Entah harus aku buat dari mana cerita ini, aku pun sebenarnya tidak tahu
apa ini sebuah cerita yang sanggup aku ceritakan pada semuanya. Sebenarnya aku
juga tidak tahu menahu tentang ini dan semua masalah ini, aku tidak tahu apa
ini sebuah kisah dongeng ataupun mitos lainya, aku juga tidak tahu apakah ini
tentang perasaan ku, tentang kehidupanku, atau tentang semua yang berkaitan
denganku. Yang pasti saat ini aku merasa bahwa semua anggota badan ku sedang
dikendalikan, semua pemikiran diluar jangkauan, wajahku pucat dan pipiku basah
karena air mata yang tidak bisa lagi menahan sakitnya yang sedang aku alami
saat ini. Hati ini rasanya telah mati, jantung yang harusnya terus berdetak
rasanya berhenti begitu saja. “Apakah ada yang mengerti apa yang aku rasa saat
ini?”
*
Kehilangan seseorang
yang harusnya bisa untuk aku miliki meskipun hanya sebentar saja. Rasanya Tuhan
tidak adil untuk mengatur semua hidupku, padahal aku sudah memberikan kekuasaan
penuh terhadap hidupku padanya. Haruskah aku memperbaiki hidupku yang
sebenarnya sudah berada pada akhir kematianku malam itu.
Harusnya aku bisa, aku
bisa mencari sebagian tubuhnya yang hilang atau memberikan yang terbaik jika
seandainya aku tahu Tuhan akan meninggalkanku tanpanya. Atau haruskah aku pergi
mencarinya untuk memberikan sebagian tubuhnya yang hilang walaupun aku dan
Tuhan tahu dia tidak mungkin akan memintanya kembali. Tapi apakah Tuhan tahu
tentang perasaanku saat ini, yang hancur tergeletak begitu saja bersama cintaku
dan perasaan serba kehilangan akan dirinya terhadapku, atau aku harus
meninggalkan Tuhan untuknya, atau aku harus pergi mencarinya dan putuskan untuk
tinggal bersamanya.
Semua tidak ada yang mengenaliku tanpanya, aku ingin pegi bersamanya
seperti hari itu, dimana saat dia mulai merasakan cintaku yang tulus dan
memberikan kepastian yang indah jika seandainya dia bisa menjadi milikku
selamanya.
Apa Tuhan tahu yang ada
dipikiranku saat ini, atau apa semua orang yang memandangku ragu tahu bahwa aku
bisa saja sekilas membunuh mereka jika seandainya mereka mencoba membawa dia
dari ku. “Dia harus selamanya bersamaku”.
Aku inginkan dia untuk menjadi milikku...
Aku inginkan dia untuk tetap bersamaku...
Aku inginkan dia untuk selalu ada untukku...
Aku inginkan dia untuk “Selamanya”
*
Sudah mengertikah?
Ingin rasanya aku menjerit, karena menangis sudah tidak bisa aku
keluarkan lagi, atau membisu karena kepedihan hatiku yang tak kunjung sembuh.
Semua hanya bisa memandangiku, merapat dan mencoba menyadarkanku bahwa
sesungguhnya masih banyak orang diluar sana yang akan ada untukku tanpa aku
minta. Dan pada akhirnya “hanya dia yang aku inginkan”.
Sadari bahwa dia tidak
bisa untuk menjadi milikku, sadari bahwa bukan dia yang nanti akan berada di
hari-hari ku, sadari bahwa dia tidak mungkin dapat menerima ku, sadari bahwa
dia telah meninggalkanku, sadari bahwa hanya dia yang ada dihatiku selamanya,
sadari bahwa cintaku hanya untuknya, selalu.
Menyadarinya bahwa aku akan selalu ada untuknya, menyadarinya bahwa aku
memang ada untuknya, menyadarinya bahwa disini hanya aku yang ada untuknya,
sadari bahwa dia telah mati.
Akan aku coba untuk
mengingat kembali kisah yang paling pahit dalam hidupku saat ini, karena hanya
ini yang bisa aku lakukan. Menulis semua tentangnya, cinta selamanya.
Aku, Charla Nanda Amanda.
Ini berawal dari kisah cinta SMA, kisah-kisah yang mulai tumbuh saat
hati mulai merasakan kehadiran cinta tersebut. atau saat cinta itu perlahan
masuk dalam arena terlarang di sudut-sudut di dalam hati, dan saat cinta itu
masuk, cinta itu tumbuh perlahan bermekaran seperti bunga matahari pagi,
sehingga akhirnya tumbuh menjadi bunga berwarna kuning cerah cantik yang indah.
Dan saat itu juga aku mulai memandangi dia, sosok pendiam disudut
perpustakaan dengan pensil yang terselip di sela telinganya. Dia selalu berdiri
dengan menyandarkan tubuhnya pada dinding disudut perpustakaan tersebut. Sejak
pertama aku masuk disekolah ini, yang selalu aku lihat pertama kali adalah
uniknya gedung sekolah, teman-teman, kemudian sosok dia. Dari pertama aku
bertemu denganya, aku sudah merasakan cinta SMA ku akan mulai tumbuh perlahan.
Ditemani waktu dan bertemunya hari-hari disekolah ini membuatku terus
merasakannya. Hari-hari ku terasa indah bila berada disekolah, aku bisa
menghabiskan jam pelajaran ku hanya untuk melihatnya di perpustakaan. Aku
selalu mencoba untuk dipandang olehnya meski hanya sekilas.
Aku mendekatinya
sudah hampir satu tahun, apalagi sekarang dia akan meninggalkaan sekolah, tepat
hari ini aku tahu dia akan mengambil kelulusan dengan senyuman lebar. Ini
adalah tahun terakhir dia sekolah disini, rasanya lemas tahu dia akan pergi
meninggalkan sekolah ini, tidak akan ada sosoknya disudut perpustakaan itu.
Percayalah, hampir satu sekolah tahu bahwa aku sudah lama menyukainya. Tapi
entah, dia tetap memberikan sikap cuek nya terhadapku, tidak ada rasa peduli
akan kehadiranku, dan begitu pula aku yang tetap teguh menunggunya sampai dia
menyadari bahwa ada aku disini yang menyukainya. Sering bertanya pada diriku
sendiri, apa aku akan bertahan.
Aku juga tidak tahu pasti apa yang menyebabkan aku begitu sangat
menyukainya, apa ketika saat dia membantuku mengangkat barang-barang pindahan
rumah baruku yang tepat berada di depan rumahnya karena mamah memutuskan untuk
menjual rumah kami yang dulu dengan menggantinya dengan rumah di kompleks dekat
sekolah ku juga kantor mamah, atau saat dia menegurku ketika tali sepatuku
lepas, atau saat aku lupa membawa bekal makan ku dan mamah menitipkannya
padannya, atau saat aku menyadari bahwa anak perempuan yang aku buat menangis
adalah adiknya sehingga dia harus menemuiki dan memintaku untuk meminta maaf
pada adik perempuan kecilnya, atau saat dia memberikan senyum terbaiknya padaku
saat malam itu.
Malam itu aku mencoba
membuka jendela kamarku, tak sadar dia pun begitu, dia tersenyum padaku,
melambaikan tangannya padaku, tiba-tiba alarm ku berbunyi... ketika aku akan
mematikanya, tersadar waktu telah menunjukan pukul 08.00 pagi. Aku turun
kebawah untuk mencari mamah, dan dalam ketergesa-gesaan mamah malah membuat
memo yang ditempelnya di pintu kulkas saat aku hendak akan membawa minuman,
tertulis disana “Sayang, hati-hati ya
dirumah. Mamah ada keperluan mendadak dan harus ke luar kota sekarang. I love
you.”
Aku hanya bisa memandangi memo kecil tersebut, aku melihat tulisan
tangan mamah yang dari dulu tidak pernah berubah sejak ditinggal papah bekerja
ke Hong kong. Papah hanya pulang satu atau lima bulan sekali, saat pulang pun
aku tetap tidak bisa bertemu dengannya, karena jika papah pulang kerumah pun
pasti hanya sekedar makan siang kemudian berangkat bekerja lagi. Jika di
ingat-ingat ini 3tahun nya aku tidak bertemu dengan sosok papah. Dulu papah
tidak sesibuk ini, tapi setelah mengalami kebangkrutan karena tertipunya usaha
papah dalam jumah besar maka dari itu papah harus bekerja lebih keras agar dapat
mengstabilkan semuanya. Kemudian mamah menjadi sangat sibuk kesana-kemari
mengurus dirinya sendiri, aku hanya ditemani satu computer dikamarku, tidak ada
sosok seorang kakak ataupun sosok adik atau sanak saudara lainya. Aku hanyalah
aku ditempat ini. Jika merasakan kesepian itu lagi, aku menangis.
Tiba-tiba terdengar
suara –Dia-
Aku mencoba mengangkat kepala yang sudah aku tundukan kurang lebih dua
sampai delapan menit. Aku mencoba mengusap air mata yang sudah cukup deras aku
keluarkan. Dia menanyakan mengapa aku menangis. Dengan waktu yang singkat aku
erat memeluknya, aku ceritakan semuanya. Rasanya nikmat, tidak ada beban dan
tidak lagi kesepian, aku merasa bebas. Aku merasa hidup kembali. Dan itu hanya
dengan memeluknya, begitu istimewanya bukan seorang... Rangga Sastra Wijaya.
Dia menyuruhku untu
segera mandi, aku menurutinya. Dia menyuruhku untuk memakai baju yang aku
sukai, aku menurutinya. Dia menyuruhku untuk ikut denganya, dengan senang hati
aku menurutinya. Dia memakai parfum yang aromanya wangi hingga menyentuh hatiku
dan menumbuhkan cinta yang berlimpah terhadapnya.
Dia memberhentikan sepeda motornya tepat dibelakang rumahku. Aku bertanya-tanya,
untuk apa dia menyuruhku mandi, memakai baju yang ku sukai, menaiki sepeda
motornya hanya untuk pergi ke taman belakang rumahku.
Tiba-tiba dia beranjak, tetapi tidak memintaku untuk turun dari sepeda
motornya. Dia berdiri tepat didepanku, untuk pertama kalinya aku memanangnya
dari dekat. Aku melihat senyuman itu, sangat jelas senyuman yang sangat indah.
Dia memegang tanganku dan perlahan mengatakan sesuatu... “Charla, ma...mau..k...kaah
kamu temani saya untuk mengahdiri
perpisahan sekolah besok hari?”. Perlahan tapi pasti aku menjawab “tentu saja
Rangga.” Dengan cepat dan tanpa pikir panjang aku menjawabnya.
Hari itu, aku ingin
terlihat seperti putri yang khusus hanya untunya. Aku memakai baju yang
sebelumnya belum aku pakai, aku merias wajahku yang sebelumnya belum pernah aku
rias, aku menggeraikan rambutku yang sebelumnya selalu aku ikat. Dan ternyata
dia tidak menyukainya, dia menyuruhku untuk terlihat apa adanya. Dia tidak
menyukai pakaian ku yang aku paksa dengan terlihat gemerlap, dia tidak menyukai
wajahku yang aku rias entah berapa arah. Dia hanya menyukai aku, aku yang
seperti biasanya.
Aku kembali ke kamarku, mengganti bajuku menjadi lebih simple tapi
tetap modis, rok mini dan baju pink dengan renda-renda, jaket jeans dengan
lipatan seperempat di tangan, sepatu converse berwarna pink, dan mengikat
rambut dengan satu ikatan. Aku mulai berdoa “Tuhan, ijikan aku untuk menikmati
malam ini”
Sesampai di acara
perpisahan sekolah, dia memeggang tanganku erat, mengenalkanku pada
teman-temannya, dan yang paling bisa aku rasakan “aku dekat dengan dia”.Tuhan
mendengarkan semua cerita dan rengekan ku setiap hari.
ini semua ternyata telah membuatku melupakan waktu, sudah hampir 10 jam
aku dan rangga bersama. Dari pukul 09.00 hingga pukul 19.00 WIB kita telah
bersama. Aku merasa dia akan menjadi milikku, dia akan bersamaku.
Sebenarnya aku tidak ingin pulang, tidak ingin meninggalkan malam ini
dan semua kesenangan ini. Tapi siapakah
aku jika melarangnya untuk tidak pulang. Aku berpamitan pada teman-temannya.
Di perjalanan pulang,
dia menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang membuatku sedikit gila. Dia
menyuruhku untuk menikmati malam ini, menjerit semampunya pita suaraku menguras
semua tenaga suaraku dan melawan angin malam yang menusuk dalam tubuhku
meskipun aku telah memakai jas miliknya.
Dia menyuruhku untuk merasakan bagaimana hidup yang sesungguhnya, dia
menyuruhku untuk tidak menunggunya lagi disudut perpustakaan, dan yang
terpenting dia ijinkan aku untuk memeluknya, itu hal yang sudah berjam-jam aku
tunggu.
Aku memeluknya erat, sangat erat sambil mencoba mengingat
pertemuan-pertemuan singkat dengannya di hari-hari yang tidak jelas, bagaimana usaha
ku untuk mendekatinya dan bagaimana sikap cuek nya terhadapku.
Dia memulai
pertanyaan “kenapa loe suka gue?”. Hatiku mulai merasakannya kembali, getaran
hebat yang mulai terasa lagi. Mungkinkah ini saatnya untuk memulai cerita baru
dalam percintaanku. Oh Tuhan tolong tunjukan bahwa aku tidak sia-sia
menyadarkannya bahwa ada aku disini yang selalu menunggunya.
“Iya! gue suka sama
loe rangga. Dari dulu! Dari dulu!!!” aku teriak diiringi dengan angin malam
yang waktu menujukkan tepat jam sepuluh malam. Dan terdengar pertanyaan
terakhir dari mulutnya “terus loe berharap apa dari gue?”. “loe-gue-selamanya.”
Pernyataan paling akhir terdengar dari mulutnya, yang aku dengar memang dari
dia: “maaf”
*
Kematian itu menyakitkan, tanpa kepastian dan keindahan tiba-tiba
hilang dan pergi tanpa pamit pada cintaku. Semua pergi, semua pergi tanpa ijin
dariku. Dia pergi entah pergi untuk pertama atau dia akan datang lagi padaku.
Terdengar lagi... “telah terjadi
kecelakaan sepeda motor. Polisi menduga karena saat itu lampu-lampu yang berada
di jalan sedang mengalami kerusakan dan karena kecepatan sepeda motor yang
tidak terkendali dan tidak menyadari bahwa jembatan yang berada didepannya
sedang berada dalam perbaikan.”
Itu aku dan dia, mati
dalam suasana keindahan dan malam yang sempurna. Dan mamah yang menangis
melihatku terbaring tidak berdaya di ruang ICU, mamah berkata sudah hampir lima
hari aku tertidur lelap. Aku tersenyum lepas pada mamah karena terlihat sosok
papah yang telah bertahun-tahun tidak aku temui berada disampingnya. Ada mamah
Rangga yang memelukku erat, memandang wajahku dan melihat semua anggota
tubuhku. Mengusap rambutku dan mencium keningku. Akupun kembali memberikan
senyum padanya. Terlihat gadis kecil yang dulu pernah aku buat menangis berada
di ranjang tidurku dan memegang tanganku, mulai memperlihatkan senyumnya dan
berkata “maaf”.
Hatiku mulai merasakannya kembali, getaran yang hebat mulai terasa
lagi dan menyadarkanku. “Dia... dimana rangga?” aku menjerit kesakitan, dia menghilang,
tidak terlihat wajahnya ketika aku terbangun. Tiba-tiba dadaku sesak, nafasku
mulai tak beraturan, orang-orang dengan berpakaian putih itu berlari
menghampiriku dengan membawa alat-alat perawatan, juga suntikan.
“Loe-gue-Selamanya”
Aku taburkan bunga merah dan seikat bunga kamboja tepat disamping
nama, sepi dan sunyi, hanya kicauan burung-burung, suara pohon yang menghilir
terdengar ditelingaku dan jeritan ku memanggilnya tanpa sebuah kaki.
*
Dia meninggalkan
aku tanpa alasan dan sebuah kepastian, baru aku merasa bahwa Tuhan mendengar
semuanya tentang isi hatiku. Kecelakaan itu membuatku buta karena benturan di kepala
yang disebabkan karena tidak terdapat helm di kepalaku. Dan dia, dia telah
memberikannya padaku hingga aku bisa melihat tempat tidurnya yang indah
bertaburan bunga-bunga cantik. Walaupun kaki ku telah menemaninya disana. Dan
sekarang aku menunggu cintanya lagi dalam keadaan fisik ku yang cacat.
Hari semakin hari aku
semakin gila dan tidak waras, aku selalu menunggunya di sudut perpustakaan itu,
aku selalu menunggunya dia taman belakang rumahku, dan aku selalu menunggunya
di sebrang jendela kamarku, aku menunggunya dihatiku.
Mamah dan papah selalu berusaha meyakinkanku bahwa masih ada Tuhan di
setiap hari-hari ku. mamah memasukan aku dalam pondok pesantren dan papah
selalu menemaniku. Tidak pernah aku melewatkan shalat dan berdoa pada Tuhan
agar berbaik hati mengembalikan dia padaku. Setiap hari aku berdoa agar cinta
ku bisa berjalan dengan kedua kaki ku yang telah hilang. Aku telah kehilangan
seseorang yang tidak pernah aku milikki.
Hingga akhirnya aku
bisa kembali melihatnya dengan berjalan memakai kedua kaki ku untuk
mempertemukan cinta karena kecerobohanku mengendalikan kehidupan yang sebenarnya
telah mengikutiku sejak kecelakaan itu, dia menemaniku dalam kanker otak yang
tidak diketahui telah parah. Aku yakin, aku akan mati dengan perasaan bahagia
karena telah menemukan Tuhan dari dalam hatiku.
“Innalilahi
wainalilahi rojiun”