Minggu, 17 Agustus 2014

Masalah Dalam Diri Yang Berkaitan Dengan Hati

Banyak yang berbisik dibelakangku, disamping telinga kanan dan kiriku. Pembicaraan mengapa aku masih saja sendirian? Katanya itu disebabkan karna aku terlalu memilih calon pasangan, tapi bukankah setiap orang pasti mengharapkan orang yang benar? Disekelilingku, orang yang sering berganti pasangan sangat dipuji kecepatan proses untuk melupakan kenangan karena dengan waktu singkat mereka sudah mempunyai pasangan, tapi bukankah yang seperti itu adalah contoh betapa mereka tak pernah serius menjalani yang sudah-sudah bukan? Entahlah.

Tapi bagiku, itu bukan pilihan yang bagus jika hanya menginginkan pasangan yang ada untuk mengisi kekosongan. Mungkin pikirku, aku sudah terlalu menganggap bahwa hubungan ini terlalu serius untuk ku mulai dengan ketercukupan. Aku masih gadis berumur belasan, mungkin hampir mendekati puluhan. Tapi sungguh, ketika aku sedang menulis ini, aku merasa masih saja tak bisa menghindari keinginan untuk saling memiliki dengan orang yang nantinya akan menjadi panutan, aku merasa tak cukup jika hanya dengan status pacar, aku ingin seseorang.

Aku sering bertanya pada diriku sendiri, “sebenarnya aku mencari yang seperti apa?” atau ku ganti pertanyaan menjadi “apa yang salah denganku?”

Mati rasa? Bolehkah aku tertawa? Bagaimana bisa? Jika alasan nya disebabkan oleh rasa sakit ketika merasakan perpisahan diakhir cerita, bukankah disetiap perpisahan selalu ada kesakitan? Lalu karna apa? Atau mungkin aku sudah lelah, lelah mencoba, lelah berusaha untuk mencocokan segala rasa, memiliki pengharapan tinggi pada yang disebut adalah ‘kita’ lalu kemudian menahan rasa kecewa karna sudah terbiasa disalahkan atau disalah artikan, kemudian mengambil jalan berbeda arah dan berpisah.

Harus berapa kali semua drama itu terulang? Hanya dalam jarak waktu beberapa bulan, aku sudah bosan. Maaf, itu hanya keluhan dari seseorang yang selalu tertampar oleh penyesalan.

Ketika sedang merasa baik-baik saja, pasti akan ada seseorang yang datang entah siapa, mengumbar-umbar perhatian seolah ingin membuktikan bahwa dia adalah orang yang akan membahagiakan, dan disaat hati sedang memilih keputusan, orang itu menyerah perlahan,lalu kemudian hilang. Dan ketika aku merasakan kehilangan, ada kemarahan yang sedang menjambak bicara seolah mengapa aku masih saja tak memberi kepastian, lalu hatiku berteriak tak tertahan “mengapa kau sangat cepat mengungkapkan dan menuntut kepastian hubungan? Padahal aku sedang berjalan menuju kenyamanan”

Dan aku hanya diam. tak ada alasan, aku menunggu lagi seseorang datang dan membuatku merasa nyaman tanpa harus terburu-buru menuntut status hubungan, padahal waktu baru berjalan sebentar.

Karena waktu tak akan pernah memalsukan rasa paling dalam, percayalah.

Rabu, 06 Agustus 2014

Kamu Tak Pernah Tahu (Part 2)

Jika kalian mempunyai masalah dengan ingatan seperti ku, sebelum meneruskan membaca bagian 2 ini, kalian bisa mengulang membaca bagian 1 disini:
Aku Tak Pernah Tahu (Part1)

Sudah beberapa bulan aku berada di jurusan sastra, dan selama itupun aku masih saja tak bisa mengerti soal perbedaan kosa kata atau penghapalan kata baku yang benar. Bahkan apa yang ku tulis selalu mendapatkan nilai yang tak bisa dibanggakan. Aku pernah ingin menyerah, dan memutuskan untuk pulang ke kota Jakarta dengan hanya membawa senyum malu pada kedua orang tua ku, tapi keputusan ku terbuyar oleh bahan tugas yang sudah ku temukan  di internet.

Besok nya aku akan mempresentasikanya didepan 4orang dosen mata kuliah yang sudah memberikanku nilai yang tak seharusnya mereka berikan. Aku berlari mencari ruang kelas yang akan menjadi tempat presentasi ku, dan tak sengaja aku menabrak seorang wanita yang langkahnya cepat dan tak memperhatikan ke depan kemana dia berjalan.
Wajah nya terhempas pintu yang tak sengaja ku buka dengan tergesa-gesa, dia sedikit berteriak dan  memperlihatkan raut wajah yang membuatku tertawa, alis nya yang mengkerut cenderung membuat dia terlihat seperti anak kecil yang akan menangis karna kehabisan permen karet, bibir merah nya sedikit menguap karena menahan sakit, jilbab nya berantakan dan aku yakin dia adalah wanita yang galak.

Disaat aku tak bisa menahan tawa ku, tiba-tiba dia memandang tajam kearah mataku, dan menghempaskan buku-buku yang sedang ku bawa ditanganku, kertas-kertas bahan presentasiku berjatuhan dan berserakan dilantai. Aku mengambilnya satu persatu dan membereskanya sambil menahan kesal. Tak ku gubris lagi karna ku ingat bahwa aku sudah terlambat. Ku tinggalkan wanita itu dan berlari kearah ruang presentasiku.

Aku merasa puas dengan hasil presentasiku, ku lihat wajah dosen-dosen yang juga merasa puas dengan apa yang ku tampilkan pagi itu. Dan saat aku keluar ruangan, aku mendapatkan tamparan dari seorang wanita yang sepertinya ku kenal barusan. Dia bertanya aku membacakan puisi milik siapa, setelah ku katakan bahwa itu milikku, dia mengatakan bahwa aku pecundang.

Beberapa detik kami saling bertatap muka kesal, rasanya benar-benar tak masuk akal aku bisa ditampar oleh orang yang bahkan tak ku kenal.

***

Ku buka laptop ku dikantin, ada meja yang selalu menjadi tempat yang tepat untuk menikmati jus mangga dan satu mangkok bakso.  Ku buka lagi file-file bahan presentasiku kemarin pagi, hanya ingin mengulang rasa puas. Ku buka tab baru dalam halaman internet ku, ku baca-baca lagi blog favorite ku itu untuk menghabisi rasa rindu pada perasaan yang ingin diberikan pengetahuan soal kosa kata yang bermakna cinta.

“Tunggu dulu!” tiba-tiba aku berkata seperti itu. Aku memang belum pernah membuka profil pemilik blog ini, dan beberapa detik lalu saat aku hanya asal meng-klik, aku merasa mengenali wajah itu. Ku lirik meja sebelah terisi oleh beberapa teman yang sepertinya lebih mengenal kampus ini dari pada aku, aku yakin orang yang mempunyai blog ini adalah mahasiswi kampus ini.

“hey bro” ku dorong pundak salah satu anak yang sedang bergerombol dimeja itu, namanya Yuda, dia teman satu kost denganku.

“woy rangga. Ada apa bro?”

“lo kan mahasiswa gaul di kampus, pasti sering keliling kampus kan lo?”

“hahaha emang kenapa nih?” rangga tertawa mendengar ucapanku

“lo tau ga ini anak fakultas mana. Ko gue berasa pernah liat ya?” ku sodorkan laptopku pada rangga

“blog? Blog punya siapa bro?”

“nah itu dia gue nanya. Lo kenal ga nih sama photo nya? gue penasaran.”

“loh ini kan blog punya anak ekonomi itu. kenapa? Lo demen sama dia? Pacarin sana” yuda tertawa setelah melihat-lihat laptop yang ku sodorkan, bahkan dia mengusap-ngusap layarnya dan tepat dibagian photo nya. ya mungkin yuda sedang menerawangnya.

“anak ekeonomi? Siapa sih emang?” rasa penasaranku semakin meledak

“yaudah besok gue ajak lo ketemu dia ya. Mau ngapain sih emang lo?”

“penasaran aja gue mah yud” ku tampar dia dengan keras

“ahh kirain gue mah mau minta tanda tangan lo” yuda tertawa sambil memusatkan lagi pandanganya kepada teman-temanya

***

Hari ini aku sedang berada diluar gedung ekonomi. Yuda menepati janjinya untuk membantuku mencarikan orang pemilik blog itu. Ku lihat satu kelas yang telah selesai, mereka semua keluar seperti gerombolan mahasiswa yang akan tawuran, jumlah mereka cukup banyak jika dibandingkan dengan jumlah mahasiswa yang berada dikelas ku.

“tuh itu dia orangnya bro!” yuda berteriak dan menunjuk pada satu wanita yang berada diantara gerombolan orang-orang itu.

“what? Are you kidding me?” aku terkejut

“no! why?”

“no no, thanks yud.”

“oke bro” yuda menepuk-nepuk pundakku dan pergi meninggalkanku sendiri dengan perasaan malu karena semuanya ternyata memang memperlihatkanku seperti pecundang bodoh

Aku berdiri didepan ruang kelasnya, ku tunggu sampai dia melihat kearah ku, dan ternyata semua memang seperti yang ku bayangkan. Setelah melihaku dia bertanya mengapa aku berada didepan kelasnya dengan ketus. Ku perkenalkan namaku dan ku ajak dia ngopi untuk memulai pembicaraan, dan dia menolak keras.

“please, ada sesuatu yang mau gue bilang.”

“what? You say sorry? Yes! It’s ok, no problem, rangga.”

“tapi…”

“nama gue langit. Bye!”

Belum sempat ku ucapkan maaf, dia sudah pergi dari pandanganku dengan cepat. Tapi saat itu aku tau bahwa orang yang sering menulis puisi yang indah itu bernama Langit, dan dia juga adalah wanita yang sudah menamparku dan berteriak bahwa aku adalah pecundang bodoh. Ku tarik nafas panjang lalu membuangnya bersama angin.

Aku benar-benar menginginkan maaf darinya, jadi ku putuskan untuk melakukan cara apapun untuk meminta maaf padanya sampai dia mau menjadi temanku, atau mungkin menjadi wanita yang istimewa bagiku. Aku merasa ada rasa yang berbeda ketika melihatnya, bahkan ketika kami sama-sama belum bertemu aku sudah jatuh cinta padanya, ya, maksudku dengan puisi-puisi nya, dengan pengetahuan sastra nya, dan tentu saat ini semakin lengkap karna aku sudah bertemu dengan sosok nya. rasa amarah ku lenyap oleh rasa bahagia karena sudah menemukan orang yang bahkan tak pernah ku cari, entahlah ada perasaan yang tak bisa ku jelaskan disini.

Hari ini aku putuskan untuk datang lagi ke gedung ekonomi dan akan ku bacakan puisi yang paling ku suka di blog nya.
Dan saat ku lihat wajah indah itu, aku memanggil namanya. Dia terlihat masih kesal padaku, aku tau dan aku paham karena aku adalah orang yang telah mengambil hasil karya nya untuk bahan tugas kuliah ku, dan aku sadar aku telah salah padanya. Tanpa ku pikirkan rasa malu terlebih dulu, aku membaca puisi nya dengan lantang, tak ku pedulikan bagaimana banyak pasang mata yang melihat kearah kami berdua, yang hanya ku lihat adalah raut wajahnya yang telihat tak percaya pada perlakuanku yang sebegini bodohnya hanya untuk mendapatkan maaf darinya. Ku tutup puisi itu dengan kalimat “I’m so sorry” dan satu tangkai bunga mawar merah yang ku petik disamping gedung perhotelan kampus

Ku tunggu dia membuka mulutnya dan mengeluarkan kata-kata yang ku harap adalah penerimaan maaf. Tapi ternyata salah, harapku tak menjadi nyata. Langit hanya mengoceh tanpa henti, bahkan dia tak mengatakan terimakasih untuk perlakuan ku tadi. Tanpa pernecanaan ku ajak dia makan malam, dan seperti yang ku duga langit pasti menolak, dan seperti yang sudah ku rencanakan juga, aku sudah mempunyai alamat lengkap rumahnya dari teman-teman nya yang kemarin sudah ku sogok dengan nomor ponsel yuda, tak sedikit wanita dikampus ini yang tergila-gila dengan yuda.

Aku sudah mempersiapkan segalanya, jam berapa aku akan kerumahnya, restoran mana yang akan kami jadikan tempat makan malam untuk yang pertama kalinya, dan satu meja yang tempatnya sangat strategis untuk kami saling berbagi cerita.
Sesampai dirumah langit, ku lihat wajahnya yang seperti tak percaya melihatku malam ini. Dengan sombongnya dia katakan “loh ngapain lo jam 7 malem nongkrong depan rumah gue?” wajahnya benar-benar menggemaskan ketika sedang marah seperti itu. Ku paksa langit untuk menerima ajakan ku untuk makan malam, dengan berbagai cara, meskipun dengan berteriak memanggil kedua orang tuanya. Haha sungguh usaha yang bodoh untuk orang yang sedang jatuh cinta.

Saat aku memarkirkan mobil, ku lihat lagi wajah langit yang terkejut lagi melihat restoran yang ku pilih tak sesuai dengan penampilanya malam ini, dan terlihat terkejut lagi saat ku katakan pada pelayan meja yang sudah dipesan atas nama ku, dan untuk yang terakhir ku lihat lagi wajah langit terkejut tau ada satu ikat bunga mawar merah yang sudah ku pesan pada pelayan. Aku cukup senang melihat wajahnya yang terkejut beberapa kali untuk malam ini.
Kami saling berbagi cerita, ku ceritakan tentang diriku padanya, dan ku jawab pertanyaan-pertanyaan yang dia tanyakan tak hentinya. Tapi saat ku tanya mengapa hanya denganku dia berbicara dengan panggilan gue-elo, dia terdiam sejenak, lalu menjawab bahwa dia hanya membaur denga gaya bicara asal kota ku. Padahal aku berharap panggilan aku-kamu disetiap kami bicara, lagi pula aku kan anak jurusan sastra. Kosa kata yang tak biasa.

***

Setelah malam itu, aku sering menhampiri langit dan bertemu denganya. Kami bisa saling bicara, saling membagi tawa kecuali cinta. Setiap hari tak bosan ku paksa dia untuk memanggil ku dengan sebutan “kamu” tapi setiap hari juga langit menolaknya. Pernah ku suruh dia untuk memanggil namaku saja, tapi setelah ku katakan itu langit merubah raut wajahnya seperti kesedihan yang sangat mendalam, suatu rasa kehilangan yang tak bisa digambarakan. Aku adalah orang yang sering membaca blog nya, ku ikuti tahap tiap tahap tulisanya, sampai aku mengerti dan menyadari bahwa ternyata namaku sama dengan nama pria yang dulu dia cintai. Blog nya selalu terisi dengan nama “Angga” siapapun dia, langit pasti merindukanya dan selalu tak percaya pada kabar kematinya. Ya, itu sudah jelas terasa saat ku baca salah satu tulisanya.

Aku tak pernah henti untuk mendapatkan hatinya, setiap hari ku kejar kemanapun dia menghindar. Tak pernah ku permasalahkan jika wajahku terkadang membiru atau memar karena terlalu sering dia tampar. Berhari-hari, berbulan-bulan kami bersama dan aku semakin tak tahan untuk  mengatakan yang sebenarnya.  Pernah satu kali ku tanya apa dia peduli padaku atau tidak, tapi yang kudapat hanya teriakan yang seperti biasanya. Tapi saat ku tanya apa dia menyayangiku atau tidak, tak ada teriakan yang terdengar, hanya keheningan. Aku bingung harus seperti apa aku mengadili semua rasa yang tertumpuk dalam benakku.

Ku pilih tempat dengan jus mangga dan bakso yang biasa ku santap dikantin ini. Tiba-tiba ku lihat punggung wanita yang  tak sing untukku

“Sinta!” teriakku

Wanita itu menoleh “Rangga Prasetya woy! Apa kabar lo dek? kangen gue sama lo” sinta memelukku

“apalagi gue” aku memelukkunya dengan erat

Sinta adalah kaka tingkatku, dia dua semester diatasku, dan dia juga yang selalu membantuku dalam tugas yang tak ku mengerti saat aku baru masuk ke kampus ini. Dia sudah seperti kaka untukku.

“lagi apa lo disini ka?” ku mulai pembicaraan

“kangen gue sama kampus. Ngurusuin bahan buat tugas akhir jadi jauh sama kampus”

“gaya lo so sibuk dah ka”

Kami berdua tertawa

“gimana lo? Udah nemu pacar belom? “

“pacar? Belom ka. Tapi calon ada lah ka!”

“gaya lo so ganteng dah, terus kapan rencana lo nembak dia?”

“sekarang.”

“so? Masih ngapain lo disini? Pergi sana temuin dia”

“ah lo mah dari dulu paling bisa cari solusi. Doain gue ya!” ku peluk lagi tubuhnya sambil tertawa dan berlari ke tempat yang seharusnya ku datangi dari tadi

“semangat dek!” ku lihat sinta sedang melambaikan tanganya padaku

Aku berlari mencari wajah langit, ku lihat dia sedang beregeas kearah gerbang keluar. Ku panggil namanya beberapa kali tapi dia tak berhenti.

“langit!” ku genggam tanganya agar tak meninggalkan aku begitu saja seperti yang sudah-sudah

“kenapa lo?” wajahnya terlihat berantakan

Aku tersenyum lebar, tak bisa ku tahan rasa yang menggebu ini, dada ku berdebar kencang, bibir ku komat-kamit seperti yang sedang membacakan mantar sihir. Ku tarik nafasku dan saat akan ku katakan tiba-tiba langit pergi begitu saja, melepaskan genggamanku dan berlari tanpa menoleh kearahku. Hatiku rapuh

***

Langit menghilang, tak ada kabar, tak membalas semua pesan yang ku kirim padanya, tak mengangkat telepon ku, jika aku harus pergi kerumahnya, aku tak berani. Aku memang payah

Sudah satu minggu lebih aku tak bertemu denganya, aku masih tak mengerti apa yang terjadi padanya. Setiap hari ku datangi ruang kelasnya, dan selalu tak terlihat batang hidungnya. Sampai pada siang itu aku melihat wajahnya muncul lagi. Ku hampiri dia dan bertanya kemana saja dia belakangan ini, dan yang ku dapat hanya hindaran, langit menhindariku

“Lo lagi lo lagi. Bosen gue liatnya!”
Kalimat pertama yang kudengar dari mulutnya. Kami bertengkar hebat, aku terpancing emosi dan ku paksa dia untuk memanggilku dengan sebutan; kamu

“gak mau, Rangga Prasetya” langit berteriak

Untuk pertama kalinya ku dengar dia memanggil namaku. Entah apa yang terjadi padanya dan pada kami berdua.

“lang, kenapa lo jauhin gue?”

“wanita itu… dikantin dekat gedung sastra.” Suaranya terdengar samar

“wanita? Wanita apa sih lang?”

“lupakan!”

Aku terdiam, mencoba mengingat dan yang ku ingat bahwa aku hanya bertemu dengan sinta dan itupun membicaraknya “tapi lang…”

“cukup rangga! Aku tak ingin melihatmu lagi”

“kamu tak pernah tau lang” aku tertunduk lemah dan mencoba menerima bahwa langit tak pernah mau mendengar penjelaskanku. Dan pada akhirnya, aku tak pernah menyatakan cintaku pada langit.

Tanpa tersadar, langit membuatku menangis.

Minggu, 03 Agustus 2014

Aku Tak Pernah Tahu (Part 1)

“Lo lagi lo lagi. Bosen gue liatnya!”

“lo yang kenapa? Kenapa cuman sama gue cara bicara lo kaya gitu?”

“maksudnya?”

“yaaa gue heran aja, kenapa cuman sama gue lo panggil dengan sebutan gue-elo, tapi sama anak-anak yang lain aku-kamu?”

“loh bukanya gaya bicara asal kota lo kaya gitu kan?”

“tapi kan gue juga membaur kali sama yang lain disini”

“yaa terus?”

“panggil gue dengan sebutan kamu. Gue pengen denger.”

“gak mau, Rangga Prasetya”

“sekarang, Langit Dwisatya”

“maksa banget sih lo ah”

“punya masalah apasih lo sama gue lang? lo kenapa tiba-tiba jadi gini”

“jauhin gue gak lo?”

“iya oke stop teriakin gue kaya gini lang!”

Wajah yang seperti biasanya ku lihat, tertunduk lesu seakan tak pernah henti untuk menyerah namun semua perasaan telah lelah.

Biar ku perjelas disini, dia adalah pria yang 3bulan terakhir ini menguntitku tanpa henti, setiap hari selalu muncul dihadapanku. Pertama bertemu saat aku untuk pertama kalinya masuk ke gedung sastra, tugas pengantar bisnis ku harus dikumpulkan pada dosen wali yang sedang berada di gedung sastra. Aku adalah mahasiswi di universitas ternama di kota Bandung, siang itu aku bergegas  mencari ruang F.12 tempat dimana dosen wali ku sedang rapat untuk membicarakan acara tahunan universitas kami “ulang tahun kampus”.

Langkahku mempercepat saat ku lihat banyak orang yang sedang duduk beramai-ramai dipinggir-pinggir kelas mereka. Ahh, aku tak suka keramaian, membuatku tak nyaman karna bising nya. beberapa detik saat aku kembali memperhatikan jalan didepanku, pintu seketika terbuka dan menghantam habis wajahku, barulah untuk pertama kalinya ku lihat wajah Rangga dengan polosnya tertawa tanpa permintaan maaf. Emosi ku tak tertahan, lalu ku hempaskan buku-buku dan kertas-kertas yang berada di genggamanya, semua berjatuhan dan berserakan dilantai, wajah nya berubah menjadi sesuatu yang membuatku ingin tertawa, ku lihat tatapan nya dengan suara tawa yang kencang, dan tak sengaja ku lihat print-an kertas-kertas yang ku kenal, terasa tak asing bagiku.

Ku ikuti kemana dia pergi tanpa sepengetahuanya. Ku lihat dia sedang mempersiapkan presentasi nya didepan 4orang dosen yang semuanya berkaca mata. Ku lihat dia yang dengan gagah nya bicara lantang seperti penyair terkenal, aku yang sedang berdiri didekat pintu sampai terhanyut dan terbawa suasana, sampai pada bait-bait terakhir

Pergilah kasih
Aku ingin menghabiskan waktu bersama kenangan yang kau tinggalkan
Pergilah kasih
Aku masih adalah aku yang mencintai kamu
Pergilah kasih
Aku akan selalu merindukan sosok mu yang sudah terhempas angin lalu

Tak lama kemudian dia keluar dengan wajah yang terlihat puas, aku menanmpar wajahnya seketika dia melihatku. Rasanya benar-benar merasa dilecehkan

“Apa sih? Kenapa lo nabok gue? Salah gue apa?”

“lo baca puisi siapa barusan?”

“hah? Puisi gue lah. Lo ga liat apa gue habis apa? Mana ada presentasi sastra dengan karya orang lain? Bego banget lo”

“lo yang bego! Haha you’re stupid man!! Pecundang”

Saat aku akan beranjak pergi meninggalkanya, dia menghentikan langkahku dan berteriak didepan wajahku.

“heh cewek aneh! Maksud lo apa dateng-dateng sewot sama gue? Emang kita kenal?”

“kita gak kenal dan gak akan pernah kenal”

“dih dasar cewek aneh”

Tugas tak sempat aku kumpulkan, rasanya benar-benar cepat ingin pulang.


***

Beberapa hari setelah hari itu, setelah mata kuliah keuangan Negara aku dikagetkan dengan sosok pria yang membuatku naik pitam.

“ngapain lo disini?”

“nama gue Rangga Prasetya. Lo bisa panggil gue Rangga.”

“gue gak peduli.”

“gue mau ngopi, lo mau ikut?”

“no, thanks”

“please, ada sesuatu yang mau gue bilang.”

“what? You say sorry? Yes! It’s ok, no problem, rangga.”

“tapi…”

“nama gue langit. Bye!”

Entah mengapa tiba-tiba aku mengatakan nama ku begitu saja. Wajahnya seakan terlihat berbeda dari saat pertama aku melihatnya. Dia terlihat lebih tampan dan lebih tenang, entahlah.


***

Hari berikutnya ku lihat lagi tubuh tinggi nya sedang menghadap kearahku, kali ini bertambah dengan senyum yang terlihat manis seakan itu hanya untuk ku.
“langit!”

“apaan lagi?”

Pagi ini embun menghadang mataku
Menjanjikan bahagia satu persatu
Dari arah berlawanan
Tak ku lihat apapun kecuali ketenangan
Rumput bergoyang
Memberi tanda bahwa bahagia akan datang
Ada wajah yang samar
Bercahaya dan menghangatkan
Itukah cinta yang terpendam

Aku terkejut, terlebih saat orang-orang melihat kearah kami berdua. Rangga membacakan nya begitu saja didepan ku dan ditengah keramaian ini, berakhir dengan “I’m so sorry.” Dan satu tangkai bunga mawar merah yang rangga berikan padaku.

“apaan sih lo mau malu-malu in gue apa ya?” wajahku benar-benar tersipu malu

Rangga menggandeng tanganku “lo tau tadi gue baca puisi siapa? Itu puisi lo kan lang? dan itu puisi pertama yang bikin gue jatuh cinta, gue nemu blog elo ketika gue search buat bahan tugas kuliah, gue buka dan gue baca, terus gue suka dan geu jadiin isi blog elo bahan tugas gue, oke gue ngaku juga mungkin emang karna gue gak tau harus isi dengan apa tugas gue itu. Tapi sumpah lang, gue jatuh cinta sama blog elo.”

“ya terus?”

“gue minta maaf karna ga minta ijin penulisnya terlebih dulu.”

“untung gue baik, kalau enggak udah gue laporin polisi dengan tuduhan penjiplakan.”

“huffff, dan untungnya lo baik kan lang.”

“hmm”

“just hmmm?”

“so?”

“setelah gue bacain lo puisi didepan banyak orang lo jawab just hmmm?”

“lebay banget sih lo. Lagian disini kan ga ada yang kenal sama elo, ini gedung ekonomi, dan tempat lo itu di gedung sastra. Gedung jurusan kita jauh.”

“tetep aja ketampanan gue ternodai”

“hahaha sarap”

“hahaha” untuk pertama kalinya aku tertawa setelah kehilangan angga

“lang, besok satnight jalan sama gue ya”

“eitss, jangan kira gue baik sama lo, lo ngira gue mau jadi temen lo.”

“but, lo ngambil bunganya juga kan. Hahaha”

“so? What’s wrong?”

“Saturday night, elo sama gue mesti dinner!”

Rangga pergi begitu saja dengan senyum nya yang manis itu ternyata bisa membuatku tertawa setelah aku kehilangan pria yang sangat ku cinta; Angga.

Aku terkejut melihat Rangga yang berada didepan pintu rumah, kemeja biru tua dengan jeans hitam seperti yang akan menghadiri sebuah pertemuan.

“loh ngapain lo jam 7 malem nongkrong depan rumah gue?”

“mau jemput lo. Kita kan ada jadwal dinner, tuan putri.”

“emang gue bilang mau apa ya?”

“lo masa tega sih lang liat nih gue udah siap. Ganti baju sana! Kalau tetep gamau biar gue yang minta ijin sama nyokap bokap lo ya. Om.. tante… assalamualaikum.”

“ah berisik lo ah! Ya tunggu bentar, gue ganti baju dulu”

Hanya dengan penampilan yang seperti biasanya aku pamit dari rumah dan terpaksa harus pergi. Sepanjang perjalanan rangga menyanyi, suara nya memang merdu dan bagus tapi aku tak akan pernah luluh, aku akan selalu ingat kalau dia sudah mencuri hasil karyaku dan memakainya tanpa seijinku.

Rangga memilih restoran dengan suasana yang berkelas menurutku, mungkin ayah nya seorang penguasaha kaya, aku belum mengenal rangga dengan dekat. Aku pun terkejut tau rangga sudah memesan meja untuk kami berdua, dan tak kalah terkejut saat aku mendekati meja itu, ada satu ikat bunga mawar merah yang sangat berkilau dan cantik, “itu buat lo” rangga hanya tersenyum kearahku. Ada penyesalan dalam hatiku mengapa aku tak berdandan dan meng- make up wajahku terlebih dulu jika tau suasana nya akan sebegini mewahnya.

Malam itu aku dan rangga penuh cerita, rangga tak berhenti bicara soal dirinya seakan dia sedang memperkenalkan dunianya padaku. Rangga adalah lulusan SMA terbaik di kota nya, dia lahir setahun lebih dulu dariku. Rangga lahir di bali, dan sekarang keluarga nya tinggal di Jakarta. Anehnya, rangga tak menjawab saat ku tanya dia asli orang mana, dan akupun tak terlalu memaksanya untuk menjawab. Rangga adalah pecinta musik, berkali-kali dia jatuh cinta oleh nada dan irama, katanya musik membuatnya lebih tau arti hidup yang sebenarnya.
“terus kenapa lo masuk jurusan sastra?”

“karna gue butuh pengetahuan untuk lirik-lirik lagu gue ntar”

“gue gak ngerti.”

“pokoknya gue masuk sastra karna gue pengen nyoba hal baru aja.”

“pengen nyoba kata lo? Apa sebegitu banyak nya ya uang bokap lo sampai kuliah aja lo coba-coba?”

“hahaha enggak lah lang”

Rangga hanya tertawa. Dan aku tak lagi bicara


***

3bulan terakhir berakhir dengan ketidakpastian akan hubungan kami, kami dekat tanpa hubungan yang jelas, rangga sering menyalahkan aku karna seperti yang sedang memeprmainkanya, dan aku akui itu, aku masih berduka soal kematian angga. Aku tak benar-benar yakin sudah melupakannya.

Aku tak membantah soal rasa, selama ini kami berdua dekat. Mungkin jika rangga tak mendekatiku terus menerus aku tak akan pernah memperdulikan nya, tapi kali ini sudah terlanjur jauh, hampir setiap hari aku dan rangga bersama, makan siang, tertawa, dan rangga tak pernah menyerah. Dia selalu sabar menghadapiku yang tidak kadang tak sopan padanya. Aku bisa saja seketika menamparnya, memukulnya, dan meninggalknya begitu saja ketika dia sedang bicara. Tapi dengan semua itu juga ternyata aku bisa lupa soal sakit hatiku kehilangan angga ketika sedang bersamanya.
Ketika dekat denganya, aku merasa tak lagi sendiri dan kesepian, aku merasa lebih dipedulikan. Tadinya ku fikir aku tak bisa lagi merasakan cinta dan bahagia, tapi ternyata aku salah, rangga adalah bukti bahwa aku masih bisa tersenyum dipagi hari meskipun saat malam wajahku pucat karna keseringan menangisi hal yang sudah pergi.

“lang, apa lo ga peduli sama gue lang?”

“apasih lo”

“lang, apa lo sayang sama gue?”

Aku terdiam, bertanya pada hatiku harus seperti apa aku menangapi rasa ini. Aku merasa masih tak bisa untuk memulai lagi persoalan cinta, tapi soal rangga aku merasa sudah jatuh cinta padanya. Setiap kali dia memperhatikanku dengan cara yang berlebihan rasanya aku ingin membalasnya, tapi mengingat soal angga dan rasa kehilangan yang begitu besar, aku masih saja terdiam seakan aku tak memperdulikan rangga; orang yang begitu kerasnya memberikanku kebahagiaan.

Disaat aku sedang tersiksa soal dua rasa yang berbeda dan aku sudah memutuskan akan mencoba untuk menjalaninya dengan rangga, aku melihat rangga berpeluk mesra dengan wanita yang ku lihat dikantin kampus dekat gedung sastra. Aku berniat ingin mengajaknya makan siang sambil mengatakan padanya bahwa aku mulai mencintainya, tapi tak sengaja aku melihat semuanya. Begitu menyakitkan dan mematahkan segala pengharapan kecilku pada rangga. Aku memutuskan untuk kembali ke kelas karna selang satu jam aku ada jadwal kuliah. selama didalam aku tak bisa memperhatikan, semuanya masih terbayang soal pelukan mesra dan tawa canda yang hangat diantara rangga dan wanita nya, mereka terlihat seperti sudah kenal lama dan mungkin pasangan cinta.

Saat kelas telah selesai dan aku keluar, rangga mengejarku dari belakang, memanggil-manggil namaku dan menyuruhku berhenti berjalan untuk menunggunya. Wajahnya terlihat biasa dan terlihat sama seperti sebelum-sebelumnya rangga menghampiriku. Dan kali ini aku tak bisa menunggu, rasanya benar-benar menyakitkan. Aku memutuskan untuk pergi meninggalknya.


***

Siang itu, satu minggu lebih lima hari, tepat sebelum libur akhir pekan. di taman kampus dan dibawah pohon beringin besar yang menampung panas diatas kepalaku, kami berdua bertengkar dan saling berteriak

“punya masalah apasih lo sama gue lang? lo kenapa tiba-tiba jadi gini”

“jauhin gue gak lo?”

“iya oke stop teriakin gue kaya gini lang!”

Kami berdua saling diam, rasanya ingin ku tampar wajah polosnya yang seakan tak terjadi apa-apa. Tak habis fikir apa maksud dari semua rasa perhatianya padaku selama ini jika ternyata dia sudah memiliki kekasih.

“lang, kenapa lo jauhin gue?”

“wanita itu… dikantin dekat gedung sastra.” suaraku melemah

“wanita? Wanita apa sih lang?”

“lupakan!”

“tapi lang…”

“cukup rangga! Aku tak ingin melihatmu lagi” ku pukul dada nya dengan buku-buku yang sedang ku pegang

“kamu tak pernah tau lang”

“ya! Aku memang tak pernah tau apapun!”

Aku berteriak dan meninggalkan rangga yang pipi nya telah basah entah oleh apa.