aku mendengar suara lagi. Berbisik namun
pasti akan aku ketahui apa maksud dari semua ini. Aku mendengar nya semakin
jelas, hantu yang tak menjelma, suara yang bergema menjadi saksi bisu akan
perasaan ku yang selalu memperhatikanmu dari jauh, selama ini sudah ku jaga
dengan hati-hati agar suara bisikan ini tak terdengar oleh mu.
“Aku
sayang kamu, tapi kamu gak perlu tau. Aku mohon”
aku tersenyum setiap kali melihatmu,
kamu bukan kapten basket, juga bukan
termasuk anak populer di sekolah, kamu tidak tampan, tidak juga mempunyai badan
atletik, kamu juga tidak tinggi, dan kamu benar-benar payah jika harus bicara
dengan seorang wanita. Tapi ketika kita bicara, setiap kali kamu bicara dengan
memandang wajahku, aku merasa bahwa kamu pintar dalam hal menggombal. Kamu berbeda.
“Kita
bertemu pertama kali di Lapangan parkir sekolah. Satu tahun yang lalu, waktu
itu aku masih memakai seragam putih abu-abu.”
Ingatanku menyentuh lagi peristiwa yang
tak pernah ku lupakan, ketika aku melihat kamu sedang sibuk mencari disebelah
mana motormu kamu parkir kan. Perhatianku tertuju pada kamu yang sibuk mengkerutkan
wajahmu dengan waktu yang sangat lama. Dan ketika motor mu telah kamu temukan,
wajahmu berubah menjadi putih kemerahan, dengan bibir yang menyerupai bulan
sabit. Wajah mu memerah karena panas hari itu sangat terik, yang mungkin saja
bisa membakar wajahku karena sudah lama berdiri memperhatikanmu dari kejauhan, tepat
di depan laboratorium computer.
“Apa
aku mengenalmu? Apa sebelumnya kita pernah bertemu? Dari mana asalmu? Mengapa
laki-laki biasa sepertimu mampu membuat matahari terik menjadi langit senja
yang indah untukku”
Aku menghela nafas perlahan, terus
kulakukan sehingga membuatku terlihat seperti ibu-ibu hamil yang akan segera melahirkan
seorang bayi mungil. Aku melihatmu lagi, membuntuti setiap langkahmu tanpa
melihat jalan dihadapanku. Aku berhenti sejenak dan melihat kamu yang seakan
tak pernah melihat keberadaanku. Aku tersenyum, namun yang kau lihat hanya
wanita bodoh yang belum bisa mengajakmu untuk berkenalan.
“Haruskah
aku yang mulai terlebih dulu untuk mengajakmu berkenalan?”
Bahkan untuk berkata “hay” padamu saja
sudah membuatku mati ditempat. Aku terlalu bodoh untuk mengajakmu bicara,
apalagi untuk berkenalan, rasanya memang harus ku lupakan. Aku yang tak
terlihat akhirnya harus memutuskan untuk pulang, kembali ke langit-langit kamar
yang hanya bercahaya ketika aku ingin melihatnya, berbeda dengan kamu yang
tetap bercahaya meski bukan aku yang melihatnya. Kamu bersinar.
Dan malam ini isi pikiranku hanya
tentang kamu. Bagaimana dengan kamu yang tidak pernah melihatku. Aku benci malam
ini, karena ini akan menjadi akhir penantianku yang tak kunjung lelah dalam
memendam.
“Kamu
tersenyum padaku di lapang parkir sekolah hari itu. Tepat di tempat pertama
kali kita bertemu”
Aku terdiam, masih membingungkan
langkahku untuk pulang. Aku tak ingin melihat kamu ketika aku harus melewati
lapang parkir itu. Aku benci melihat kamu yang tak pernah melihatku. Lalu tiba-tiba
langit menjadi rintikan, kemudian berubah menjadi deras hujan. Aku menoleh ke
arahmu, tak terlihat, kamu sudah menghilang. Aku khawatir kamu berteman dengan
deras hujan diperjalanan akan pulang, dan angin itu masuk ke tubuhmu. Aku takut
kamu sakit, aku takut tak bisa melihat wajahmu disekolah esok hari.
Aku benci dengan tatapan kosong mu
ketika melihatku. Aku tak memandang apapun, selain memikirkan bagaimana keadaan
mu dengan hujan di perjalananmu pulang. Lalu pikiranku tersambut oleh hentakan
dibahu kanan ku. Tersenyum, bercahaya, dan sempurna. Kamu tersenyum. Kita bertatapan,
kita berbicara, kamu mengenalku, kamu tau namaku, kamu tau aku penyuka music beraliran
keras, kamu juga tau bahwa aku selalu menyempatkan hadir di acara penggelaran
acara music. Aku suka gaya bicaramu yang perlahan, kamu membuatku tak pernah
sekalipun berfikir untuk menyerah mendekatimu.
Kita saling berkomunikasi, pesan
singkat, tatapan disekolah. Semuanya terasa nyaman, meskipun perasaan ini tetap
ku pendam. Ku fikir cukup mencintaimu seperti dulu saja, diam-diam. Hanya menatap,
tanpa berucap.
“Apa
kamu lihat usahaku? Aku masih mempertahankanmu dalam pendamku”
Kamu datang dengan menggenggam hadiah
pada hari istimewaku. Aku terlihat bodoh karena tau ternyata kamu peduli akan
hadirku. Tentang tatapanku, aku harap kamu mengerti bahwa perasaan ku ini tak
tertandingi, meskipun akan dibandingkan dengan sosok lain.
“Bukan
hanya aku yang mencintaimu. Ternyata bukan hanya aku yang selalu menatapmu. Tapi, apa mereka yang mengatakan sangat
mencintaimu melebihi cintaku tau tentang semua usahaku? seberapa sering aku
diam-diam membuang waktuku hanya untuk memperhatikanmu dari jauh. Aku tak ingin
menjadikan ini sebuah kompetisi dalam mendapatkan hatimu.”
Karena bagiku, hatimu terlalu utuh untuk
dimiliki seorang pengecut sepertiku, aku terlalu takut untuk mengatakan
bagaimana kondisi hatiku ketika kamu menyatakan tentang isi hatimu, tentang
perasaanmu, tentang pernyataan cintamu padaku. Bukan nya aku yang tak ingin
mengakhiri usahaku yang sebenarnya sudah cukup lelah untuk terus memendam. Tapi
aku tak ingin menyakiti siapapun ketika sedang mencintaimu.
“Anggaplah
aku yang telah berhasil dalam usahaku memendam. Aku tak ingin kamu tau”
Aku memendam, lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar