Sabtu, 10 Mei 2014

Langit Untuk Angga (part 2)

"Lang, kamu percaya takdir dan cinta sejati itu bisa ditawar?”   

“Entahlah, kenapa?”   

“Aku ingin takdir ku adalah menjadikamu cinta sejatiku.”

Ya, aku tau betul bahwa Angga mencintaiku. Terlihat jelas dalam matanya yang menangis haru ketika tau aku akan meneruskan hidupku di kota yang semakin jauh darinya. Aku menatapnya haru sambil sesekali mengusap rambutnya.   

“Ngga, kamu tau kenapa Tuhan buat kamu berbeda?"

“Biar kita sama-sama membuat persamaan.”   

“Bodoh!”   

“Masih juga kamu bahas soal Agama 
lang? aku mencintaimu, bahkan ketika kamu memakai jilbab mu itu. Aku mencitaimu, bahkan ketika aku sedang memakai kalung salib ku.”   

Aku menatapnya haru…   

“Aku ingin berjalan bersama denganmu dalam kesatuan, hanya satu-satu nya kamu yang ku inginkan lang.” 

Angga menatapku dengan dalam, tanpa kedipan satu kali saja kini matanya berjarak sangat dekat dengan wajahku   

“Bagaimana kita bisa menyatu jika Tuhan kita tak satu?”   

“Lang…” Angga memelukku lagi untuk kesekian kalinya di malam ini   

***   

“Lang, aku akan pergi ke bali.” Kalimat pertama yang ku dengar dari Angga sesampai nya dirumah ku setelah pulang dari bandara karena sudah larut malam.   

Aku kembali terdiam, merasakan dentungan jantungku yang berhenti lagi seketika. Pagar-pagar besi berwarna hitam kecoklatan lah yang menjadi saksi kebisuan ku terhadap pernyataan Angga barusan.   

“Pergi lagi? Meninggalkanku lagi?”  

“Tapi lang, ini bukan tentang kita. Ini tentang dunia, dunia ku dan dunia mu berbeda.”  

“Ya ngga, aku tau. Aku tau betul sebelum kamu menjelaskan bahwa dunia ku dan dunia mu berbeda. Kamu adalah anak tunggal dari keluarga kaya. papa mu punya saham dimana-mana, perusahan besar yang banyak di Jakarta atau kota-kota besar adalah milik papa mu bukan? Sedangkan aku, aku hanya anak dari seorang pengerajin biasa.”   

“Bukan itu maksudku lang! kamu tentu tau bagimana gila nya papa ku ketika sepeninggalan mama kan? Papa jadi tak bisa diam dan berleha-leha karena tak ingin mengingat bagaimana kehilangan itu dibuatnya. Aku harus membantu papa dan menemaninya dimanapun papa berada. Aku mencintai papa ku lang, dan aku ingin menjaga nya. Dia masih merasakan kehilangan meskipun sudah bertahun-tahun mama meninggal.”   

“Tapi ngga, kenapa harus sejauh itu?”   

“Bukan aku yang menentukan tapi papa lang. aku harus bagaimana sekarang? Aku pun tak ingin kehilangan jejakmu lagi.”  

Aku menangis, hujan kini membantuku menutupi segala kegalauan yang terlihat jelas di wajahku. Angga menunduk lesu, aku bisa melihat kebimbangan yang terpancar dari gerak geriknya setelah bicarakan masalah keluarganya.   

“Bulan depan aku akan melaksanakan pelatihan ujian nasional ngga. Aku harap setelah semua urusanku dengan dunia pendidikan selesai, kamu mau datang lagi menemuiku.”   

“Ternyata, selama itukah kita berpisah lang? seperti baru kemarin aku melihatmu tertawa dengan rambutmu yang terkucir berantakan, juga seragam putih merah yang sudah tak beraturan. Sekarang kamu sudah mau menghadapi ujian nasional dan sebentar lagi kamu akan kuliah.”   

Aku berharap, aku akan cepat menikah.”   

“Kalau begitu, selagi kamu mempersiapkan diri untuk mengikuti ujian nasional, aku akan mempersiapkan diri untuk melamarmu di tahun depan.”   

“Aku tak mau menikah dengan orang yang bahkan tak bersekolah.” Suaraku datar, sangat datar   

“Dasar anak sialan! Angga itu sekolah lang, bedanya hanya dirumah dan mata pelajaran yang hanya tertuju pada dunia bisnis saja.” Angga mengelak   

“Tetap saja kamu terlihat seperti angga yang bodoh dan….” Belum sempat aku menyelesaikan kalimat, angga sudah memeluk ku lagi di tempat. “Ya Tuhan, aku harap ini bukan perpisahan yang panjang.” Tak disadari permohonan dalam hati pun terpanjatkan.   

*** 

Aku memasuki kamar, menutup tubuhku perlahan dengan selimut yang hangat. Mengingat bagimana dulu aku bertemu dengan Angga. Tentu saja pertemuan itu tak pernah aku lupakan. 

Hari itu hari rabu, aku memakai baju olah raga biru, sepulang sekolah seperti biasanya aku menunggu ayah mejemputku dengan sepeda motor yang berisik ditelingaku. Duduk dengan menggendong ransel yang hanya terisi makanan dan minuman tanpa terisi buku, ku lihat ada anak laki-laki yang menangis sendirian dibawah pohon dekat aku berdiri sekarang. Anak laki-laki itu menangis memanggil mama nya yang tak kunjung menjemputnya. Aku menghampirinya, menanyakan apa dia sekolah disini atau bukan. Anak laki-laki itu hanya menggeleng kepala nya sambil sibuk mengusap air mata nya. Setelah ayah datang menjemputku, anak laki-laki itu menangis semakin kencang, dengan wajah yang ingin tau ayah bertanya padaku, setelah ku ceritakan ayah menyuruhku mengajak anak laki-laki itu untuk pulang bersama, setelah sampai dirumah barulah ayah akan menghubungi keluarganya. Aku tau ayah tak kan tega meninggalkan anak laki-laki itu sendirian menunggu-yang-entah-siapa.   

Anak laki-laki itu kepalaran, ku lihat dia sibuk mengunyah apel dan terbata-bata menyebutkan namanya adalah Angga. Belum sempat apel itu habis, angga sudah menangis lagi. Dan kali ini angga menangis sambil memeluk wanita paruh baya yang ternyata adalah nenek angkatnya. Ku lihat muka ayah mengangguk-anggukan kepalanya ketika sedang bicara dengan nenek angkat angga. Ayah menggandeng tanganku dan memperkenalkanya dengan nenek angkat angga. Aku hanya melempar senyum, ku lihat angga yang murung.   

Empat hari kemudian ku lihat angga sedang duduk lagi di bawah pohon dekat sekolahku. Aku menghampirinya dan langsung bertanya mengapa saat itu angga pulang dari rumahku tanpa pamit padaku. Angga hanya tersenyum malu dan menggeser posisi duduk nya sehingga aku bisa duduk bersamanya di bangku panjang berwarna hijau dibawah pohon yang entah adalah pohon jenis apa.   

“Aku lum tau nama kamu” angga bicara seperti hal nya anak berumuran murid sekolah dasar kelas enam

“Nama aku langit.”   

“Langit, makasih ya waktu itu kamu mau ajak aku  pulang sama kamu. Kalau tidak, aku pasti akan terus menunggu mama yang ternyata malah pergi ke surga tanpa menjemput aku terlebih dulu.”   

“Surga katamu?” aku terkejut  mendengar perkataan angga dan tak lebih terkejut karna melihat raut wajah angga yang tak berubah, tidak memperlihatkan ekspresi apapun ketika sedang mengatakanya

***  

“Angga sudah sampai di bali” pesan singkat masuk di pagi ke tiga angga benar-benar pergi meninggalkanku   

“Syukurlah.”   

“Angga pasti akan pulang untuk melamarmu.”   

“Tahun depan? Aku tak mau.” 

“Tak sabaran! Haha secepatnya aku pasti akan melamarmu.”   

“Tak bisa.” Jawabku singkat   

“KENAPA?” angga memabalasnya dengan huruf kapital   

“Agama mu bukanlah duniaku.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar