Kami
hanya bisa sama-sama terdiam, membisu membiarkan suara angin yang merajai sore
ini. Langit jingga yang sudah mulai terlihat mempesona dimata ku, membuat ku
lupa bahwa dari dua jam yang lalu aku tak saja memulai percakapan diantara
kita.
Sebenarnya
aku hanya ingin mengujunginya, tak lebih. Tak ada niat sedikitpun untuk
mengukit semua masa kelam yang terjadi diantara kita berdua. Aku cukup sadar
diri bahwa itu akan menyakiti hati. Tapi lagi-lagi, perasaan rindu dari 5 tahun
lalu masih saja mengendap di segala penjuru hati, memori antara kita berdua
selalu terputar berulang-ulang didalam kepala.
Maaf
jika kunjungan ku kali ini hanya bisa mendebatkan masalah itu lagi.
“Harusnya
kita bisa bahagia.”
Ya,
aku tau pasti akan selalu kalimat itu yang kau katakan terus-menerus tanpa jeda
waktu, bahkan aku tak habis pikir bagaimana kau mengatur nafas ketika
mendebatkan persoalan yang memilukan. Bagimana kabar perasaan yang akan
kehilangan jika terus menerus membahas hal yang tak akan pernah selesai.
Sudah
hampir dua jam setengah disini, aku baru berani memberikan mu bunga kamboja.
Rasanya benar-benar tak adil jika selalu aku yang memberimu bunga. Kupikir, apa
tak pernah sekali saja kamu mau memberikan ku bunga? Tak apa jika hanya satu
tangkai saja. Ahh, sudahlah! Aku tak ingin memaksa.
Aku
akan memulai percakapan kunjungan sebentar. Yang pertama, bagaimana kabar mu
sekarang? Bertahun-tahun tak bertemu denganmu sungguh membuatku tak tahan membayangkan
seperti apa kamu sekarang. Kau tau? Harusnya sekali waktu kamu datang ke mimpi
ku, meneruskan pembicaraan kita yang terhalang hujan tempo lalu. Kau ingat?
Dan
lagi-lagi kau hanya diam.
Dulu,
kau selalu menganggap bahwa kita adalah sepasang yang saling melengkapi dan mengimbangi
diantara dua sisi berbeda yang ada pada diri kita berdua. Karena soal
perjuangan, aku tak pernah faham. Mungkin karena aku belum pernah merasakan
bagaimana rasanya diperjuangkan oleh seseorang, atau mungkin bahkan sampai
harus sebegitunya dipentingkan.
Perihal
hati, sepertinya kamu memang paling ahli. Tapi soal rindu, aku yang paling
mengerti. Apa seperti itu yang saling melengkapi?
“Kita
tak pernah seimbang.” Kata ku.
Dan
lagi-lagi kau hanya diam.
“Harusnya
kita bisa bahagia.” kata mu selalu begitu
“Kau tau kan Negara kita sudah merdeka? Sudah memiliki
pancasila yang mengatasnamakan semua umat manusia, dari berbagai suku dan
agama?” katamu
Aku
selalu menahan tawa jika kamu mulai mengeluarkan kalimat andalanmu itu, bahkan
jika harus ku hitung, entah berapa ribu ratus kali kamu mengatakan itu di
sela-sela pembicaraan kita. Bahkan hanya 2 kalimat itu yang bisa ku ingat. Tapi tetap, itu tak ada bedanya dengan keadaan. Maaf.
Bahkan
sampai detik dimana aku sedang duduk disampingmu kali ini, nyatanya jilbab ku
tak pernah selaras dengan salib yang berada di antara nama mu di batu nisan. Kau
tak percaya? Lihat! Orang yang berlalu-lalang tak hentinya melihatku dengan
tatapan yang menganehkan.
Biar
ku percepat…
Aku
akan meneruskan percakapan kunjungan sebentar. Yang kedua, aku sudah
mengikhlaskan. Kali ini, aku tak akan lagi mempermasalahkan perbedaan, aku tak
akan lagi mengingat kematian yang menyebabkan perasaan kehilangan itu semakin
menyedihkan. Aku percaya kita akan bertemu lagi meskipun entah harus
bereinkarnasi berapa puluh kali, dan setelahnya kita bisa meneruskan
pembicaraan yang terhalang kematian.
Angga,
makam mu terlihat berantakan. Tapi sepertinya kunjungan sebentar ku telah
selesai. Sudah hampir malam, bahkan senja sudah tak lagi ada, perlahan
menghilang. Begitu pula kisah kita.
Aku
pamit pulang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar