Senin, 29 Juni 2015

Aku Pernah Berkhayal



Aku pernah berkhayal bahwa setiap pagi ketika kedua mataku perlahan membuka, disamping ku ada kamu yang masih terlelap dengan gemas nya. Ku lihat dengan seksama, dan ku yakinkan bahwa ini bukan mimpi pagi hari yang sebentar sirna.
Dan memang, itu bukanlah sebuah mimpi. Melainkan hanya sebuah khayal yang terlalu tinggi.

Aku pernah berkhayal bahwa setiap hari ketika aku ingin pergi meminum kopi di ujung jalan kedai yang biasa ku duduki, kamu selalu memintaku untuk membuatkan kopi untuk kita berdua dan meminum nya bersama di halaman depan rumah kita. Ku ingat dengan seksama, dan ku yakinkan bahwa ini bukan mimpi yang membodohi.
Dan memang, itu bukanlah sebuah mimpi. Melainkan hanya sebuah khayal yang terlalu tinggi.

Aku pernah berkhayal bahwa setiap sore ketika aku ingin memesan makanan siap saji di tempat makan yang biasa ku cicipi, kamu selalu menyeretku ke dapur rumah untuk membuatkan mu makanan untuk makan malam yang nyaman. Ku rasakan kejadian itu dengan seksama, dan ku yakinkan bahwa ini bukanlah mimpi yang menyedihkan.
Dan memang, itu bukanlah sebuah mimpi. Melainkan hanya sebuah khayal yang terlalu tinggi.

Aku pernah berkhayal bahwa setiap menjelang malam ketika aku akan segera menjamah kasur dan bantal, kamu selalu memaksaku membersihkan make up dan shalat berjamaah yang menjadikanmu sebagai imam di depan. Ku ingat memori itu dengan seksama, dan ku yakinkan bahwa ini bukanlah mimpi yang hanya akan membuat perih.
Dan memang, itu bukanlah sebuah mimpi. Melainkan hanya sebuah khayal yang terlalu tinggi.

Aku pernah berkhayal bahwa setiap saat ketika aku tau semua yang ku lalui hanya sebuah khayal yang terlalu tinggi, akhirnya aku memutuskan untuk berdoa dan berharap semua khayal itu akan berhenti. Dan ku ganti menjadi permintaan yang ku kemas dengan begitu manis, yang ku percayai semua khayal itu akan menjadi hidup ku yang membahagikan di satu masa nanti.

Aku pernah berkhayal bahwa setiap detik dimana aku lagi-lagi merasakan khayal yang terlalu tinggi. Aku tau, Tuhan sedang merencanakan sesuatu yang lebih gila lagi.

Karena aku pernah berkhayal bahwa semua itu akan menjadi nyata dan bahagia.

Minggu, 28 Juni 2015

Kunjungan Sebentar



Kami hanya bisa sama-sama terdiam, membisu membiarkan suara angin yang merajai sore ini. Langit jingga yang sudah mulai terlihat mempesona dimata ku, membuat ku lupa bahwa dari dua jam yang lalu aku tak saja memulai percakapan diantara kita.

Sebenarnya aku hanya ingin mengujunginya, tak lebih. Tak ada niat sedikitpun untuk mengukit semua masa kelam yang terjadi diantara kita berdua. Aku cukup sadar diri bahwa itu akan menyakiti hati. Tapi lagi-lagi, perasaan rindu dari 5 tahun lalu masih saja mengendap di segala penjuru hati, memori antara kita berdua selalu terputar berulang-ulang didalam kepala.

Maaf jika kunjungan ku kali ini hanya bisa mendebatkan masalah itu lagi.

“Harusnya kita bisa bahagia.”
Ya, aku tau pasti akan selalu kalimat itu yang kau katakan terus-menerus tanpa jeda waktu, bahkan aku tak habis pikir bagaimana kau mengatur nafas ketika mendebatkan persoalan yang memilukan. Bagimana kabar perasaan yang akan kehilangan jika terus menerus membahas hal yang tak akan pernah selesai.

Sudah hampir dua jam setengah disini, aku baru berani memberikan mu bunga kamboja. Rasanya benar-benar tak adil jika selalu aku yang memberimu bunga. Kupikir, apa tak pernah sekali saja kamu mau memberikan ku bunga? Tak apa jika hanya satu tangkai saja. Ahh, sudahlah! Aku tak ingin memaksa.

Aku akan memulai percakapan kunjungan sebentar. Yang pertama, bagaimana kabar mu sekarang? Bertahun-tahun tak bertemu denganmu sungguh membuatku tak tahan membayangkan seperti apa kamu sekarang. Kau tau? Harusnya sekali waktu kamu datang ke mimpi ku, meneruskan pembicaraan kita yang terhalang hujan tempo lalu. Kau ingat?

Dan lagi-lagi kau hanya diam.

Dulu, kau selalu menganggap bahwa kita adalah sepasang yang saling melengkapi dan mengimbangi diantara dua sisi berbeda yang ada pada diri kita berdua. Karena soal perjuangan, aku tak pernah faham. Mungkin karena aku belum pernah merasakan bagaimana rasanya diperjuangkan oleh seseorang, atau mungkin bahkan sampai harus sebegitunya dipentingkan.

Perihal hati, sepertinya kamu memang paling ahli. Tapi soal rindu, aku yang paling mengerti. Apa seperti itu yang saling melengkapi?

“Kita tak pernah seimbang.” Kata ku.

Dan lagi-lagi kau hanya diam.

“Harusnya kita bisa bahagia.” kata mu selalu begitu

“Kau tau kan Negara kita sudah merdeka? Sudah memiliki pancasila yang mengatasnamakan semua umat manusia, dari berbagai suku dan agama?” katamu

Aku selalu menahan tawa jika kamu mulai mengeluarkan kalimat andalanmu itu, bahkan jika harus ku hitung, entah berapa ribu ratus kali kamu mengatakan itu di sela-sela pembicaraan kita. Bahkan hanya 2 kalimat itu yang bisa ku ingat. Tapi tetap, itu tak ada bedanya dengan keadaanMaaf.

Bahkan sampai detik dimana aku sedang duduk disampingmu kali ini, nyatanya jilbab ku tak pernah selaras dengan salib yang berada di antara nama mu di batu nisan. Kau tak percaya? Lihat! Orang yang berlalu-lalang tak hentinya melihatku dengan tatapan yang menganehkan.

Biar ku percepat…

Aku akan meneruskan percakapan kunjungan sebentar. Yang kedua, aku sudah mengikhlaskan. Kali ini, aku tak akan lagi mempermasalahkan perbedaan, aku tak akan lagi mengingat kematian yang menyebabkan perasaan kehilangan itu semakin menyedihkan. Aku percaya kita akan bertemu lagi meskipun entah harus bereinkarnasi berapa puluh kali, dan setelahnya kita bisa meneruskan pembicaraan yang terhalang kematian.

Angga, makam mu terlihat berantakan. Tapi sepertinya kunjungan sebentar ku telah selesai. Sudah hampir malam, bahkan senja sudah tak lagi ada, perlahan menghilang. Begitu pula kisah kita.

Aku pamit pulang.

Jumat, 12 Juni 2015

Bapak Adinda



Mungkin bagi sebagian orang, musik hanyalah sebuah pengantar malam agar cepat terlelap, atau teman untuk tak merasa sedang sendirian. Tapi bagi ku, musik adalah sebuah perantara yang paling mengerti bagaimana menanggapi semua bentuk rasa. Dari mulai marah, bahagia, sampai perasaan kecewa.

Saat ku dengar musik-musik klasik yang keluar masuk melalui kepala ini, aku sudah mulai merasakan ada hal lain. Hati ku ikut merasakan apa yang sedang dirasakan oleh semua musisi pada semua penikmati karya nya. Itulah salah satu hal yang membuat aku sangat mengagumi musik, karena tanpa menjelaskan bagaimana semua perincian isi perasaan, musik mampu menggambarkan semua yang sedang kita rasakan. Hebat bukan.

Beruntung nya, dari kecil aku sudah dibebaskan memilih apa yang ingin ku jalankan. Hobby ku menyanyi dan menikmati musik klasik, meskipun hanya mampu menjadi penyanyi kamar mandi tapi aku sudah memiliki dua orang penggemar setia; Mama dan Bapak.

“Hallo, Assalamualaikum.”

“Waalaikum salam. Sayang, apa kabar?” ku dengar suara nya yang jauh dari ujung telepon sana

“Alhamdulilah baik ko, ma. Mama dan Bapak apa kabar?”

“Syukurlah, Mama alhamdulilah baik-baik saja. Cuma bapak kayak nya lagi nggak enak badan. Jantung nya sakit lagi. mungkin gara-gara kecapean. Kamu nggak usah khawatir ya”

“Loh ma? Dari kapan? Ko dinda nggak tau Bapak sakit?”

“Sudah dari beberapa hari yang lalu. Bapak nggak mau kamu tau.”

“Loh ko Bapak gitu sih?”

“Bapak tau kamu sedang sibuk-sibuk nya latihan untuk penampilan pertama mu nanti malam. Bapak hanya nggak mau kamu khawatir.”

“Tapi ma, dinda juga kan pengen tau kabar Bapak.” Nada ku sedikit bertambah tinggi

“Hallo, Assalamualaikum.” Ku dengar suara yang membuat hati ku tenang dan rindu yang semakin terasa menjengkelkan.

“Waalaikumsalam, Bapak…” suara ku kembali seperti biasa

“Bagaimana kabar mu, nak? Kamu yang rajin ya latihan nya. Bapak tau kamu akan tampil sangat cantik. Bapak tau, anak bapak yang satu ini akan terlihat paling menawan dan megah dengan cello nya.”
“Tapi pak…”

“Kamu nggak perlu khawatir sama bapak. Bapak cuma kecapean. Kamu jangan pulang. Ingat! Bapak tidak mengkuliah kan mu sampai jauh-jauh di luar kota sana hanya untuk menjadi wanita yang cengeng dan gampang menyerah. Bapak tau, uang yang selama ini bapak pakai untuk membiayai kuliah mu tak akan pernah terbuang sia-sia. Bapak tau kamu sangat mencintai musik. Maka dari itu, buat lah penampilan yang akan membuat bapak percaya akan cinta mu itu. Ya nak?”

“Bapak… dinda pasti bakal bikin Mama dan Bapak bangga!!” suara ku mulai melemah, ku tahan air mata yang mulai berjatuhan

“Mama dan Bapak sudah bangga pada mu. Tau kamu diterima di salah satu universitas terbaik dengan memilih jurusan musik, melihat wajah bahagia mu, tanpa kamu tau, Mama dan Bapak sangat bangga pada mu. Ditambah usaha mu untuk membeli cello sampai menyisihkan uang jajan mu, menggendong cello dari kost mu sampai tempat latihan, sampai kamu sangat merasa kelelahan, Mama dan Bapak percaya kamu bisa membuktikan pada kami bahwa kamu serius dengan apa yang kamu yakinkan sejak dulu.”

Tangis ku meledak dan sendu-sendu yang tak bisa ku tahan itu mulai tak lagi bisa ku bendung. Suara bapak yang ku rindukan dimanjakan oleh suara adzan subuh yang mulai berkumandang. Ini lah instrumen yang paling aku dan Bapak sukai. Adzan membuat aku dan Bapak selalu mendekap doa yang sama; kebahagiaan didalam keluarga.

“Nak, sudah sana ambil air wudhu lalu sholat. Berdoa semoga penampilan mu nanti malam berjalan dengan lancar.”

“Iya pak. Amin. dinda shalat dulu. Sama buat Mama. Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

*

Aku berdiri paling depan, disorot lampu panggung yang menyilaukan. Kaki ku bergemetar, mungkin karena ini adalah pertama kalinya aku tampil dengan ditonton puluhan orang. Aku mengambil posisi duduk yang paling nyaman dan mulai menggenggam cello untuk ku mainkan.

Perlahan waktu berjalan, pikiran ku terbuyar oleh keadaan Bapak yang sangat ku khawatirkan, ditambah ku lihat dua kursi yang kosong didepan. Tadinya, itu adalah kursi yang dipersiapkan oleh panitia acara untuk anggota keluarga. Sesekali aku memejamkan mata, mengingat semua perkataan Bapak untuk ku, soal bangga nya bapak pada ku.

Tiba-tiba ku lihat wajah pria yang damai, dengan kerutan yang mulai terlihat di sudut-sudut wajahnya, dia memandang kearah ku dengan mata yang berkaca-kaca. Senyum nya yang menghancurkan segala bentuk rindu. Pria itu tersenyum kearahku, menikmati permainan cello ku. Dengan sekejap, aku semakin bersemangat sampai ku dengar tepuk tangan yang meramaikan semua isi dalam kepala.

“Adinda.” dengan cepat aku mencari sumber suara yang kudengar

“Bapak.” Ku peluk pria itu dengan erat

“Bapak bangga sekali padamu.” Bapak membalas pelukan ku dengan sesekali mengusap punggung ku

Malam itu sendu-sendu tangis yang sudah tak bisa lagi ku hitung menjadi instrument musik klasik yang akan selamanya mengingatkan ku bahwa pria yang sedang ku peluk ini adalah pria hebat yang bisa menahan sakit dari perjalanan antar kota yang mil-mil jauhnya hanya demi untuk melihat penampilan pertama ku.

Jika menurut Bapak musik adalah segalanya buat ku, maka musik ku adalah Bapak.

Jumat, 05 Juni 2015

Hubungan


Dalam hubungan selalu ada batasan
Batasan atas semua pilihan yang satu sama lain jalankan
Batasan untuk bicara bahkan untuk mendengar
Batasan untuk memberi nasihat atau melarang
Dan batasan untuk digenggam

Dalam hubungan jangan terlalu erat kau dekap
Karena tubuhnya tak akan penah bisa kau miliki seutuhnya
Karena kau tak akan pernah bisa tau apa isi hatinya
Karena kau tak akan pernah bisa mengendalikan pikiranya

Dalam hubungan akan ada dimana sebuah ketulusan harus ada karena perasaan tak bisa dengan seenaknya kau mainkan
Harus ada kepercayaan untuk membiarkan dia juga berada didalam dunianya
Harus ada banyak pengertian dimana kamu menjadi tempat keluh kesahnya
Harus ada kesabaran dimana kamu harus memberi saran untuk setiap masalahnya

Dalam hubungan jangan terlalu membiarkan nya tak nyaman dengan segala sikap mu yang berlebihan
Sebab keikhlasan harus selalu ada dalam setiap kehilangan yang mungkin akan datang

Dalam hubungan tak ada bahagia yang tak bisa kau ciptakan, dan tak ada tangis yang bisa kau hindarkan.

Senin, 01 Juni 2015

Ribuan Waktu



Ribuan waktu sudah kita lewati. Mencicipi satu persatu waktu yang sangat kita percayai. Waktu pertama aku mengenalmu, ku rasakan sesuatu, semesta sedang mengatur perjodohan tentang aku dan kamu. Ribuan waktu sudah kita lalui, menyelami setiap rasa yang membuat kita semakin dewasa. Waktu dimana untuk pertama kalinya kamu mencoba mengenal kita. Waktu yang bisa ku cumbui ketika aku merasakan rindu yang membuatku candu.
Ribuan waktu sudah kita lewati. Ketika pertama kali wajah mu muncul di layar ponsel ku, ada rasa yang ingin terus melihat setiap sudut dari wajah itu. Ada yang coba ingin merangkul wanita menyebalkan ini. Aku tersenyum, begitu mengejutkanya skenario Tuhan. Berpeluang besar untuk menertawai tata surya yang mulai berotasi ingin memaksakan hadirnya sebuah matahari disaat badai salju sedang merajai.
Ribuan waktu sudah kita lewati. Aku tertawa mendengar sebuah kata yang terdengar asing dikepala. Ada yang sedang mengorbankan dirinya terluka. Ada rasa yang akan menyamarkan luka. Bahkan saat itu tiba aku lupa bagaimana dengan hati yang sedang menjerit terluka, menangis meluapkan cacian di kepala kini telah sirna. Hanya dengan dia aku bisa tersenyum dengan tawa tanpa harus menonton drama komedi. Aku lupa bagaimana mengingat sesuatu yang pernah ada. Sudah berlalu lalang puing kenangan dikepala, tapi ketika sebuah kata mulai hadir diantara aku dan dia, aku akan menyebutnya sebuah cinta.

Ribuan waktu sudah kita lewati. Sampai detik dimana kamu mulai pembicaraan yang menghentikan degup jantung ku seketika. Saat dimana kamu bicara soal bahagia jika kita bersama, soal keyakinan mu bisa melanjutkan langkah kaki berdua dengan ku.

Ribuan waktu sudah kita lewati. Selamat jatuh cinta, hati.