Selasa, 15 April 2014

Toko Roti

Malam ini ku putuskan untuk mengungkap semuanya. Rasa kecewa yang membentuk menjadi cermin yang memperlihatkan sosok ku yang mulai rapuh. Tak mampu lagi berdiri tegak menompang beban yang ku rasa sendirian. 

Ponsel ku berdering...

"Hallo... kamu kemana aja sih sayang?"

"Ada ko ini."

"Ko datar sih jawabnya? Kamu gak kangen sama aku?"

"Kangen? Hmm.. i...ya kangen ko"

"Ko kamu gitusih? Ada apa?"

Aku menghela nafas panjang...

"Sebenarnya... aku... hamil Rif"

"Apa? Kamu hamil?" Suara nya tercegang kaget.

"Iya..." 

"Siapa yang sudah meng-hamili kamu Rin?"

"Kamu Arif!!" Aku berteriak dengan suara rintihan dan butiran air mata

"Hah? Tapi aku tak pernah melakukan hal sekeji itu pada orang yang ku cintai."

"Lalu? Beberapa bulan ini apa?"

"Apa? Jangan bicara sembarangan rin!!!"

Suasana kamar ku mendadak hening. Mata ku basah seperti habis menghujankan diri di lapangan terbuka. Rasanya mati rasa

"Rin... bagaimana aku bisa melakukanya jika sudah hampir delapan bulan ini aku tak bertemu denganmu karena soal pekerjaan yang merumitkan waktuku?"

"Kenapa kamu tanya aku?" Aku sedikit berteriak

"Dimana letak kesalahanku rin?"

"Salahmu... kamu tak pernah mau datang menemuiku. Bahkan untuk sehari pun kamu tak mau meluangkan waktumu. Jadi kamu tak pernah tau akan keadaanku."

"Tapi Rin... pekerjaanku..."

"Sudahlah! Semuanya sudah terlambat"

"Maksudmu?"

"Aku sudah keguguran."

"Rin... aku tak mengerti."

"Kamu bukan lagi laki-laki yang ku cintai. Kamu berbeda, kamu memberikan aku sesuatu yang pada akhirnya benar-bebar meninggalkanku, dan itu membekas dan menyakitkan."

"Aku minta maaf Rin.. aku benar-benar mencintaimu."

Itu kalimat terakhir yang ku dengar dari suara yang berada jauh di ujung telepon sana. Arif namanya, dia laki-laki yang ku kenal baik. Ya tentu, dia adalah kekasihku. Hubungan yang ku anggap akan menjadi perhentian ternyata masih saja menjadi persinggahan, waktu yang membuktikan bahwa cinta akan ditepis oleh kesibukan, hingga pada akhirnya ada pihak yang terabaikan.

Pagi ini hidungku sudah dimanjakan oleh aroma roti bakar yang baru keluar dari panggangan. Juga kopi hitam dengan caramel diatasnya. Toko roti di persinggahan jalan dago selalu menjadi tempat pertama yang ku kunjungi sebelum pergi ke jalan banda. 

"Ririn!" Suara yang tak asing kudengar. Aku membalikan tubuh dengan cepat.

"...Rif" 

"Aku tak menyangka akan bertemu denganmu disini" laki-laki itu spontan memelukku tanpa ragu, tanpa tau banyak pasang mata yang melihat kita sedang berpeluk mesra didepan umum.

"Aku pun. Dan.. ka..mu.. sedang apa di..si..ni?"  Suaraku terbata-bata, mataku terbuka lebar melihat kearah wajah laki-laki ini. Benar-benar tak percaya

"Ini toko roti ku Rin. Kebetulan sekali kita bisa bertemu. Ini hari pertama aku berada di Bandung."

Suara nya masih tetap sama tak berubah. Tanganya menggenggam tanganku dengan erat. Dia tak banyak berubah, masih tetap Arif yang tampan.
Terdengar lonceng kecil merdu tanda pintu toko roti itu terbuka... ada gadis cantik yang berpenampilan manis masuk dan mengampiri kami. Gadis itu memandang wajah ku dan wajah Arif.

"Mama.. ayooo ma! Nanti Tiar telat sekolah." Gadis itu menggenggam tanganku yang sedang digenggam Arif

"Ma...ma?" Arif melihat kearahku seperti sedang mempertanyakan sesuatu. "Dia anakmu?"

"Iya. Namanya Tiar Cantika."

Arif terdiam sejenak. Wajahnya seperti yang sedang memikirkan sesuatu yang telah lama terlewat.

"Iya sayang... tunggu di mobil sama papa ya."
Dengan cepat gadis kecil itu melepaskan genggamanku dan pegi ke luar toko

"Pa...pa?" Arif melihat lagi kearahku dengan tatapan yang sama. 

"Iya. Aku sudah menikah Rif."

"Menikah? Dengan siapa?"

"Dengan laki-laki yang selalu ada untukku. Yang memperjuangkan pembuktian cintanya tanpa batasan waktu." 

"Tapi Rin, sampai saat ini aku belum pernah mencari penggantimu, bahkan aku tak pernah melupakanmu."

"Ketika masih denganku saja kamu sudah sering melupakanku Rif"

"Aku sibuk dengan pekerjaan ku bukan berarti aku melupakanmu. Aku kerja pun untuk mu, untuk masa depan yang kamu impikan itu. Untuk rumah yang kau idam-idamkan, yang ada kolam renang dan dapur yang besar. Dan seorang anak perempuan yang bernama Tiar." Suara nya melemah

"Tapi aku pun membutuhkanmu."

"Kamu egois! Setelah meninggalkanku tanpa kabar sekalipun. Aku sibuk bekerja untuk mu di Jakarta sana, dan sekarang aku menemuimu setelah kamu menikah dan mempunya seorang anak?"

"Aku tak ingin diperbudak oleh cinta semu, yang samar tanpa waktu. Kamu benar-benar tak terlihat saat itu."

"Apa jangan-jangan gadis itu adalah anak ku?"

"Anakmu? Aku tak pernah melakukan hal bodoh seperti itu. Apalagi kamu kan tak pernah mau menemuiku di tengah-tengah kesibukanmu."

"Tapi malam itu, lima tahun lalu kamu bilang bahwa kamu hamil. Dan... keguguran."

Hatiku berdegup kencang. Menahan rasa heran ternyata Arif masih mengingatnya. Pipi ku mulai basah karna air mata, mataku memerah, hidungku tersumbat. Aku merasakan mati rasa persis seperti malam itu.

"Kamu kenapa Rin?" Arif menompang tubuhku yang tiba-tiba duduk dibangku tamu

"Kamu tau Rif... aku memang telah hamil olehmu. Bahkan sudah membesar. Aku bertahan sendirian menompangnya. Sekuat tenaga aku usahakan agar tak terjadi apa-apa pada keadaanku. Dan ternyata pada akhirnya aku tak mampu. Aku melepaskanya, aku merelakanya, aku membiarkanya keguguran. Dan hilang."

"Rin... aku masih tak mengerti. Tadi kamu bilang, kamu tak pernah melakukan hal bodoh seperti itu. Dan aku pun sibuk tak menemuimu. Lalu kamu hamil, hamil apa?"

"Aku hamil rindu mu Rif."

"Rin..." mata nya berkaca-kaca, bahkan aku bisa melihat wajahku dari balik matanya.

"Aku menahan rindu itu sendirian hingga rindu itu semakin lama membesar. Kamu sibuk dengan pekerjaanmu, aku yang menompang rindu sendirian hanya bisa menunggu dan menahan sakit ketika rindu itu tak kau gubris. Lalu pada akhirnya aku keguguran. Melepaskan rindu itu dan mengikhlaskan Arif-ku."

"Rin... aku menyesal."

Aku tak dapat lagi menahan tangisku ketika Tiar masuk dan menggenganggam lagi tanganku. Ditemani laki-laki yang kini menjadi suamiku.
Arif berjabat tangan berkenalan setelah sibuk membasuh air matanya dengan tangan yang sama.

"Hay, aku teman lama Ririn. Kalian sangat serasi. Dengan gadis manis bernama Tiar sudah lengkap kebahgiaan kalian." Arif tersenyum kearah Tiar, suami ku, dan aku.

Keesokan harinya, ditempat yang sama, di toko roti yang sama. Sudah tak ku lihat lagi laki-laki yang telah menghamiliku dengan rindu.

Kemarin adalah pagi terakhir hubunganku dengan Arif.