“Lo
lagi lo lagi. Bosen gue liatnya!”
“lo
yang kenapa? Kenapa cuman sama gue cara bicara lo kaya gitu?”
“maksudnya?”
“yaaa
gue heran aja, kenapa cuman sama gue lo panggil dengan sebutan gue-elo, tapi
sama anak-anak yang lain aku-kamu?”
“loh
bukanya gaya bicara asal kota lo kaya gitu kan?”
“tapi
kan gue juga membaur kali sama yang lain disini”
“yaa
terus?”
“panggil
gue dengan sebutan kamu. Gue pengen denger.”
“gak
mau, Rangga Prasetya”
“sekarang,
Langit Dwisatya”
“maksa
banget sih lo ah”
“punya
masalah apasih lo sama gue lang? lo kenapa tiba-tiba jadi gini”
“jauhin
gue gak lo?”
“iya
oke stop teriakin gue kaya gini lang!”
Wajah
yang seperti biasanya ku lihat, tertunduk lesu seakan tak pernah henti untuk
menyerah namun semua perasaan telah lelah.
Biar
ku perjelas disini, dia adalah pria yang 3bulan terakhir ini menguntitku tanpa
henti, setiap hari selalu muncul dihadapanku. Pertama bertemu saat aku untuk
pertama kalinya masuk ke gedung sastra, tugas pengantar bisnis ku harus
dikumpulkan pada dosen wali yang sedang berada di gedung sastra. Aku adalah
mahasiswi di universitas ternama di kota Bandung, siang itu aku bergegas mencari ruang F.12 tempat dimana dosen wali
ku sedang rapat untuk membicarakan acara tahunan universitas kami “ulang tahun
kampus”.
Langkahku
mempercepat saat ku lihat banyak orang yang sedang duduk beramai-ramai
dipinggir-pinggir kelas mereka. Ahh, aku tak suka keramaian, membuatku tak
nyaman karna bising nya. beberapa detik saat aku kembali memperhatikan jalan
didepanku, pintu seketika terbuka dan menghantam habis wajahku, barulah untuk
pertama kalinya ku lihat wajah Rangga dengan polosnya tertawa tanpa permintaan
maaf. Emosi ku tak tertahan, lalu ku hempaskan buku-buku dan kertas-kertas yang
berada di genggamanya, semua berjatuhan dan berserakan dilantai, wajah nya
berubah menjadi sesuatu yang membuatku ingin tertawa, ku lihat tatapan nya
dengan suara tawa yang kencang, dan tak sengaja ku lihat print-an kertas-kertas
yang ku kenal, terasa tak asing bagiku.
Ku
ikuti kemana dia pergi tanpa sepengetahuanya. Ku lihat dia sedang mempersiapkan
presentasi nya didepan 4orang dosen yang semuanya berkaca mata. Ku lihat dia
yang dengan gagah nya bicara lantang seperti penyair terkenal, aku yang sedang
berdiri didekat pintu sampai terhanyut dan terbawa suasana, sampai pada
bait-bait terakhir
Pergilah kasih
Aku ingin menghabiskan waktu bersama
kenangan yang kau tinggalkan
Pergilah kasih
Aku masih adalah aku yang mencintai
kamu
Pergilah kasih
Aku akan selalu merindukan sosok mu
yang sudah terhempas angin lalu
Tak
lama kemudian dia keluar dengan wajah yang terlihat puas, aku menanmpar
wajahnya seketika dia melihatku. Rasanya benar-benar merasa dilecehkan
“Apa
sih? Kenapa lo nabok gue? Salah gue apa?”
“lo
baca puisi siapa barusan?”
“hah?
Puisi gue lah. Lo ga liat apa gue habis apa? Mana ada presentasi sastra dengan
karya orang lain? Bego banget lo”
“lo
yang bego! Haha you’re stupid man!! Pecundang”
Saat
aku akan beranjak pergi meninggalkanya, dia menghentikan langkahku dan
berteriak didepan wajahku.
“heh
cewek aneh! Maksud lo apa dateng-dateng sewot sama gue? Emang kita kenal?”
“kita
gak kenal dan gak akan pernah kenal”
“dih
dasar cewek aneh”
Tugas
tak sempat aku kumpulkan, rasanya benar-benar cepat ingin pulang.
***
Beberapa
hari setelah hari itu, setelah mata kuliah keuangan
Negara aku dikagetkan dengan sosok pria yang membuatku naik pitam.
“ngapain
lo disini?”
“nama
gue Rangga Prasetya. Lo bisa panggil gue Rangga.”
“gue
gak peduli.”
“gue
mau ngopi, lo mau ikut?”
“no,
thanks”
“please,
ada sesuatu yang mau gue bilang.”
“what?
You say sorry? Yes! It’s ok, no problem, rangga.”
“tapi…”
“nama
gue langit. Bye!”
Entah
mengapa tiba-tiba aku mengatakan nama ku begitu saja. Wajahnya seakan terlihat
berbeda dari saat pertama aku melihatnya. Dia terlihat lebih tampan dan lebih
tenang, entahlah.
***
Hari
berikutnya ku lihat lagi tubuh tinggi nya sedang menghadap kearahku, kali ini
bertambah dengan senyum yang terlihat manis seakan itu hanya untuk ku.
“langit!”
“apaan
lagi?”
Pagi ini embun menghadang mataku
Menjanjikan bahagia satu persatu
Dari arah berlawanan
Tak ku lihat apapun kecuali ketenangan
Rumput bergoyang
Memberi tanda bahwa bahagia akan
datang
Ada wajah yang samar
Bercahaya dan menghangatkan
Itukah cinta yang terpendam
Aku
terkejut, terlebih saat orang-orang melihat kearah kami berdua. Rangga
membacakan nya begitu saja didepan ku dan ditengah keramaian ini, berakhir
dengan “I’m so sorry.” Dan satu tangkai bunga mawar merah yang rangga berikan
padaku.
“apaan
sih lo mau malu-malu in gue apa ya?” wajahku benar-benar tersipu malu
Rangga
menggandeng tanganku “lo tau tadi gue baca puisi siapa? Itu puisi lo kan lang?
dan itu puisi pertama yang bikin gue jatuh cinta, gue nemu blog elo ketika gue
search buat bahan tugas kuliah, gue buka dan gue baca, terus gue suka dan geu
jadiin isi blog elo bahan tugas gue, oke gue ngaku juga mungkin emang karna gue
gak tau harus isi dengan apa tugas gue itu. Tapi sumpah lang, gue jatuh cinta
sama blog elo.”
“ya
terus?”
“gue
minta maaf karna ga minta ijin penulisnya terlebih dulu.”
“untung
gue baik, kalau enggak udah gue laporin polisi dengan tuduhan penjiplakan.”
“huffff,
dan untungnya lo baik kan lang.”
“hmm”
“just
hmmm?”
“so?”
“setelah
gue bacain lo puisi didepan banyak orang lo jawab just hmmm?”
“lebay
banget sih lo. Lagian disini kan ga ada yang kenal sama elo, ini gedung
ekonomi, dan tempat lo itu di gedung sastra. Gedung jurusan kita jauh.”
“tetep
aja ketampanan gue ternodai”
“hahaha
sarap”
“hahaha”
untuk pertama kalinya aku tertawa setelah kehilangan angga
“lang,
besok satnight jalan sama gue ya”
“eitss,
jangan kira gue baik sama lo, lo ngira gue mau jadi temen lo.”
“but,
lo ngambil bunganya juga kan. Hahaha”
“so?
What’s wrong?”
“Saturday
night, elo sama gue mesti dinner!”
Rangga
pergi begitu saja dengan senyum nya yang manis itu ternyata bisa membuatku
tertawa setelah aku kehilangan pria yang sangat ku cinta; Angga.
Aku
terkejut melihat Rangga yang berada didepan pintu rumah, kemeja biru tua dengan
jeans hitam seperti yang akan menghadiri sebuah pertemuan.
“loh
ngapain lo jam 7 malem nongkrong depan rumah gue?”
“mau
jemput lo. Kita kan ada jadwal dinner, tuan putri.”
“emang
gue bilang mau apa ya?”
“lo
masa tega sih lang liat nih gue udah siap. Ganti baju sana! Kalau tetep gamau
biar gue yang minta ijin sama nyokap bokap lo ya. Om.. tante… assalamualaikum.”
“ah
berisik lo ah! Ya tunggu bentar, gue ganti baju dulu”
Hanya
dengan penampilan yang seperti biasanya aku pamit dari rumah dan terpaksa harus
pergi. Sepanjang perjalanan rangga menyanyi, suara nya memang merdu dan bagus
tapi aku tak akan pernah luluh, aku akan selalu ingat kalau dia sudah mencuri
hasil karyaku dan memakainya tanpa seijinku.
Rangga
memilih restoran dengan suasana yang berkelas menurutku, mungkin ayah nya
seorang penguasaha kaya, aku belum mengenal rangga dengan dekat. Aku pun
terkejut tau rangga sudah memesan meja untuk kami berdua, dan tak kalah
terkejut saat aku mendekati meja itu, ada satu ikat bunga mawar merah yang
sangat berkilau dan cantik, “itu buat lo” rangga hanya tersenyum kearahku. Ada
penyesalan dalam hatiku mengapa aku tak berdandan dan meng- make up wajahku
terlebih dulu jika tau suasana nya akan sebegini mewahnya.
Malam
itu aku dan rangga penuh cerita, rangga tak berhenti bicara soal dirinya seakan
dia sedang memperkenalkan dunianya padaku. Rangga adalah lulusan SMA terbaik di
kota nya, dia lahir setahun lebih dulu dariku. Rangga lahir di bali, dan
sekarang keluarga nya tinggal di Jakarta. Anehnya, rangga tak menjawab saat ku
tanya dia asli orang mana, dan akupun tak terlalu memaksanya untuk menjawab.
Rangga adalah pecinta musik, berkali-kali dia jatuh cinta oleh nada dan irama,
katanya musik membuatnya lebih tau arti hidup yang sebenarnya.
“terus
kenapa lo masuk jurusan sastra?”
“karna
gue butuh pengetahuan untuk lirik-lirik lagu gue ntar”
“gue
gak ngerti.”
“pokoknya
gue masuk sastra karna gue pengen nyoba hal baru aja.”
“pengen
nyoba kata lo? Apa sebegitu banyak nya ya uang bokap lo sampai kuliah aja lo
coba-coba?”
“hahaha
enggak lah lang”
Rangga
hanya tertawa. Dan aku tak lagi bicara
***
3bulan
terakhir berakhir dengan ketidakpastian akan hubungan kami, kami dekat tanpa
hubungan yang jelas, rangga sering menyalahkan aku karna seperti yang sedang
memeprmainkanya, dan aku akui itu, aku masih berduka soal kematian angga. Aku
tak benar-benar yakin sudah melupakannya.
Aku
tak membantah soal rasa, selama ini kami berdua dekat. Mungkin jika rangga tak
mendekatiku terus menerus aku tak akan pernah memperdulikan nya, tapi kali ini
sudah terlanjur jauh, hampir setiap hari aku dan rangga bersama, makan siang,
tertawa, dan rangga tak pernah menyerah. Dia selalu sabar menghadapiku yang
tidak kadang tak sopan padanya. Aku bisa saja seketika menamparnya, memukulnya,
dan meninggalknya begitu saja ketika dia sedang bicara. Tapi dengan semua itu
juga ternyata aku bisa lupa soal sakit hatiku kehilangan angga ketika sedang
bersamanya.
Ketika
dekat denganya, aku merasa tak lagi sendiri dan kesepian, aku merasa lebih
dipedulikan. Tadinya ku fikir aku tak bisa lagi merasakan cinta dan bahagia,
tapi ternyata aku salah, rangga adalah bukti bahwa aku masih bisa tersenyum
dipagi hari meskipun saat malam wajahku pucat karna keseringan menangisi hal
yang sudah pergi.
“lang,
apa lo ga peduli sama gue lang?”
“apasih
lo”
“lang,
apa lo sayang sama gue?”
Aku
terdiam, bertanya pada hatiku harus seperti apa aku menangapi rasa ini. Aku
merasa masih tak bisa untuk memulai lagi persoalan cinta, tapi soal rangga aku
merasa sudah jatuh cinta padanya. Setiap kali dia memperhatikanku dengan cara
yang berlebihan rasanya aku ingin membalasnya, tapi mengingat soal angga dan
rasa kehilangan yang begitu besar, aku masih saja terdiam seakan aku tak
memperdulikan rangga; orang yang begitu kerasnya memberikanku kebahagiaan.
Disaat
aku sedang tersiksa soal dua rasa yang berbeda dan aku sudah memutuskan akan
mencoba untuk menjalaninya dengan rangga, aku melihat rangga berpeluk mesra
dengan wanita yang ku lihat dikantin kampus dekat gedung sastra. Aku berniat
ingin mengajaknya makan siang sambil mengatakan padanya bahwa aku mulai
mencintainya, tapi tak sengaja aku melihat semuanya. Begitu menyakitkan dan
mematahkan segala pengharapan kecilku pada rangga. Aku memutuskan untuk kembali
ke kelas karna selang satu jam aku ada jadwal kuliah. selama didalam aku tak
bisa memperhatikan, semuanya masih terbayang soal pelukan mesra dan tawa canda
yang hangat diantara rangga dan wanita nya, mereka terlihat seperti sudah kenal
lama dan mungkin pasangan cinta.
Saat
kelas telah selesai dan aku keluar, rangga mengejarku dari belakang,
memanggil-manggil namaku dan menyuruhku berhenti berjalan untuk menunggunya.
Wajahnya terlihat biasa dan terlihat sama seperti sebelum-sebelumnya rangga
menghampiriku. Dan kali ini aku tak bisa menunggu, rasanya benar-benar
menyakitkan. Aku memutuskan untuk pergi meninggalknya.
***
Siang
itu, satu minggu lebih lima hari, tepat sebelum libur akhir pekan. di taman
kampus dan dibawah pohon beringin besar yang menampung panas diatas kepalaku,
kami berdua bertengkar dan saling berteriak
“punya
masalah apasih lo sama gue lang? lo kenapa tiba-tiba jadi gini”
“jauhin
gue gak lo?”
“iya
oke stop teriakin gue kaya gini lang!”
Kami
berdua saling diam, rasanya ingin ku tampar wajah polosnya yang seakan tak
terjadi apa-apa. Tak habis fikir apa maksud dari semua rasa perhatianya padaku
selama ini jika ternyata dia sudah memiliki kekasih.
“lang,
kenapa lo jauhin gue?”
“wanita
itu… dikantin dekat gedung sastra.” suaraku melemah
“wanita?
Wanita apa sih lang?”
“lupakan!”
“tapi
lang…”
“cukup
rangga! Aku tak ingin melihatmu lagi” ku pukul dada nya dengan buku-buku yang
sedang ku pegang
“kamu
tak pernah tau lang”
“ya!
Aku memang tak pernah tau apapun!”
Aku
berteriak dan meninggalkan rangga yang pipi nya telah basah entah oleh apa.