Selasa, 04 Agustus 2015

I'm Done; Simple sacrifice is time.



“aku mau kita putus.”

“apa katamu?” ku lihat dia meremas bunga yang disembunyikan dibelakang tubuhnya

“ya. Aku mau kita akhiri semuanya. Aku selesai.”

“kamu bercanda? Maksudmu apa?"

“tidak. Maksudku ya seperti itu.”

“alasan mu?”

“kita sudah tak cocok.”

“hahaha, setelah hampir 4 tahun kita bersama, dan dalam jangka waktu sebulan lagi kita akan mengadakan pernikahan. Kamu baru mengatakan sekarang bahwa kita tak cocok?”

Ku lihat amarah yang sedang memuncak di wajahnya; memerah.

“ya.” Jawabku singkat

“aku sama sekali tak mengerti maksudmu. Ada apa denganmu?”

“tak ada apa-apa. Bahkan aku baik-baik saja.”

Untuk beberapa saat kita sama-sama saling diam. Sampai dia mengatakan hal menyedihkan yang terarah padaku.

“apa selagi aku pergi, kamu bersama laki-laki lain?” sorot matanya sangat kejam menurutku

“apa serendah itu pemikiran mu tentang aku?”

“lalu? Jika bukan karena laki-laki lain, mengapa kamu memutuskan ini?”

“menururtmu?”

“apa laki-laki itu menyuruhmu untuk meninggalkan ku?”

“masih juga kamu menyudutkan ini pada seorang laki-laki lain yang bahkan tak ada dihubungan ini?”

“aku lelah. Aku baru saja sampai di kota ini dan langsung menemui mu. Bahkan aku baru sampai di pintu rumah mu, dengan seikat bunga yang mungkin sekarang sudah layu.”

“aku pun, sangat lelah.”

“kamu lelah dengan ku, bukan?”

“ya.”

“kamu sudah tak butuh aku lagi, bukan?”

“tidak, bahkan sebaliknya.” Ku pandang wajah pria yang sebenarnya ku tunggu sejak lama untuk datang menemuiku itu

“aku sudah disini. Aku ada untukmu. Harusnya kau tahu itu.” Tanganya menggenggam tanganku dengan mesra

“aku tau kamu disini. Tapi baru kali ini. Aku membutuhkan mu selama ini. Harusnya kamu tahu itu.” Ku lepaskan genggamnya perlahan

“aku bekerja di luar kota, mencari biaya untuk pernikahan kita, mengabdi pada rutinitas untuk menghidupi mu nanti. apa itu masalah mu?”

“andaikan kamu tau, bahwa waktu adalah pengorbanan yang tak bisa diperhitungkan. Jika kamu membahas soal pekerjaan, berarti kamu sedang memperhitungkan segala hal.”

“dewasalah, jangan terlalu menuntut untuk terus bertukar kabar. Kita bukan anak kecil lagi, sayang. Banyak hal yang harus ku kerjakan.”

“bahkan dari dewasalah aku tahu bahwa hanya orang yang bisa menghargai sebuah kabar yang sepertinya serius menjalani hubungan.”

“okay. Aku minta maaf.”

“aku tak butuh permintaan maaf.”

“lalu?”

“aku ingin diperjuangkan.”

“hahaha, berhentilah bercanda. Kita menjalani hubungan sudah bertahun-tahun lamanya. Dan akan menaiki level berikutnya, ya kan? Sebuah pernikahan.”

“aku tak bercanda. Jika kamu menganggap demikian, itu berarti kamu yang merasa bahwa hubungan ini hanya candaan.”

“aku tak memberimu kabar karena aku sibuk dengan pekerjaan. Setelah selesai, aku kelelahan dan terlelap.”

“jika aku penting untuk mu, kamu bisa mempertimbangkan soal itu.”

“apa kamu pikir, aku tak memberimu kabar karena aku tak menganggap mu ada?”

“aku tak berpikir seperti itu. Aku tau pria ku tak akan sebrengsek itu.”

“lalu? Apa kamu pikir, aku tak memberimu kabar karena wanita ku bukan hanya kamu?”

“aku tak berpikir seperti itu. Aku tau pria ku tak semurahan itu untuk memiliki banyak simpanan.”

“lalu? Apa kamu pikir, aku tak serius padamu?”

“ya.”

“aku mencintaimu. Harusnya kamu bisa menerima kekurang ku itu.”

“aku pun mencintaimu. Maka dari itu aku bisa bertahan selama ini untuk mu.”

“lalu sekarang? Kamu sudah tak mencintai ku. Begitu?”

“aku masih mencintaimu, dan akan selalu begitu.”

“cinta seperti apa yang akan segitu mudahnya menyerah?”

“aku hanya bisa mencintaimu, itu saja. Tapi untuk hidup bersama orang yang tak bisa menghargai waktu seakan tak pernah sekalipun menghargai akan posisi ku, sepertinya aku tak mampu.”

“aku akan berubah. Aku janji.”

“aku sudah terlalu lelah menunggu mu berubah.”

“lelah? Bahkan pernikahan pun belum kita selesaikan. Ayolah sayang, jangan menyerah.”

“aku tak pernah menyerah, sungguh. Menurutmu siapa yang mempersiapkan pernikahan ini? Aku, sendirian. Meskipun banyak keluarga, serta teman yang siap membantu. Tapi ini adalah pernikahan ku, pernikahan kita lebih tepatnya. Aku membutuhkan mu juga.”

“kamu bisa langsung menghubungi ku, kan?”

“lihat ponsel mu. Sudah berapa puluh panggilan yang tak saja kau jawab? Sudah berapa puluh pesan yang sepertinya juga tak kau baca. Apa aku sama sekali tak punya hak atas waktu mu?”

“aku hanya…”

“aku sama sekali tak ingin menganggu waktu kerja mu, aku hanya butuh beberapa menit untuk ku tanya tentang dekorasi, dan bangunan, atau semua yang berkaitan dengan pernikahan.”

“aku juga kan menghubungi mu, aku memberimu kabar.”

“ya, kabar bahwa kamu akan datang hari ini. Itu saja. Pesan-pesan dan panggilan sebelumnya sama sekali tak kau anggap dengan benar.”

Dengan cepat pria itu memelukku dengan erat. Dan aku tak bisa menolak.

“kau tau? Waktu adalah hal yang tak bisa dikembalikan. Maka jika kamu bertemu dengan seseorang yang mau membagi waktunya denganmu, meskipun dia sibuk dan hanya memiliki batasan waktu untuk sebuah pertemuan meskipun tak sampai seharian. Ajak dia ke sebuah penikahan.” Ku lepaskan pelukanya perlahan

“Tapi…aku… mencintaimu” katanya dengan suara terputus-putus

Ku tutup pintu rumah ku tanpa pedulikan tubuh itu masih saja berdiri tegap.

“jika kamu tak ingin kehilangan waktu mu, maka kamu akan kehilangan aku.” Kataku dari balik pintu.