Mungkin
bagi sebagian orang, musik hanyalah sebuah pengantar malam agar cepat terlelap,
atau teman untuk tak merasa sedang sendirian. Tapi bagi ku, musik adalah sebuah
perantara yang paling mengerti bagaimana menanggapi semua bentuk rasa. Dari
mulai marah, bahagia, sampai perasaan kecewa.
Saat
ku dengar musik-musik klasik yang keluar masuk melalui kepala ini, aku sudah
mulai merasakan ada hal lain. Hati ku ikut merasakan apa yang sedang dirasakan
oleh semua musisi pada semua penikmati karya nya. Itulah salah satu hal yang
membuat aku sangat mengagumi musik, karena tanpa menjelaskan bagaimana semua
perincian isi perasaan, musik mampu menggambarkan semua yang sedang kita
rasakan. Hebat bukan.
Beruntung
nya, dari kecil aku sudah dibebaskan memilih apa yang ingin ku jalankan. Hobby
ku menyanyi dan menikmati musik klasik, meskipun hanya mampu menjadi penyanyi
kamar mandi tapi aku sudah memiliki dua orang penggemar setia; Mama dan Bapak.
“Hallo,
Assalamualaikum.”
“Waalaikum
salam. Sayang, apa kabar?” ku dengar suara nya yang jauh dari ujung telepon
sana
“Alhamdulilah
baik ko, ma. Mama dan Bapak apa kabar?”
“Syukurlah,
Mama alhamdulilah baik-baik saja. Cuma bapak kayak nya lagi nggak enak badan.
Jantung nya sakit lagi. mungkin gara-gara kecapean. Kamu nggak usah khawatir
ya”
“Loh
ma? Dari kapan? Ko dinda nggak tau Bapak sakit?”
“Sudah
dari beberapa hari yang lalu. Bapak nggak mau kamu tau.”
“Loh
ko Bapak gitu sih?”
“Bapak
tau kamu sedang sibuk-sibuk nya latihan untuk penampilan pertama mu nanti
malam. Bapak hanya nggak mau kamu khawatir.”
“Tapi
ma, dinda juga kan pengen tau kabar Bapak.” Nada ku sedikit bertambah tinggi
“Hallo,
Assalamualaikum.” Ku dengar suara yang membuat hati ku tenang dan rindu yang
semakin terasa menjengkelkan.
“Waalaikumsalam,
Bapak…” suara ku kembali seperti biasa
“Bagaimana
kabar mu, nak? Kamu yang rajin ya latihan nya. Bapak tau kamu akan tampil
sangat cantik. Bapak tau, anak bapak yang satu ini akan terlihat paling menawan
dan megah dengan cello nya.”
“Tapi
pak…”
“Kamu
nggak perlu khawatir sama bapak. Bapak cuma kecapean. Kamu jangan pulang.
Ingat! Bapak tidak mengkuliah kan mu sampai jauh-jauh di luar kota sana hanya
untuk menjadi wanita yang cengeng dan gampang menyerah. Bapak tau, uang yang
selama ini bapak pakai untuk membiayai kuliah mu tak akan pernah terbuang
sia-sia. Bapak tau kamu sangat mencintai musik. Maka dari itu, buat lah
penampilan yang akan membuat bapak percaya akan cinta mu itu. Ya nak?”
“Bapak…
dinda pasti bakal bikin Mama dan Bapak bangga!!” suara ku mulai melemah, ku
tahan air mata yang mulai berjatuhan
“Mama
dan Bapak sudah bangga pada mu. Tau kamu diterima di salah satu universitas
terbaik dengan memilih jurusan musik, melihat wajah bahagia mu, tanpa kamu tau,
Mama dan Bapak sangat bangga pada mu. Ditambah usaha mu untuk membeli cello
sampai menyisihkan uang jajan mu, menggendong cello dari kost mu sampai tempat
latihan, sampai kamu sangat merasa kelelahan, Mama dan Bapak percaya kamu bisa
membuktikan pada kami bahwa kamu serius dengan apa yang kamu yakinkan sejak
dulu.”
Tangis
ku meledak dan sendu-sendu yang tak bisa ku tahan itu mulai tak lagi bisa ku
bendung. Suara bapak yang ku rindukan dimanjakan oleh suara adzan subuh yang
mulai berkumandang. Ini lah instrumen yang paling aku dan Bapak sukai. Adzan
membuat aku dan Bapak selalu mendekap doa yang sama; kebahagiaan didalam
keluarga.
“Nak,
sudah sana ambil air wudhu lalu sholat. Berdoa semoga penampilan mu nanti malam
berjalan dengan lancar.”
“Iya
pak. Amin. dinda shalat dulu. Sama buat Mama. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
*
Aku
berdiri paling depan, disorot lampu panggung yang menyilaukan. Kaki ku
bergemetar, mungkin karena ini adalah pertama kalinya aku tampil dengan
ditonton puluhan orang. Aku mengambil posisi duduk yang paling nyaman dan mulai
menggenggam cello untuk ku mainkan.
Perlahan
waktu berjalan, pikiran ku terbuyar oleh keadaan Bapak yang sangat ku
khawatirkan, ditambah ku lihat dua kursi yang kosong didepan. Tadinya, itu
adalah kursi yang dipersiapkan oleh panitia acara untuk anggota keluarga.
Sesekali aku memejamkan mata, mengingat semua perkataan Bapak untuk ku, soal
bangga nya bapak pada ku.
Tiba-tiba
ku lihat wajah pria yang damai, dengan kerutan yang mulai terlihat di
sudut-sudut wajahnya, dia memandang kearah ku dengan mata yang berkaca-kaca.
Senyum nya yang menghancurkan segala bentuk rindu. Pria itu tersenyum kearahku,
menikmati permainan cello ku. Dengan sekejap, aku semakin bersemangat sampai ku
dengar tepuk tangan yang meramaikan semua isi dalam kepala.
“Adinda.”
dengan cepat aku mencari sumber suara yang kudengar
“Bapak.”
Ku peluk pria itu dengan erat
“Bapak
bangga sekali padamu.” Bapak membalas pelukan ku dengan sesekali mengusap
punggung ku
Malam
itu sendu-sendu tangis yang sudah tak bisa lagi ku hitung menjadi instrument
musik klasik yang akan selamanya mengingatkan ku bahwa pria yang sedang ku
peluk ini adalah pria hebat yang bisa menahan sakit dari perjalanan antar kota
yang mil-mil jauhnya hanya demi untuk melihat penampilan pertama ku.
Jika
menurut Bapak musik adalah segalanya buat ku, maka musik ku adalah Bapak.