Aku masih memandangnya.
Dalam suasana
langit yang hampir gelap aku berhadapan denganya, mengobrol, mendengarkan nya
bercerita. Sebenarnya aku tidak cukup mengerti apa yang sedang dia bicarakan,
tapi menurutku dengan menghabiskan perhatian ku untuk mendengarnya bercerita
sudah cukup, bukannya aku tidak peduli dengan apa yang dia ceritakan, aku hanya
tidak berani memotong ceritanya hanya untuk bertanya. Ketika dia tertawa, aku
pun ikut tertawa, ketika dia diam, aku cepat bertanya ada apa.
Kita selalu
bersama, hampir setiap hari waktuku pasti ku habiskan denganya. Aku bahkan
telah mengenal keluarganya, dua malaikat yang telah menciptakan nya, ayah dan
ibu nya. Kedua adiknya. Tentu aku juga mengenal jalan menuju rumahnya. Dia pun
sebaliknya, dia mencintai keluarga ku juga. Dan itu adalah alasan mengapa aku
sudah terlalu percaya padanya, aku taruh harapan dan mimpi dalam benaknya, ku
ciptakan dunia ku di dalam dunia nya.
Tapi ternyata
rancangan Tuhan bukanlah rancanganku. Kita berpisah. Berpisah dengan alasan
yang tidak dapat dimengerti oleh perasaan. Aku melepaskanya...
Sel-sel dalam
otak ku berontak, aku selalu menahan untuk tidak memikirkanya, tapi semua hal
tentangnya sudah melekat. Dan akhirnya Tuhan memperbolehkan ku untuk
memilikinya lagi. Sudah ku putuskan untuk tidak pernah lagi meninggalkanya. Aku
kunci langkahnya agar tidak lagi menjauh, aku belajar untuk menahan emosi ku
ketika tau ternyata dia menyimpan begitu banyak perihal ketika jauh dariku. Aku
berubah menjadi aku yang sangat mencintainya.
Dan semua
berjalan seperti biasa. Bercerita, tertawa bersama, bahkan aku sekarang lebih
ingin selalu didekatnya. Tapi perpisahan itu menjadikanku seperti wanita yang
kehabisan otak. Aku sudah tidak bisa berfikir harus memakai cara yang bagaimana
lagi untuk menghadapinya. Dia sudah jauh berbeda dari biasanya. Dia yang ku
kenal tidak pernah memperlihatkan emosi yang berlebihan terhadapku. Dia yang ku
kenal selalu tidak bisa jauh dariku. Dia paling tidak tahan jika tidak
mendengar kabarku, dia akan marah jika aku telat membalas pesan singkatnya, dan
dia paling benci mendengar kata perpisahan.
Tapi sekarang berbeda, dia
yang sekarang lebih sering mengacuhkanku, dia lebih suka jika tidak mendengar
kabarku.
Aku menyukai apa
yang ku miliki, tapi jika yang kumiliki terlihat ingin pergi. Maka aku yang
harus berhenti memikirkan hati sendiri.
Jangan bilang aku tidak
memperjuangkan, jangan bilang aku terlalu lemah untuk melepaskan.
Tanpamu...
semuanya kosong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar