Rabu, 09 Juli 2014

Tersesat

Ini adalah puluhan ribu hari aku masih mengurung diri. Semua orang tak ada yang mengerti bagaimana kondisi ku kali ini. Dengan gampang nya mereka katakan hal-hal yang membuatku semakin merasa sendirian. Seperti kata Dinda “Sudahlah, lupakan saja!” atau perkataan Marina “Masih banyak ko yang mau sama kamu” atau mungkin perkataan ibu sekalipun “Bukan jodohmu. Tuhan sudah mempersiapkan segalanya untukmu.”
Segampang itu yang mereka anggap adalah proses melupakan. Andai bisa hanya dengan cara itu maka sudah ku lupakan sosok itu dari awal, mungkin sudah hilang cinta ku yang besar.

Kenyataanya, melupakan bukan bagaimana cara kita bisa menghilangkan semua tentangnya. Aku sama sekali tak menyalahkan cinta soal hatiku yang mulai hilang rasa. Aku juga tak menyalahkan Tuhan mengapa tak menyatukan aku dengan dia, tapi bagaimana dengan sebuah pertemuan yang dipercaya adalah keputusan semesta yang sedang mempersatukan dua hati menjadi satu ikatan cinta suci.

Rasanya penyesalan kini mencambuk dari belakang. Bagaimana dulu ku sia-sia kan sebuah pengorbanan. Harusnya saat itu juga ku katakan padanya bahwa aku bersedia menjadi pendamping hidupnya.

Menyelami sebuah masa silam bukanlah hal yang sulit untuk ku lakukan. Meninabobokan ingatanku pada mimpi-mimpi kami dulu yang dibangun dengan pengharapan kebersamaan di masa depan, mengajak semua pikiran hanya mengingat dia seorang. Ahh! aku rindu tubuhnya yang seharusnya ku peluk saat ini juga.

“Lang, nikah sama angga!”

“Aku gak bisa ngga! Keputusan bodoh!”

“Angga gak bisa gak ada kamu. Angga cinta sama kamu lang!”

Pembicaraan itu masih saja terngiang dikepalaku. Seperti suara tembakan dengan jarak yang sangat dekat.

“Bukankah harusnya ku terima lamaran angga saat itu juga. Seharusnya aku lebih bisa menghargai pengorbanan nya ingin memperjuangkanku. Seharusnya tak ku pedulikan lagi soal perbedaan ini. Rasanya benar-benar ingin mati suri”

Banyak yang mengatakan seharusnya aku bisa melupakanya. Bodohnya mereka hanya bisa bicara didepan ku saja. Mengapa tak mereka katakan itu sebelum angga meninggalkanku untuk selamanya.

“Tuhan, bagaimana bisa aku membiarkan semuanya terjadi begitu saja. Bagaimana dengan perjuanganku menahan pilu tau aku harus melepaskan orang yang ku cintai sejak dulu? Ku biarkan dia bahagia bersama orang yang semesta pilihkan untuknya. Aku sudah bisa menerima semuanya! Semua detail yang ku pikirkan keluarga nya kelak akan menjadi keluarga yang bahagia. Yang dengan beberapa orang anak, yang bisa mengajarinya bagaimana agama nya begitu penting untuk kelanjutan hidupnya. Bagaimana bisa kamu lepas perhatiaan itu padanya? Padahal didalam sujudku, dalam doa yang tak pernah sekalipun absen dari nama itu. Ku minta agar engkau menjaganya? Memberikan kebahagiaan yang tak terkira untuk hidupnya…”

kini tangisku semakin tak bisa ku kendalikan. Entah apa yang terjadi pada hidupku ini. Rasanya benar-benar mengerikan, bahkan untuk dibayangkan saja aku tak menginginkanya. Kali ini ku tanya pada kalian “Apa segampang itu yang kalian katakan untuk melupakan?”

Tiar, wanita yang akan menjadi satu-satu nya di hidup angga menghubungiku malam itu. Bicara tak lepas dari kata bahagia karna esok hari nya akan melaksanakan pernikahan mereka. Padahal sudah ku katakan berkali-kali padanya apa tak terlalu muda baginya untuk membina sebuah keluarga. Tiar hanya tertawa, bisa ku rasakan bagaimana wanita ini benar-benar mencintai pria yang ku cintai.

Aku sudah tak lagi mendengar kabar Angga setelah malam itu ku putuskan untuk menolak lamaran nya. mustahil bagiku untuk meninggalkan keluarga ku hanya untuk pria yang tak seiman denganku. Apa yang akan di pikirkan Ayah ibu ku tentang cinta ku ini, mungkin tak ada bedanya dengan pandangan semua orang terhadap kami berdua; cinta kami dianggap salah.

Dalam butiran sendu air mata ku doakan pasangan itu bahagia. Menjadi keluarga yang diridhoi oleh semesta dan agama mereka. Aku percaya bahwa Tuhan adalah maha segalanya. Sampai malam itu tiba…

Ponsel ku berdering tepat jam satu lewat lima belas menit dini hari. Satu panggilan tanpa nama yang membangunkanku dari mimpi penuh ketenangan.

“Hallo?”

“Langit!!”

“Siapa i.. Angga?” nama itu terucap begitu saja

“Lang! angga sama sekali gak mau menikah dengan wanita yang bahkan gak angga cintai sama sekali. angga mohon cegah angga lang, cuman alasan itu yang mampu bikin angga ninggalin masalah ini.”

Ingin sekali ku katakana semuanya pada angga “Angga, jangan menikah dengan Tiar. aku mencintai kamu dari saat pertama kali kita bertemu, dan aku mulai menyukaimu bahkan ketika aku belum mengenalmu. Aku tak bisa membiarkanmu menikah dengan wanita lain yang bukan aku.” Tapi entah mengapa bibir ku mengucapkan kalimat yang berbeda “Gak angga. Aku gak bisa.”

“Langit, angga bener-bener gak tau harus gimana.”

“Pergi ke gereja. Tundukan kepala dan menggenggam salib mu dengan erat. Cobalah berdoa pada Tuhanmu untuk meminta pertolongan.”

“Saat ini angga jauh dari keramaian”

“Jaga diri ngga.” Tak ku tanyakan keberadaanya, dengan mendengarnya saja ku tau bahwa angga sedang diam di pinggir pantai. Ombak nya yang besar sampai terdengar di telinga.

Beberapa saat kami terdiam bersama

“Lang…”

“Ya ngga?”

“Kamu percaya takdir?”

“Ya. Langit untuk angga bukan?”

“It’s true, sugar”

Suara gemuruh angin yang besar dan ombak itu seakan sedang berpesta, sampai-sampai suara angga tak terdengar. Telepon terputus begitu saja.

Lima hari setelah itu Tiar menghubungiku. Ku abaikan, sama sekali tak ingin ku dengar kabar yang mungkin menurutnya adalah kabar bahagia. Mungkin mereka sedang berada dalam acara bulan madu atau masa dimana satu pasangan pengantin baru sedang membuat daftar kehidupan baru dengan penuh canda gurau dan tawa yang akan membuahkan seorang anak nantinya. Aku belum siap mendengar semuanya…

Ku baringkan tubuhku dengan isi perasaan yang seperti sedang menunggu seseorang datang, yahh.. ku harap sebentar lagi angga mengetuk pintu rumah ku dan melamarku satu kali lagi, mungkin aku akan menerimanya kali ini.

Satu email masuk ke ponsel ku. Dan pengharpanku berbuah kenyataan, email itu dari angga. Angga mengirimkan ku satu buah gambar, tanpa melihatnya aku sudah tau bahwa itu bukan gambar yang bagus. Dengan perlahan ku baca kata demi kata kalimat yang mengantarkan gambar itu padaku, rasanya seperti dijambak oleh takdir. Tawa kecil membuat suasana kamar lebih menyeramkan selepas ditinggal angga ke pernikahan dengan tiar.

Kepada sahabatku, Langit.
Maafkan aku karena belum bisa menjaga cintamu yang begitu besar.
Pengorbanan yang kau berikan sama sekali tak membuahkan kebahagiaan.
Tolong jangan biarkan aku menanggung ini sendirian.
Aku tak sekuat engkau. Aku butuh pelukan orang yang bisa mengerti bagaimana rasanya kehilangan orang yang begitu amat dicintai.

salam cinta dan kasih dariku, Tiar.

“Hallo tiar!!!”

“Langit…” suara nya merintih

“Apa yang kau lakukan dengan email angga?”

“Email nya selalu terbuka di laptopnya, selalu menunggu email baru masuk darimu.”

“Apa maksudmu dengan isi email itu?” aku berteriak

“Buka gambar itu langit!”

Mata ku berhenti berkedip saat itu, jari jemariku lumpuh seketika dan suara ku menghilang. Ada jeritan yang sedang ku tahan. Perasaanku sedang dicambuk oleh penyesalan. Apa aku harus bahagia karna ternyata angga benar-benar tak menikahi tiar.

 “Aku tak tahan lang!” suara nya merintih seperti orang kesakitan

Ku lihat gambar itu dengan seksama, meyakinkan diriku bahwa itu bukan angga, mana mungkin bisa seperti ini akhirnya. Bukankah akhir adalah bahagia, maka jika semua belum merasa bahagia itu bukanlah akhir bukan.
Rasanya ingin ku peluk gambar itu dengan dekapan mesra sebagaimana mana mestinya. Menyedihkan karna aku hanya bisa mendekap ponsel ku dengan erat, berharap gambar itu bukan soal angga.

“Apa maksudmu dengan mengirimku sebuah gambar kuburan?” suaraku lemah

“Pagi itu saat aku sedang merias wajahku, melihat gaun pengantinku. Ada wanita masuk dengan wajah sembab seperti sedang diancam untuk membuatku tetap sabar. Suara lonceng gereja tempat aku seharusnya bahagia berubah menjadi kabar kematian dari pria yang seharusnya menjadi pendampingku di pernikahaan hari itu. Angga menghilang, dia tenggelam di pantai. Awalnya aku percaya itu adalah akal-akalan angga agar tak menikahi ku. Selalu ku tunggu kabar darinya meskipun semua wajah sedang menangisi keberadaanya. Ku tunggu tanpa mengenal waktu hingga lupa dari hari apa ku tunggu dan pagi mana yang sedang ku nikmati. Sampai pagi tadi, ku lihat angga pulang dengan tubuh yang kembung ombak pantai dan wajah yang sedang menahan dinginya takdir.”

Tanpa kata-kata ku lempar ponsel itu ke sudut kamar, terbentur pada dinding hingga ponsel ku sudah tak berbentuk lagi, semuanya terbelah-belah dan terurai entah ke arah mana saja. Tak ku pedulikan
Entah apa yang terjadi pada diriku, karena dari saat itu aku tak pernah percaya bahwa isi peti didalam tanah itu bukanlah tubuh angga. Aku yakin tiar hanya mengarangnya agar aku bisa membiarkan dia bahagia dengan angga.
Aku selalu menunggunya, menunggu angga datang dan mengetuk pintu rumah ku untuk melamarku lagi. Selalu ku tunggu sampai hari ini


“Angga, biarkan takdir itu berjalan lagi. Langit untuk angga tak akan terpisahkan meskipun kabar kematian telah menyimpan banyak kesakitan. Kau harus percaya bahwa kenangan manis tenang kita tak pernah ku lupa.”

buat aku lupa bagaimana merasakan rasanya kebahagiaan

tak apa jika aku tersesat didalam kelam

asal bisa bersama pria yang ku cinta

Langit Untuk Angga.

Minggu, 06 Juli 2014

Langit Untuk Angga: God Is A Director

Ponsel ku berdering sesekali, rasa lelah sehabis pulang kuliah membuat tanganku malas bergerak meskipun hanya mengambil ponsel dari dalam tas. Terpejam beberapa saat, terdengar lagu Endah Resa – When You Love Someone dari radio kamar yang lupa ku matikan saat berangkat tadi siang. Jam berdetak sudah pada poros paling bawah, hampir maghrib dan badanku masih berbau kendaraan jalanan tadi. Lalu ku putuskan untuk mandi

Menutup pintu kamar untuk berpakaian, lagu yang terdengar kini berganti menjadi Sherina Munaf – Pergilah Kau. Ku ambil ponsel didalam tas yang terlihat kembung karna terisi lembar-lembar materi perkuliahan anak ekonomi. Ku sentuh sambil sesekali mengacak-acak rambutku yang basah sehabis ku bilas, tiba-tiba mataku terasa akan keluar seketika melihat email yang masuk dari seseorang yang sebenarnya tak ku harapkan.

Hatiku berdegup kencang, kini lagu sudah berganti menjadi Efek Ruma Kaca – Lagu Kesepian siapa yang tidak tau dengan lagu itu?

“Dimana terang yang kau janjikan, aku kesepian. Dimana tenang yang kau janjikan, aku kesepian. Ku tak melihat kau membawa tenang yang kau janjikan. Kau bawa debu bertebar diberanda berair mata”

Orang yang sudah berbulan-bulan hilang, kini datang membicarakan rindu yang bahkan sudah habis-habisan ku lupakan dengan pemaksaan pada hati ku meskipun semua isi perasaan ingin rindu ini bertahan. “Sungguh menjijikan” bisikan dalam hatiku mulai ikut bicara

 ***                                                                        

Hari ini tak ada jadwal kuliah, ujian tengah semester pun telah selesai. Meskipun ini terbilang masih pagi, aku berharap kedai coffee yang biasa ku datangi sudah terpangpang “Open” di balik pintu kaca yang terlalu tebal menurutku. Dan tak tau kenapa pagi ini rasanya terlalu lelah mengendarai kendaraan sendiri, “manja sekali-kali rasanya tak masalah bukan? Haha” berbicara dengan bayangan sendiri pada cermin, bibir ku kini sudah terpoles lipstick merah cerah seperti warna bunga mawar yang bermekar indah. Jilbab ku bermotif bunga yang bermacam-macam warna dan ku pasangkan dengan kaos panjang polos dan rompi pendek oblong juga celana jeans, tak lupa juga sepatu converse berwarna hitam. Entah apa yang terjadi, tapi sikap ku pagi ini seperti orang yang telah jatuh hati.

Baru sampai di perbatasan jalan, ku berhentikan sopir taxi itu..

“Pak, tunggu sebentar!”

Taxi itu mendadak berhenti, kepalaku terbentur kursi depan. “Aww” Ingin marah pun rasanya tak pantas, ku yakin sopir itu dengan cepat menginjak rem karena kaget mendengar teriakan ku.
“Ya ada apa mbak?”

“Tas laptop ku tertinggal. Hehehe”

“Hmm, memang ya yang lagi jatuh cinta mah suka lupa segala hal ya mbak.”

“Ihh apaan sih pak. Tunggu sebentar ya pak.”

Tidak lebih dari 10menit ku tinggal taxi itu menghilang. Tas, dompet, ponsel ku ada ditaxi itu pun ikut terbawa pergi. Dengan cepat ku hubungi ponsel ku dari telepon rumah.

“Hallo.. hallo pak.”

“Ya hallo?”

Suara pria muda atau mungkin dewasa terdengar dari ujung telepon sana. Suara yang sepertinya ku kenal, tapi tak ku pedulikan, yang terpenting ponsel ku dikembalikan.

“Hallo mas. Ini dengan siapa ya? Ponsel itu punya saya. Loh tunggu, bukanya ponsel itu ada didalam tas dan tas itu ada didalam taxi ya.”

“Iya mbak, taxi nya saya pakai, saya gak tau kalau taxi ini sudah ada orang. Maaf ya mbak, saya buru-buru soalnya.”

“Yaudah sekarang kembalikan kerumah saya lagi!” ku bentak dan ku tuutp langsung

***

Setelah menunggu beberapa menit taxi itu pun datang lagi, dengan jengkel nya ku hampiri dengan wajah kesal dan menahan amarah. Pintu taxi itu terbuka, raut wajah ku sudah siap untuk memperlihatkan… eh tunggu!

“Angga?”

“Langit?”

Aku terdiam, mematung sambil menatap wajah itu. Wajah yang selalu ku rindukan, satu-satu nya pria yang selalu berpehuni dalam mimpi ku setiap malam, bahkan setiap aku memejamkan mata. Rasanya seperti terdengar lagu Afgan – Jodoh Pasti Bertemu, jika aku memang tercipta untumu.. jodoh pasti bertemu. Tak lupa juga bertaburan bunga, hahaha

“Angga ko kamu ada disini?”

“Langit… a..ku…”

Tiba-tiba isi kepalaku memutar ingatan lalu, saat Angga secara tiba-tiba menghilang dari hidupku, begitu saja meninggalkanku.

“Kamu menaiki taxi milikku!” tanpa menghiraukannya aku masuk ke dalam taxi itu dan meninggalkanya begitu saja.
Di perjalanan bibirku terdiam, pandanganku tak lepas dari wajah itu… bahkan sopir taxi yang sedari tadi menanyakan kemana tujuan ku tak ku berikan jawaban.

Setelah ku sadar taxi ini melewati jalanan yang sama untuk kedua kali barulah ku gubris bapak sopir ini..

“Pak, kita mau kemana sih? Ko muter-muter?”

“Loh ko tanya saya? Mbak mau kemana?”

“Ohiya lupa. ko saya tanya bapak ya? Haha. Saya mau ke kedai coffee yang didaerah dago pak.”

“Iya mbak.”

Baru membuka pintu nya saja sudah membuat hati ku tenang. Kedai ini memang selalu ramai, tapi tak pernah bising, itu yang ku sukai. Menu disini pun gak aneh-aneh dan masih dalam kewajaran isi dompet seorang mahasiswa. Ku pilih tempat duduk seperti biasanya, pojok kiri dekat kaca dan menghadap ke luar untuk melihat jalanan. Ku pesan menu seperti biasa, brownis bakar cokelat dan ice coffee caramel late. Dan seperti biasanya juga, sambil menikmati menu ku habiskan waktu dengan browsing atau sekedar menulis.
“Tunggu dulu! Tas laptop ku mana? Ketinggalan di taxi!!” untungnya aku berteriak hanya didalam hati, dalam kenyataanya hanya ku perlihatkan di raut wajah saja. “Gimana dong? itu Laptop mana masih bagus pula. Masa udah hilang aja sih.” Rasanya lemas dan ingin menangis

Sudah satu jam lebih tak ku sentuh pesanan ku. Mungkin sekarang brownis nya sudah dingin dan ice coffee caramel late sudah membaur menjadi rasa aneh. Tak juga ingin pulang. Kedai coffee ini memang sudah menghipnotis ku untuk tetap tinggal dan menyuruh ku tetap santai, meskipun laptop ku hilang! Ku lihat jalanan diluar yang kini telah turun hujan.

 ***                                                                      

Pintu kedai coffee terbuka lebar, sampai angin diluar masuk dan menghembuskan pandanganku.

“Loh ngapain kamu disini?” terkejut melihat wajah ini sekali lagi muncul dihadapanku secara tiba-tiba

“Nih! Tadi aku menaiki taxi itu lagi. Sopir nya bilang tas laptop mu tertinggal. Dia bilang kamu turun di kedai ini, jadi dia meminta tolong aku untuk mengembalikanya padamu.”

“Ahh! terimakasih angga.” Rasanya melegakan

“Dasar ceroboh.”

“Aku kan lupa.”

“Dan sejak kapan sih seorang Langit itu gak pernah ceroboh dan gak lupa”

“Dan sejak kapan sih seorang Angga itu gak so tau.”

Pria ini kini sedang duduk dihadapanku, wajah nya bisa ku lihat terus menerus tanpa jeda waktu. “Apa bumi sedang berhenti berputar?” hatiku pun ikut bicara

“Masih juga kamu suka ngopi disini lang?”

Tiba-tiba ingatan lalu terputar lagi didalam kepala, kedai coffee ini adalah tempat favorite kami dulu, dan tempat ini juga adalah saksi bisu tentang pernyataan cinta aku dan Angga.
“Ya, memang kenapa?”

“Gak apa-apa ko. Kuliah dimana sekarang?”

Aku tau Angga sedang memulai percakapan, mencoba menghangatkan suasana seperti biasanya, tapi kali ini keadaan kami berbeda. Rasanya benar-benar sudah tak nyaman jika harus berada didekat Angga.
“Mau tau banget sih.”

“Masih juga kamu bete sama aku lang?”

Aku terdiam

“Ngambi jurusan apa?”

“Ekonomi.”

“Loh bukanya sastra?”

“Bukan.”

“Kenapa?”

“Ceritanya panjang”
“Kamu kenapa sih lang?”

“Tanya saja sama Tuhan kamu.”

Aku pergi, beranjak dari tempat duduk menuju kasir untuk membayar bill. Tanpa melihat wajah itu, aku meninggalkan kedai. Aku terus berjalan kedepan tanpa pernah melihat lagi ke belakang, tidak akan pernah, tidak lagi.

***

“Lang.. tunggu!”

Sudah berusaha keras untuk tak membalikan badan pun tetap saja suara itu memang selalu bisa membuatku menoleh lagi.
“Ada a…pa la..gi sihh?” belum sempat ku teruskan, tubuh nya sudah melekat pada tubuhku, kini parfum nya pun bisa ku cium jelas. tanganya melingkar erat pada pinggang ku, seakan sedang meremas segala rasa penyesalan.

“Angga mohon lang, jangan tinggalin soal kita lagi.”

“Tak pernah ada Kita diantara kita.” Ku lepaskan tubuhnya perlahan. “Sudah malam, aku pulang duluan ya. Kamu hati-hati dijalan.” Ku tinggalkan lagi wajah itu dan berharap tak ada lagi panggilan untuk menyuruhku berhenti berjalan, karena kali ini ku pastikan aku benar-benar tak akan kembali pada kenyataan pahit itu lagi.

Tiba-tiba tanganku terayunkan oleh angin malam. Untuk kedua kalinya kaki ku berhenti berjalan, ku lihat lagi wajah itu, disampingku tersenyum dan menggenggam tanganku. “Angga gak akan pernah lagi lepasin kamu lang. bahkan jika seandainya Tuhan mu tak pernah menyetujui kita, dan jika nantinya kita pergi ke tempat ibadah yang berbeda, memanggil namaNya dengan sebutan yang berbeda. Tapi ketika aku melihatmu bersujud dengan wajah basah oleh air wudhu dan ketika aku sedang melipat jari-jemari berpegang erat pada salibku, aku benar-benar mencintaimu.”

Ada hujan yang membasahi pipiku, rintikan kebahagiaan yang tak bisa ku jelaskan.

***

Pagi ini suara burung-burung terdengar lebih merdu. Lagu-lagu bahagia sudah bisa terdengar jelas ditelinga. Ponsel ku berdering…

“Hallo Assalamu’alaikum?”

“Hallo hai…”


“Hey! Aku sedang memberikan salam” nada bicaraku sedikit keras

“Hmm.. iya iyaaaa waalaikumsayang.”

“Apa sih ngga…” jawaban angga membuatku tertawa geli

“Hai sugar… sudah siap?”

“Su…gar? Iya..a aku u…dah siap ko.”
Rasanya benar-benar tak bisa ku jelaskan. Setelah sudah hampir lima bulan aku merindukan panggilan itu akhirnya ku dengar lagi, dan sudah ada lagi wajah nya yang muncul di layar ponsel ku. Setiap kali dia menelepon ku, setiap kali itu juga aku bisa melihat wajah nya karena ku simpan photo dalam contact person.

Suara mobil terdengar dari dalam rumah. Ku percepat langkahku seakan sedang diburu waktu. Ku lihat pria itu lagi pagi ini, dan dia tersenyum…

“Silahkan tuan putri”

“Aw.. terimakasih tuan.” Ku berikan senyum terbaikku pagi ini

Angga membukakan pintu mobil itu lagi untukku, memperlakukan aku layaknya putri lagi. Dan semuanya lagi. Selalu ada kata “Lagi” karena ini bukan untuk yang pertama kali. Angga memutar lagu Bruno Mars – Marry you didalam mobil. Rasanya ingin mengucap selamat pada hati karena telah merasakan cinta lagi, dan mengucapkan hati-hati karna pasti akan terluka lagi. Tapi apapun persoalan hati, aku ingin menikmati dulu rasa bahagia ini bersama pria yang kucintai.

“Tumben kamu bawa mobil?”

“Biar jilbab mu gak berantakan dijalan.”

“Ohgituh…”

Angga tersenyum kearahku, ku harap senyum itu akan selalu ku lihat setiap saat untukku.

“Kita mau kemana sih ngga?”

“Kampung gajah.”

“Apaaaa??! Kampung gajah? Are you serious? Whoa!!! Kampung gajah in wonderland!”

“Haha yes of course. Seneng amat deh sampe teriak-teriak gitu.”

“Hehehe ya maaf. Abis seneng banget sih…”

“Iya iyaaa. Hari ini kita seneng-seneng ya.” Suara angga terdengar lebih bersemangat

***

“Sayang, adzan tuh. Shalat sana.”

“Oh iya, udah dzuhur ternyata. Gak kerasa deh”

“Yaudah kita cari masjid dulu ya, terus makan.”

“Ngga, please… don’t ever change, stay with me.”

“Never sugar” angga menggenggam tanganku. Menuntunku untuk mencari tempat ibadah ku. Meskipun dalam perbedaan ini kami saling tersakiti, tapi dengan dia hadir disisiku itu membuatku lebih mudah percaya suatu hari nanti kami bisa bersama tanpa mempermasalahkan Tuhan yang berbeda.

Aku memejamkan mata, mengangkat kedua tangan dengan iringan air mata. “Ya Allah, lihatlah pria itu. Pria yang sedang sabar menunggu wanita nya berdoa dengan cara yang berbeda, beribadah ditempat yang berbeda. Pria itu masih bisa mengingatkanku menjalankan kewajiban lima waktu ku untukmu, bahkan pria itu menyuruhku untuk menjadi hambaMu yang paling dicintai olehMu. Bukankah dia adalah pria yang baik untukku?” hatiku bicara dalam kesedihan yang mendalam, dalam sepi hati ku itu berdoa.

“Udah shalat nya sayang?” angga menggenaggam tanganku lagi

“Udah ko”

“Cari makan yuk.”

“Ayooo! Laper nih”

Setelah memutuskan menu makanan, dan makanan tiba dimeja kami. Kami mulai beroda, ada perdebatan yang selalu terulang saat itu.

“Tuhan yang kami sebut dengan berbagai nama, yang kami sembah dengan berbagai cara” aku mulai berdoa

 “Terimakasih atas berkat yang kau berikan, jauhkanlah kami dari percobaan” Angga meneruskan doaku

“Aamiin
. kami mengucap Amin dengan nada seirama

***

“Angga…”

“Ya sugar?”

“Tau film cinta gak?”

“hmm.. Movies about love?”

“Yes, but love god a difference”

Angga berhenti berjalan, memandangku dengan tatapan dalam “What happened sugar?”

“We’re so fit for each other. Aku cinta kamu, dan kamu pun cinta aku.”

“So?”

“Aku islam, kamu Kristen”

“Maksud kamu apa sih lang?” saat ini nada bicara angga sedikit naik

“Gak apa-apa ko. Itu Cuma sedikit cuplikan dari film cinta yang tadi ku bicarakan.”

“Sayang, I love you without you can imagine. You’re my everything. Meskipun aku gak bisa berterima kasih secara langsung sama Tuhan kamu karena sudah menciptakan wanita seindah kamu. Setidaknya, aku sudah katakan berkali-kali sama Tuhan ku, tolong sampaikan Terimakasih ku pada Tuhan kamu.” Angga tersenyum

“Kenapa Allah ciptain kita beda-beda, kalau Allah cuma mau disembah dengan satu cara?”

“Makanya Allah nyiptain cinta, biar yang beda-beda bisa nyatu tapi tetep yang bener cumasatu”

“Loh ko jawaban kamu bisa sama persis dengan jawaban cina di film cinta?” aku terheran-heran

“Kan aku tau film nya sayang.” Angga tertawa. Mencium tanganku sambil berlari terlebih dulu menuju parkiran mobil

“Angga begooo!” aku berteriak, mengejarnya dengan wajah bahagia. Suara canda tawa yang tak bisa ku sembunyikan “Thanks god for everything” suara lembut itu terdengar lagi didalam hatiku

***

Pagi ini aku harus mengabaikan ponsel ku yang terus berdering tanda pesan masuk, di pagi ini juga aku harus menaiki taxi ke kampus karna ban mobil ku bocor dan belum ku perbaiki. Tugas akuntansi lupa belum ku serahkan kemarin. Terlalu bahagia bisa mengahbiskan waktu bersama dengan Angga membuatku lupa segala hal, termasuk tugas ini.

Setelah berlari kesana-kesini mencari dosen dan akhirnya tugas itu sudah ku berikan, barulah aku membuka ponsel ku. 5 pesan baru dan semua itu dari Angga, juga 3 panggilan tak terjawab dan semua itu dari Angga.

“Hallo assalamu’alaikum”

“Hallo lang! lang, kamu dimana? Kamu kemana aja sih ko ga bales sms ku, gak angkat telepon ku. Kamu dimana?” angga tak berhenti bicara

“Ya ampun ngga. Tenang dulu kaliii. Aku di kampus nih. Iya maaf tadi aku gak sempet mainin ponsel ku.”

“Ngapain di kampus?”

“Kumpulin tugas ku.”

“Sama siapa?”

“Sendirian. Kenapa sih?”

“Ya udah angga kesana sekarang. Kamu tunggu ya.”

“Ya. Emang ada apa sih?”

Telepon terputus….

*** 

“Kamu tuh kalau kemana-mana bilang aku dulu lah lang. aku kan bisa anter kamu.”

“Maaf ngga, aku tadi buru-buru banget”
Didalam mobil pun kami masih saja membahas masalah pagi tadi.

“Yaudah gak apa-apa. Lain kali kamu gak boleh kaya gitu lagi ya.”

“Hmm.. oke.”
Banyak pertanyaan didalam kepalaku mengapa angga sebegitu khawatirnya padaku

“Sekarang kita cari sarapan ya.”

“Iyaaa angga bawel.”
Satu cubitan manja mendarat di pipi ku. “Ahh angga, sakit tau!” angga hanya tersenyum

*** 

“Kamu pesen dulu aja ya, aku ke toilet dulu sebentar.”

“It’s oke”

Baru angga pergi beberapa saat, ponsel nya berdering “Loh angga ko malah gabawa ponsel nya sih” aku nyerecos sendiri

“Hallo? Angga kamu dimana sih? Aku khawatir banget sama kamu. Kamu gak kabarin aku. Jahat banget sih!”

“hay sorry, ponsel angga ketinggalan. Angga nya lagi keluar sebentar.”

“Loh? Ini siapa? Ko ponsel nya angga di kamu?” nada suara wanita itu semakin tingtgi dan membuat telingaku sakit

“Aku.. aku langit. Kamu siapa?”

“LANGIT?” wanita itu membentakku

“I..iya… ini siapa ya?”

“Langit… bisa minta tolong? Simpan nomor ku dan ku tunggu kamu menelepon ku. Dan tolong jangan katakan pada angga kita sempat bicara.” Nada suara nya kini semakin lemah dan terdengar samar lalu menghilang. Telepon terputus

“hey sugar, what’s wrong?” angga menatapku yang sedang melamun sendiri tak mengerti apa yang terjadi

“Nothing. I want to go home.”

“Why? No breakfast?”

“No! I want to go home angga!!!”

Angga tak lagi menatapku. Dia hanya terdiam sejenak lalu mengantarku pulang. Kami tak bicara banyak, saat sampai dirumah pun tanpa ucapan terimakasih aku membuka pintu mobil itu sendiri, menutupnya lalu meninggalkanya.

“Hallo?”

“Ya? Siapa ini?”

“Aku langit. Kamu yang menyuruhku untuk menghubungimu kan?”

“Langit.. kamu lagi dimana? Masih sama angga?”

“Udah enggak ko. Tenang aja, sekarang aku udah ada dirumah. Dan angga pun sudah pulang.”

“Bisa kita bertemu? Ada yang mau aku bicarakan denganmu.”

“Tentu. Kapan?”

“Besok malam.”

“Kenapa gak sekarang?”

“Aku baru membeli tiket pesawat menuju bandung tadi pagi. Nanti siang aku baru berangkat.”

“Loh ternyata kamu bukan orang sini?”

“Aku orang Bali.”

“Yasudah. Aku tunggu kabar darimu.”

“Oke. Thanks.”

“You are welcome.”

***

Angga menghubungiku beberapa kali, mengirimkan pesan sampai berbelas-belas. Aku sedang tak ingin menggubrisnya. Ada perasaan ku yang sedang terganggu oleh panggilan wanita itu di ponsel angga. Aku tak ingin menebak-nebak siapa wanita itu untuk angga. Hatiku belum bisa menerima luka baru.

“Hallo langit..”

“Ya?”

“Aku sedang dalam perjalanan menuju hotel. Kita akan bertemu dimana?”

“Nanti aku sms saja alamatnya, jam delapan malam.”

“Oke. See you”

“Yaps.”

Angga mengirim ku pesan yang membuatku semakin gila
“Langit, ada banyak jawaban dari semua yang ingin kau tanyakan. Ada banyak penjelasan dari segala sesuatu yang kamu ingin tahui. Cukup mengikuti kata hatimu, maka aku akan menjadi milikmu”

“Apa maksud perkataan angga? Ahh! aku tak ingin menebak-nebak.” Ku bantingkan ponsel ku. Rasanya ingin menangis, akankah luka hati ini muncul lagi untuk kedua kali

***

Aku tiba terlebih dulu di restoran ini. Alasan aku memilih restoran ini karna menurutku ini tempat yang bagus untuk mengobrol dengan orang baru, apalagi masalah yang serius. Walaupun ukuran toko nya 4x4 meter persegi dan tempat duduk yang ada hanya  berjumlah 6 kursi saja, tapi café ini tak terlalu ramai, itu yang lebih penting untukku. aku hanya memesan Hot Chocolate, sedikit berharap bahwa cokelat membuat ku lebih tenang. Pintu café ini terbuka, ada satu wanita masuk dengan cantiknya. Gaun hitam dengan renda-renda dan sepatu higheels yang cantik, satu jepitan pita besar menghiasi rambutnya, menggelungkan rambutnya hingga aku bisa melihat jelas kalung salib yang melingkar di leher nya.

“Langit kan?” wanita itu langsung menghampiriku, seakan telah tau bahwa aku sedang duduk menunggunya

“Yes.” Aku langsung berdiri dan menjabat tanganya

“Whoa! You are so beautiful. Dengan jilbab mu, you look very sweet.”

Aku tersenyum, menyalahkan perasaanku atas dugaan bahwa wanita ini akan menyakitiku, tapi tenyata tidak sama sekali. Sungguh pertemuan pertama yang bagus “Thank you.. kamu pun sangat cantik.”

“You are welcome. Ahh, kamu berlebihan. But, thanks. Hehehe”

“No no. I’m serious. Kamu mau pesan?”

“Of course. Apa menu makanan terbaik di café ini?”

“Mungkin Sachertote kali ya. Kue khas Austria yang bentuknya seperti cake-cake. Tapi disini dipadukan dengan Selai buah apricot yang dipadukan dengan coklat sponge cake, dan dipoles dengan dark coklat icing. Desserts yang pernah ku makan. Atau kamu lapar?”

“Wow, mendengarnya saja sudah membuatku gila ingin mencicipinya. Enggak ko, aku udah makan malam tadi di hotel.”

“Baiklah. Sebentar, aku panggil dulu pelayan nya.”

“Oh my god! aku lupa belum memperkenalkan diri. Haha I am Tiar.”

“Haha it’s oke. No problem Tiar.”

Sambil menunggu pesanan datang, sesekali Tiar menatapku.

“What’s wrong Tiar?”

 “Kamu ada hubungan apa sama angga?”

Pertanyaan awal yang membuatku menggigil, “Siapa kamu sampai aku harus menjawabnya?”

“Langit, banyak yang tak kamu mengerti. Bahkan mungkin sepertinya kamu gak tau sama sekali.”

“Maksudnya?”

“Apa kamu tau angga itu tinggal dimana?”

“Ya dirumahnya lah tiar. Di jln. Cemara. Rumah yang berwarna cream coklat dan pagar yang berwarna abu tua juga halaman besar dan taman yang di isi dengan kolam ikan bukan?”

“Ya, mungkin itu rumahnya. Tapi mungkin juga itu adalah rumah lamanya.”

“Maksud kamu apa?”

“Apa kamu gak tau kalau angga udah pindah ke bali?”

“A..pa? bali? Tapi… ka..pan?” tenggorokanku terasa tercekik

“Ya bali. Sekitar tiga bulan yang lalu.”

“Hah??!”

“Setelah mama nya meninggal.”

“Apaaa katamu???! Meninggal? Tante asri meninggal?”

“Setelah mama angga meninggal. Papa nya memutuskan untuk kembali ke kampung halamanya, Bali.”

“Tapi angga tak pernah cerita apa-apa soal ini.”

“Haha tentu saja angga tak cerita. Kalian baru bertemu lagi kan? Dan baru bersama lagi dalam beberapa hari. Mana mungkin angga menceritakan semuanya.”

“Apa maksudmu semuanya?”

“Ya semuanya lang! Sebenarnya ingin sekali aku menjambakmu, memukuli mu hingga memar-memar. Hingga kamu tau bagaimana rasanya melihat pria yang dicintai hampir gila karena wanita yang bahkan telah meninggalkanya.”

“Apa lagi maksudmu dengan pria yang dicinta? Hampir gila? Siapa?”

“Hah! Ternyata kamu benar-benar tak mengetahui segalanya. Apa yang terjadi denganmu disini disaat angga hampir gila karna kamu telah meninggalkanya? Bagaimana kabarmu disini disaat angga tak ingin makan ataupun tidur karna terlau keras memikirkanmu? Apa kamu memikirkanya seperti angga yang tak pernah berhenti memikirkanmu?” Tiar menangis

“Ta…pi angga baik-baik saja Tiar.”

“APAAA???! Bak-baik saja katamu? Mungkin dihadapanmu angga terlihat baik-baik saja, terlihat sama sekai tak punya beban dibenaknya. Dan bukankah seharusnya kamu bisa melihat bagaimana kondisi orang yang kau cintai.”

Aku terdiam… tak mengerti dan tak tau harus berbuat apa.

“Apa kamu mencintainya lang?”

“Tentu… aku sangat mencintainya. I can’t live without him, Tiar. Please, tell me what happened!”

“Setelah kamu meninggalkan Angga, dia patah hati. Tak bisa melupakanmu sama sekali. Bahkan ketika saat Mama nya sakit, angga tak terlalu memperhatikanya. Dan ketika mama nya meninggal, angga terkejut dan semakin mengurung diri dikamar. Papa nya tak tau harus berbuat apa, sampai akhirnya papa angga memutuskan untuk pindah ke Bali. Itu yang ku tau dari papa angga, lang.”

Aku menangis. Air mata sudah benar-benar tak bisa ku tahan lagi. “Aku tak pernah tau kalau angga sebegitu kehilangan.”

“Yang membuatku penasaran, mengapa kamu meninggalkanya jika memang katamu, kamu mencintainya?”

“Perbedaan.” Ku jawab dengan sendu-sendu tangis yang sedang ku tahan

“Tak ada cinta yang tak butuh pengorbanan. Semua cinta butuh perjuangan langit.”

“Kamu tidak tau rasanya ketika dicibir ketika sedang berjalan bersama. Padahal aku tak melakukan kesalahan, aku hanya berjalan-jalan dengan pria yang ku cinta.”

“Mungkin itu adalah salah satu cara Tuhan melihat perjuanganmu soal cinta ini kan lang?”

“Tuhan yang mana yang sedang kita bicarakan? Kamu juga tak tau bukan rasanya ketika hanya bisa melihat orang yang kau cinta sedang berbicara berdua bersama Tuhan nya dan kamu tak ada disana untuk menemaninya? Kamu juga tak tau bukan bagaimana rasanya ketika tak bisa beribadah bersama orang yang seharusnya menjadi imam mu kelak?”

“Lang….”

“Kamu juga pasti tak pernah tau bagaimana rasanya ketika orang yang kau cinta harus memanggil Tuhan dengan panggilan yang berbeda.. rasanya menyakitkan.”

“Aku memang tak pernah tau lang, tapi yang ku tau cinta sejati tak pernah membiarkan orang yang berada didalamnya bersenang-senang diawal.” Saat ini Tiar menatapku penuh haru

“Tuhan kita saja tak satu, bagaimana aku dan angga bisa bersatu. Katakan!!!” aku menangis tersedu-sedu

“Mungkin itu alasan Semesta membawaku pada kalian.”

“Maksudmu?”

“Lang, apa kamu tau siapa aku?”

“Bagaimana aku bisa tau jika kamu tak memberitau ku?”

“Aku adalah calon tunanganya angga.”

“Tunangan?” suara ku hilang. Hati ku berantakan, dan kaki ku bergemetar. Rasanya ingin sekali membanting meja makan ini. Tapi apa daya jika tubuhku lemas dan hanya menginginkan pulang.

Tiba-tiba aku beranjak berdiri dan kaki ku mengajak ku berlari kencang keluar dari restoran, menembus angin malam dan tak peduli bagaimana keadaan, ku biarkan wajah ku dilihat oleh orang-orang, aku tau peduli bagaimana pemikiran orang-orang yang melihatku penuh dengan air mata, mereka tidak tau bagaimana isi hatiku yang sekarang telah tercabik-cabik oleh kenyataan bahwa aku tak bisa bersama dengan pria yang ku cinta hanya karena perbedaan.

*** 

Sesampainya didepan rumah, aku disambut oleh pelukan hangat dari seseorang yang menjadi alasan ku untuk pergi meninggalkan café itu.

“Sayang, kamu kenapa? Apa yang terjadi?”

“Angga…” aku meneruskan tangis ku, semakin kencang, semakin deras, semakin tak terkendalikan

Angga memelukku erat “Kamu kenapa? Bilang sama angga lang”

Aku hanya bisa menangis. Sama sekali tak ingin bicara atau menceritakan segalanya pada angga. Angga benar-benar sudah kelewatan, tapi pelukan ini yang sekarang ku butuhkan.

“Langit!”

Aku dan angga sama-sama terdiam, melihat seorang wanita berlari ke arahku sambil berteriak memanggil namaku.

“Tiar… ngapain kamu disini?” angga berteriak terkejut

“Langit, tas kamu ketinggalan.” Tiar menyodorkan tas kecil ku

“Dari mana kalian? Apa yang kau bicarakan pada langit? Tiar, jelaskan padaku ada apa ini sebenarnya!” angga membentak tiar dihadapanku

“Sudahlah ngga, aku gak apa-apa ko. Eh makasih ya tiar udah jauh-jauh anterin tas nya padaku.”

“Sama-sama lang. lain kali jangan ceroboh ya”

“Iya.. tapi kamu tau dari mana rumah ku?”

“Aku buka dompetmu. Disana kan ada KTP dan ada alamat rumah nya juga. Hehe maaf ya udah lancang buka isi tas mu.”

“Gak apa-apa ko tiar.” Aku tersenyum ke arah tiar, mengusap perlahan air mata ku yang berjatuhan

“Lalu kamu pulang naik apa?” angga bertanya dengan nada khawatir

“Naik taxi. Tuh taxi nya masih ada belum aku bayar. Aku bayar dulu ya sebentar.” Aku pergi meninggalkan angga dan tiar. Aku sengaja meninggalkanya agar mereka bisa bicara tanpa ragu karena keberadaan ku diantara mereka

“Apa yang kamu lakukan disini?” Angga memulai pembicaraan

“Kamu fikir aku tak khawatir tau kamu tak memberiku kabar beberapa hari terakhir?”

“Aku kan sudah bilang berulang kali. Aku ingin menghabiskan waktu bersama langit. Aku rindu padanya.”

“Tapi tidak dengan mengabaikan aku begitu saja. Aku ini tunanganmu.”

“Tunangan katamu? Jangan sampai aku membahas soal ini lagi Tiar!”

Tiar terdiam. Ketika aku datang, angga dan tiar membungkam.

“Aku mau istirahat. Angga, kamu pulang aja. Dan sekalian tolong anter Tiar. Sekarang dia sudah menjadi temanku.”

“Tapi lang…”

Ku tinggalkan angga yang masih bicara. Apapun jawabanya tak ingin ku dengar. Aku lelah dengan semuanya. Lelah pada kenyataan yang ternyata semesta sudah membuat kesalahan membiarkan dua orang bertemu dan menjalin cinta sebegitu dalam sedangkan mereka tak pernah ditakdirkan.

***

Saat aku membuka mata, sudah ada satu pesan masuk dari angga
“Lang, don’t leave me again. Please, I love you so much”

Matahari pagi seakan memang tak ingin memberikan sedikit sinaranya padaku. Kamar ku kini benar-benar gelap gulita, bahkan cahaya lampu tak membuatnya sedikit terang. Atau mungkin ini hanya perasaan ku saja.

“Langit!” suara yang tak asing itu terdengar lagi

“Aduuh apa sih angga masih pagi udah teriak-teriak depan rumah orang. Kalau ayah ibu bangun gimana.”

“Langit! Angga mohon. Jangan pergi lagi” angga memelukku

“Siapa sih yang mau pergi? Orang baru bangun.”

“Angga serius.”

“Serius udah bubar!”

“Lang… kita menikah yuk”

“What? Married? Are you kidding? Hahaha”

“I’m serious. Will you marry me? Angga berlutut dan memberikanku cincin emas perak dengan satu permata yang indah berada diatasnya

“Gila kamu angga!”

“Nanti biar angga yang jelasin sama Tuhan kamu.”

“Dari awal, kita emang gak ditakdirkan ngga.” wajah ini memang tak pernah lelah untuk menangis ternyata

“Lang, angga bener-bener gak bisa kehilangan kamu lagi. Bahkan untuk sehari.”

“Angga stop! Look at me!! Cinta tidak harus memiliki bukan?”

“Pepatah yang mengerikan. Mana ada cinta yang tak harus memiliki sih lang?”

“I’m happy if you’re happy.”

“You are my happy, sugar. Please, stay with me.. forever.”

“Hahaha forever? Mungkin maksudmu adalah ever?”

“Lang, nikah sama angga!”

“Aku gak bisa ngga! Keputusan bodoh!”

“Angga gak bisa gak ada kamu. Angga cinta sama kamu lang!”

“Aku juga” pagi ini kami menangis bersama dalam pelukan yang sepertinya adalah perpisahan

“Kamu percaya jodoh?” aku memulai pembicaraan setelah kami bisa sudah mulai tenang

“Ya, seperti pelangi dan hujan? Mereka jodoh bukan”

“Pelangi dan hujan itu bukan jodoh ngga. Mungkin mereka memang terlihat serasi, tapi pada kenyataanya mereka tak pernah bisa bersama. Pelangi hadir ketika hujan telah reda. Kapan mereka bisa bersama?”

Angga terdiam lemas “Seperti kita.”

“Angga, bahagialah dengan pilihan takdirmu dari Tuhan kamu.”

“Tapi aku akan mengiklarkan janji sehidup semati dengan wanita yang bukan kamu nantinya.”

“If you love someone, you gotta let them go.” Suaraku memelas

“You said, you love me. But, cinta mana yang sedang kamu bicarakan lang? kamu lupa bagaimana perjuangan kita bertahan dalam keadaan yang menjepit dua agama hanya ingin menjadikan cinta kita tak dipandang sebelah mata? Kenapa sekarang kamu rela aku menikah dengan wanita yang bukan kamu.”

“Aku tau kamu sayang aku ngga. Aku tau sayang kamu lebih dari apapun untuk aku, maka dari itu aku bisa tahan dengan sakit yang harus melepaskanmu.”

Angga terdiam. Wajah nya basah dengan air mata

Alasan ku bisa tegar dengan melepaskan angga adalah pembicaraan itu. Malam itu, saat aku sedang menyalahkan takdir karena tak menjodohkan aku dan angga, saat aku membenci wanita yang Tuhan jodohkan dengan angga dan bukan aku. Tiba-tiba Tiar mengirimku pesan…
“Lang, aku berada didepan rumah mu.”

Aku langsung membuka pintu, melihat kearah luar pagar. Ku lihat Tiar yang sedang berdiri menunduk penuh derai air mata.

“Tiar, kamu kenapa? Bukankah aku menyuruh Angga untuk mengantarmu pulang?”

“Enggak lang, angga meninggalkanku setelah kamu masuk ke dalam rumah.”

“I’m so sorry Tiar. Maaf kalau aku jadi perusak hubungan kalian.”

“Harusnya aku yang minta maaf. Tadi aku sudah sampai hotel, bahkan aku sudah terbaring di atas kasur. Tapi setelah ku fikir-fikir aku tak ingin menjahati cinta kalian, menjadi orang ketiga yang tak tau batasan untuk merebut pria yang kau cintai.”

“Apa maksudmu?”

“Angga memang benar-benar mencintaimu.”

“Jika angga memang mencintaiku, dia tak mungkin akan menikahi mu.”

“Lang, aku dan angga menikah karena perjodohan. Bukan karena dijodohkan oleh semesta untuk dipertemukan tanpa perencanaan.”

“Perjodohan?” aku memelas tak percaya

“Aku bisa bertemu dengan angga pun semata-mata karena papa kami punya bisnis yang sama. Papa angga tau umur manusia tak ada yang bisa menduga-duga. Angga adalah anak satu-satunya, papa angga ingin angga cepat menikah dan memiliki keluarga yang harmonis, keluarga yang utuh, dan keluarga yang seiman. Maka papa angga menjodohkan aku dengan angga.”

“Ya, Om bayu selalu mengingkan wanita yang seiman untuk menjadi pendamping angga”

“Saat pertama kali aku melihat angga, dia seperti pria yang tak punya tujuan hidup. Sampai aku diberitahukan soal persoalan kalian oleh papa nya angga. Aku mencoba mengerti dan mulai mendekati angga dengan mengajaknya bicara soal kamu”

“Soal aku?”

“Ya. Angga selalu membicarakanmu. Aku sampai harus pura-pura mengenal kamu dan memuji kamu dihadapanya. Ku katakan bahwa kamu pun merindukanya, kamu mencintainya. Hatiku sakit karena saat itu aku sudah berada dalam keadaan mencintainya. Angga adalah cinta pertama ku lang.”

“Tiar, aku tak bisa tanpanya. Sudah ku coba untuk melupakanya. Alasan sebenarnya aku meninggalkanya adalah saat itu. Saat sore sabtu aku disuruh angga untuk menemuinya di salah satu restoran ternama di Kota ini. Awalnya aku sedikit tak percaya mengapa angga menyuruhku datang ke tempat sebegitu megahnya. Dan kamu tau saat aku datang kesana dan menghampiri nomor meja itu? Ternyata yang mengirimkan ku pesan atas nama angga adalah om bayu. Dia menyuruhku untuk melepaskan angga. Om bayu tau tante asri sakit-sakitan dan om bayu ingin angga cepat menikah, dan seperti yang tadi kamu katakan, om bayu ingin wanita yang seiman denganya.” Aku menangis lagi

“Lang, aku tak tau kalau itu alasan kamu meninggalkan angga. Itu adalah alasan yang bijak”

“Angga mengira aku sudah tak lagi mencintainya. Angga marah dan meninggalkanku begitu saja. Mungkin itu adalah saat angga pergi ke bali seperti yang kamu katakan. Ku fikir, angga sudah bisa bahagia.”

“Angga itu tak pernah berhenti memikirkanmu. Bahkan mungkin ketika saat kami menikah nanti, cinta angga tetap untukmu.”

“Jika angga benar-benar mencintaiku, mengapa dia mau begitu saja menikah denganmu?”

“Langit, asal kamu tau. Angga menyetujui rencana om bayu untuk menjodohkan kami hanya agar dia bisa menghampirimu kesini. Fasilitas angga benar-benar dibawah kuasa papa nya.”

“Jadi alasan angga kesini untuk mengucapkan selamat tinggal?”

“Angga kesini untuk mengajakmu pergi bersamanya kemana saja dan meninggalkan semuanya. Itu tujuan angga datang ke Bandung. Aku sudah memperingatkanya bahwa itu adalah pilihan yang bodoh tapi angga tak pernah mendengarkanku, maka dari itu aku bicara padamu. Aku harap kamu membantuku dengan melepaskanya.”

“Tolong bahagiakan angga, Tiar.”

Malam itu tiar hanya menatapku. Dia memelukku dengan haru, ucapan terimakasih yang selalu dia katakan sedikit membuatku tenang. Mungkin benar, Tiar adalah alasan Semesta membawanya ke hubungan aku dan angga. Aku yakin cinta ku dan angga akan baik-baik saja nantinya. Aku percaya Tuhan tak pernah salah mengambil keputusan

***

 “Angga percaya Tuhan kamu pasti sudah mempersiapkan jodoh yang terbaik untuk kamu, tapi apa boleh kita masih saling sayang?” angga menepis lamunanku yang mengingat kejadian malam tadi

“Aku percaya Tiar adalah wanita yang baik yang sudah dipilih Tuhanmu untukmu.”

“Kamu percaya takdir lang?”

“Seperti apa?”


“Seperti… Langit untuk angga”