Minggu, 26 Juni 2016

Sabtu Bersama Bapak


Hari ini adalah pernikahan ku bersama pria yang telah ku cintai sejak semasa putih abu dulu. Aku sudah tak lagi menghitung berapa puluh ribu juta hari aku telah menghabiskan waktu bersama nya, yang seluruh waktunya itu hanya untukku seorang saja.

*

Pria ini telah berhasil membuat ku bertahan dari masa-masa suram ujian nasional, dari jengahnya test untuk masuk kampus yang ku idam-idamkan, dari bosan nya duduk di bangku kuliah, dari pusingnya skripsi, dan dari masa-masa kebimbangan untuk menerima lamaranya yang bahkan itu semua telah meyakinkan ku untuk menjadi pendamping hidupnya untuk selamanya.

Dan dari itu semua tentu aku tak sembarang memilih seorang pria masuk pada hidup ku, pada celah-celah kegiatan sehari-hari ku, dan dari restu keluarga juga kedua orang tua ku, yang terutama adalah Bapak.

Bapak adalah satu-satunya pria yang harus ku dapati restunya. Senyum yang tak pernah pudar dari wajahnya, perkataan sopan dan manis nya, perlakuan lembut nya, baik hati nya, dan tentu rasa sayang nya terhadapku lah yang membuatku tak pernah bisa mencari yang sepertinya. Sampai pada malam menjelang pernikahan ku Bapak memintaku untuk menemuinya dikamar nya. Rasa gelisah yang menghantui perasaan ku tercampur aduk oleh rasa takut tak bisa meninggalkanya dirumah bersama ibu berdua nantinya.

“Dinda…” ku dengar suara pelan Bapak memanggil ku

“Ya pak?” ku hampiri dia dengan duduk di sebelah tubuh lemahnya

“Ada yang ingin Bapak sampaikan padamu. Dan ini sangat penting.”

Ku dengarkan Bapak dengan seksama. Setelah Bapak mengatakan bahwa ini sangat penting, maka aku tak ingin ada perkataanya yang ku lewatkan.

“Bapak ini bukanlah Bapak mu, nak.”

Seketiba seluruh ruangan di sudut-sudut kepala ku kosong. Lalu ada satu ruangan dimana semua kenangan ku bersama Bapak berputar-putar sangat cepat.

Aku masih diam. Sama sekali tak berani mengatakan satu patah kata pun, bahkan menatap wajah Bapak saja aku tak sanggup.

“Waktu itu Ibu mu menikah bersama seorang pria yang belum bekerja dan ditentang keras oleh kedua orang tua nya. Tapi kau sudah ada didalam perut nya. Dan saat kau lahir, Bapak menikahi Ibu mu.”

Aku masih diam, namun ada tetes demi tetes yang membasahi telapak tangan ku. Bapak mengenggam tangan ku dengan erat dan perlahan memandang ku.
  
“Meski begitu, Bapak sangat menyangimu nak, sangat.” Peluk Bapak yang erat terhadap tubuh ku

*

Langit sudah mulai membiru, hari pernikahan ku di sabtu ini tiba dengan tepat waktu. Ku lihat Ibu sedang sibuk mempersiapkan segalanya untuk ku, dan dalam sekejap Ibu berhenti dan menatap ku. Ku hampiri dia, dengan mata yang sembab tak tidur semalaman, aku memeluknya dengan erat “Bu, aku mencintai Ibu dan aku mencintai Bapak, Bapak yang selama ini ku panggil Bapak.”, Ibu melepas pelukanku dan memandangku, aku tak bisa menahan segala amarah, sedih, kecewa, dan rasa yang membuatku bingung di hari pernikahan ku.

“Maafkan Ibu. Hanya saja, Ibu tidak memiliki keberanian untuk mengatakan nya langsung itu padamu.” Ibu menangis lebih kencang dariku

“Tidak apa-apa bu. Tidak apa-apa.” Ku usap-usap punggung nya

“Tapi mengapa aku harus tau itu semua tepat di hari pernikahanku.” Tangis ku meledak saat itu

“Ini adalah keputusan Bapak mu, nak. Dia merasa kamu berhak tau siapa sebenarnya Bapak mu.”

*

“Bu, Bapak mana?” tak ku lihat wajah Bapak setelah sampai di gereja

“Didalam mobil”

“Kenapa Bapak tak ikut turun?”

Ibu hanya diam sambil menundukan kepalanya, setibanya aku tahu bahwa Bapak masih saja memikirkan hal itu.

“Bapak…” ku hampiri Bapak yang sedang tertunduk lelah

“Bapak, sebentar lagi aku harus memasuki altar dan kenapa Bapak masih disini?”

“Bapak tak pantas berada disana, Bapak bukanlah siapa-siapa untukmu.” Untuk pertama kalinya kulihat Bapak menangis sambil memeluk ku

“Pak, dinda sudah memikirkan semuanya. Mungkin dinda bukanlah anak Bapak, dan Bapak bukanlah Bapak dinda. Tapi mau bagaimana pun Bapak adalah Bapak dinda. Meskipun saat ini ada Bapak dinda yang sebenarnya berada diruangan sana, dinda tetap membutuhkan bapak untuk mengantarkan dinda kedalam sana. Dinda hanya ingin Bapak, tak ingin yang lain. Bapak mengerti?” ku peluk dengan erat tubuhnya

*

Saat kami berjalan bersama memasuki altar dan saat Bapak menyerahkan ku pada pria yang ku cintai itu, Bapak tanpa ragu mencium seluruh sudut wajahku dan memelukku. Dan saat itu adalah Sabtu terbaik bersama Bapak yang tak kan pernah bisa ku lupakan.

Dan Bapak itu adalah Bapak ku, mau sampai kapanpun.