Selasa, 06 Mei 2014

Langit Untuk Angga

Pernah merasakan bubungan pahit karena perbedaan? Haha ku rasa ada yang pernah, dan ada yang tak pernah, atau mungkin sedang merasakan 'pernah'. Maaf jika sering ku katakan kata 'pernah', karena menurutku 'pernah' adalah kata yang pas untuk mengatasi masalah soal kenangan masa silam.

Namanya Angga. Dan aku benar-benar tak ingat nama panjanganya, dan aku benar-benar tak ingin mengingat nama panjangnya.

Angga adalah seorang laki-laki yang manis. Yang sama sekali tak bisa berbahasa inggris. Dia satu-satunya teman yang ku anggap sudah sangat teramat dekat. Keluarga nya sangat melekat, bahkan aku bisa merasakan kasih sayang dalam keluarga kecilnya.

Saat aku menangis, hanya seorang Angga yang bisa membuatku berhenti.
Saat aku tertawa, hanya seorang Angga yang bisa meneruskan semuanya.
Angga itu adalah segalanya.

Pada hari yang sama dengan perpisahan sekolah. Aku dan Angga berjanji untuk pergi ke mall besar di Bandung barat, dengan mengganti seragam putih merah yang sudah kusam tentunya. Setelah lulus, aku dan Angga akan masuk ke sekolah menengah pertama yang sama. Angga sudah janji padaku, janji sepuluh jari yang tentunya hanya bisa dilakukan oleh aku dan Angga yang menciptakanya.

Pada hari pendaftaran, aku menunggu ditempat biasa. Didekat toko bunga, tempat aku dan Angga mencekrama sambil tertawa. Aku menunggu lama, tapi aku masih menunggunya, menunggunya untuk datang, sampai ku putuskan untuk pulang.

Seminggu kemudian, angga datang dengan setangkai bunga mawar dan coklat. Aku tersenyum malu, karena untuk pertama kalinya aku merasa menjadi perempuan dewasa yang tau apa itu cinta.

Keesokan harinya, satu pesan masuk tiba di ponsel baruku pemberi ibu karena aku diterima di negri. Ya, aku masuk disalah satu sekolah menengah pertama negri di Kota Bandung.
"Lang, angga lagi di bandara"

Aku tersenyum dan membalasnya.
"Kenapa sepagi ini?"

Aku dan Angga biasa melihat pesawat terbang dibandara dekat sekolah ku dulu. Angga suka suara pesawat ketika sedang lepas landas. Aku hanya bisa tertawa mendengar ada seseorang yang menyukai suara bising pesawat.

"Angga mau pergi ke malaysia. Bukanya itu mengasyikan! Nanti ku bawakan anting panjang"

Aku terdiam.
"Ngapain kamu ke malaysia?"

"Liburan sama papa"

Aku tak membalasnya. Aku merasa ditinggalkan. Tidak ada penjelasan, Angga pergi begitu saja.

Setiap hari aku menunggunya. Menunggu kabar kapan Angga akan pulang. Yang ku tau, Malaysia itu berjarak sangat jauh dari tempatku berada sekarang.

***

"Aku rindu suara kamu yang bisingnya melebihi suara pesawat terbang yang sedang lepas landas"

"Siapa ini?"
Ku balas dengan cepat dan tergesa-gesa ketika tau ada pesan baru masuk pada email ku.

"Angga"

Tiba-tiba aku tersedak pohon kelapa. "Bagaimana bisa? Ya tuhan ini itu Angga yang mana" suara penuh tanya bermunculan pada telinga dan kepala.

Ku balas lagi:
"Dari mana kamu tau alamat email ku?"

"Facebook mu."

"Kamu punya facebook?"

"Tidak"

Rasanya menyebalkan karena semua balasanya yang singkat dan seakan tak ada apa-apa.

"Ada apa? Ku pikir km sudah lupa."

"Setiap hari aku mencari mu"

"Aku sudah pindah"

"Ya, aku tau. Banyak yang berubah"

"Ya, memang sudah banyak yang berubah. Kamu fikir 4 tahun waktu yang sebentar?"

Unggah selesai.

Angga mengirimkan aku potret dirinya yang memang telah banyak yang berubah.

"Kamu masuk SMA mana?" Ku ajukan pertanyaan sederhana untuk menghangatkan suasana

"Aku sekolah dirumah"

"Oh"

Itu balasan terakhirku. Dan tak ada balasan lagi. Menyebalkan bukan, sudah bertahun-tahun Angga pergi dan datang lagi dengan Angga yang baru yang menyebalkan.

Tiga hari kemudian ku buka email ku dan ada satu pesan masuk, dan itu dari Angga. Dia memintaku mengirimkan nomor ponsel.

Satu bulan kemudian, ada nomor tak dikenal mengirimkan aku pesan yang hanya berisikan "aku ingin menebus kesalahanku" ku balas "siapa ini?" Dan tak ada balasan.

Hari itu adalah hari natal. Aku berlibur dirumah lama, Kota Bandung, satu-satu nya kota yang selalu membutku jatuh cinta. Entah dari segi bentuk apapun, tapi yang pasti Kota Bandung selalu jadi tujuan ku untuk berteduh.
Malam itu jalanan padat, motorku sampai tak bisa bergerak.

Lalu ku putuskan untuk pulang. Jalanan gelap membuatku tertuju pada sosok laki-laki yang sedang berdiri dengan tegap dengan menghadap kearahku dengan tepat.

“Maaf mas, ada perlu apa ya?”   

“Saya mau ke Langit mbak, rumah nya disini.” 

Laki-laki itu menunjuk kearah rumah lama ku.   

“Loh mas ini siapa ya?”   

“Saya teman nya. Mbak kenal dengan Langit?”   

Aku terdiam, laki-laki itu juga terdiam. Kami saling bertatapan. Aku mencoba mengingat siapa sosok laki-laki yang katanya adalah teman ku. Dan tiba-tiba laki-laki itu terdiam, dalam sekejap tangan nya sudah melingkar erat di pinggangku, tangan lembutnya terasa sampai ke punggung. aku ingat sekarang, belaian seperti ini yang selama ini ku rindukan.

“Aku lelah lang, aku mencarimu.”

Tanpa aba-aba air mata ku bocor dan turun deras tak tertahan. Pipi ku basah, suara rengekan seperti bayi besar sedang menggema ditelinga kami berdua.   

“aku rindu kamu lang.”   

Aku masih membisu menahan tangis, tubuhku yang didekap erat oleh laki-laki ini seperti telah menyerahkan diri sepenuhnya untuk dibawa pergi ke kerajaan mimpi, mimpi yang dulu telah kami bangun bersama dekat bandara husein sastra Negara.   

Aku dibawa pergi, tanpa pertanyaan, tanpa suara, aku membiarkan tubuhku di manja oleh dekapan-dekapan yang ku rindukan.   

Malam natal yang membawa rinduku sampai ke Bandung, jalanan padat yang membawaku pulang, pulang ketempat asal ku yang memang ku rindukan. Laki-laki ini bicara panjang lebar menjelaskan semua persoalan yang sampai sekarang masih ku pertanyakan. Aku tak bisa mendengar jelas, pikiranku hanya tertuju pada wajahnya yang ternyata sudah banyak berubah, telingaku hanya bisa mendengar music klasik yang dimainkan oleh pemain piano di kedai kopi ini.   

Aku sadar diri, aku berteriak sampai semua orang yang jaraknya tak jauh dari meja kami memperhatikan tingkahku yang seperti sedang kerasukan.   

“Kamu kemana Angga?! Kamu pergi! Meninggalkanku sendiri tanpa kabar yang jelas dan tanpa perihal yang tepat kamu meninggalkan aku sendiri dengan semua tanda tanya yang sama sekali tak ku mengerti” 

aku menangis sejadi-jadinya. Satu pelayan menghampiri kami, pelayan wanita itu mengelus-elus bahu ku. Mungkin pelayan itu member i isyarat bahwa aku harus tenang karena semua orang yang berada di kedai kopi itu melihat kearahku dengan wajah yang sepertinya ingin tau. 

Angga merangkulku, memohon padaku untuk berhenti berteriak seperti orang tak waras, dan tiba-tiba perhatianku tertuju pada kalung salib yang melingkar dileher Angga. 

Tiba-tiba jantungku sudah lagi tak berdetak, berhenti seketika.   

“Sejak kapan kamu berpindah agama?” aku bertanya pelan dengan iringan air mata yang sudah tak tertahan   

“Apa?” Angga tak merespon pertanyaan ku   

“Kalungmu ngga.” suara bicaraku semakin pelan  

“Dari dulu aku bukan Islam. Apa kamu lupa?”   

Jantungku hilang dari tempatnya.   

“Lang.. langit.. langit!”   
Suara Angga membangunkanku dari lamunan yang sedang mengingat masa lalu itu. 

“Apa benar Angga bukanlah Islam?” hatiku berbisik tak kalah pelan. Aku memandangya   

“Kamu benar-benar cantik dengan jilbab itu lang.” 

“Terimakasih.”   

Aku meminta Angga untuk mengantarku pulang. Tanpa bertanya Angga meng-iya kan nya.   

“Tapi sebelum pulang, bolehkah kita berhenti di bandara? Aku ingin melihat pesawat lepas landas denganmu lagi.”   

“Tidak. Ini sudah malam. Aku ingin pulang.”   

“Aku mohon lang.”   

“Ya.” Aku menjawab singkat

Ya Tuhan, badanku lemas. Batinku lemah, dan aku masih tak percaya soal perbedaan Agama antara aku dan Angga. Aku melihat Angga yang sedang menunggu pesawat untuk lepas landas, wajah nya melihat ke atas, sehingga aku bisa melihat dengan jelas kalung salib yang melingkar di lehernya. Aku masih tak percaya. Angga menghampiriku dengan wajah kecewa. “Pesawatnya belum ada yang lewat.” Aku tertawa dalam hati “Apa menurutmu pesawat sama dengan kendaraan umum yang sering lewat?” sudah ku bilang bukan, seorang Angga selalu bisa membuatku tertawa.   

“Kamu tau lang, tiap aku sedang menunggu pesawat melewati kepala, aku pasti sedang membayangkan wajahmu yang bulat manis di atas langit.”   

Aku tak menjawab omonganya, aku hanya terdiam membisu mendengarkan Angga bicara.   

“Dan apa kamu tau lang, betapa bahagia nya aku yang tau akan diajak papa liburan ke Malaysia. Kamu pasti tau kan kalau aku dan papah tidak berkomunikasi dengan baik setelah mama meninggal” 

Aku tak menjawab omonganya, aku hanya terdiam membisu mendengarkan Angga bicara.   

“Dan apa kamu tau lang, bagaimana hancur nya hatiku ketika papa katakan bahwa aku tak akan pernah pulang. Karena ternyata papa memutuskan untuk pindah. Dan yang membuatku hancur alasan papa yang katanya ingin melupakan semua kenangan bersama mama di Indonesia”   

Aku tak menjawab omonganya, aku hanya terdiam membisu mendengarkan Angga bicara.   

“Lang, setiap hari aku merindukanmu.”   

Aku tak menjawab omonganya, aku hanya terdiam membisu mendengarkan Angga bicara. 

Tapi kini kepala Angga sedang menghimpit diantara telinga kanan dan bahu kanan ku. Ku akui, ini adalah malam yang paling indah, dengan hiasan bintang, tanpa pemilihan waktu yang harusnya aku ikut serta untuk menyetujuinya, satu kecupan manis mendarat di bibir ku. Dengan lembut kini angga memelukku. Aku tau, Tuhan sedang mempersiapkan perpisahan untukku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar