampai hari ini
“Angga, biarkan takdir itu berjalan
lagi. Langit untuk angga tak akan terpisahkan meskipun kabar kematian telah
menyimpan banyak kesakitan. Kau harus percaya bahwa kenangan manis tenang kita
tak pernah ku lupa.”
buat aku lupa bagaimana merasakan rasanya kebahagiaan
tak apa jika aku tersesat didalam kelam
asal bisa bersama pria yang ku cinta
Langit Untuk Angga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar