Rabu, 09 Juli 2014

Tersesat

Ini adalah puluhan ribu hari aku masih mengurung diri. Semua orang tak ada yang mengerti bagaimana kondisi ku kali ini. Dengan gampang nya mereka katakan hal-hal yang membuatku semakin merasa sendirian. Seperti kata Dinda “Sudahlah, lupakan saja!” atau perkataan Marina “Masih banyak ko yang mau sama kamu” atau mungkin perkataan ibu sekalipun “Bukan jodohmu. Tuhan sudah mempersiapkan segalanya untukmu.”
Segampang itu yang mereka anggap adalah proses melupakan. Andai bisa hanya dengan cara itu maka sudah ku lupakan sosok itu dari awal, mungkin sudah hilang cinta ku yang besar.

Kenyataanya, melupakan bukan bagaimana cara kita bisa menghilangkan semua tentangnya. Aku sama sekali tak menyalahkan cinta soal hatiku yang mulai hilang rasa. Aku juga tak menyalahkan Tuhan mengapa tak menyatukan aku dengan dia, tapi bagaimana dengan sebuah pertemuan yang dipercaya adalah keputusan semesta yang sedang mempersatukan dua hati menjadi satu ikatan cinta suci.

Rasanya penyesalan kini mencambuk dari belakang. Bagaimana dulu ku sia-sia kan sebuah pengorbanan. Harusnya saat itu juga ku katakan padanya bahwa aku bersedia menjadi pendamping hidupnya.

Menyelami sebuah masa silam bukanlah hal yang sulit untuk ku lakukan. Meninabobokan ingatanku pada mimpi-mimpi kami dulu yang dibangun dengan pengharapan kebersamaan di masa depan, mengajak semua pikiran hanya mengingat dia seorang. Ahh! aku rindu tubuhnya yang seharusnya ku peluk saat ini juga.

“Lang, nikah sama angga!”

“Aku gak bisa ngga! Keputusan bodoh!”

“Angga gak bisa gak ada kamu. Angga cinta sama kamu lang!”

Pembicaraan itu masih saja terngiang dikepalaku. Seperti suara tembakan dengan jarak yang sangat dekat.

“Bukankah harusnya ku terima lamaran angga saat itu juga. Seharusnya aku lebih bisa menghargai pengorbanan nya ingin memperjuangkanku. Seharusnya tak ku pedulikan lagi soal perbedaan ini. Rasanya benar-benar ingin mati suri”

Banyak yang mengatakan seharusnya aku bisa melupakanya. Bodohnya mereka hanya bisa bicara didepan ku saja. Mengapa tak mereka katakan itu sebelum angga meninggalkanku untuk selamanya.

“Tuhan, bagaimana bisa aku membiarkan semuanya terjadi begitu saja. Bagaimana dengan perjuanganku menahan pilu tau aku harus melepaskan orang yang ku cintai sejak dulu? Ku biarkan dia bahagia bersama orang yang semesta pilihkan untuknya. Aku sudah bisa menerima semuanya! Semua detail yang ku pikirkan keluarga nya kelak akan menjadi keluarga yang bahagia. Yang dengan beberapa orang anak, yang bisa mengajarinya bagaimana agama nya begitu penting untuk kelanjutan hidupnya. Bagaimana bisa kamu lepas perhatiaan itu padanya? Padahal didalam sujudku, dalam doa yang tak pernah sekalipun absen dari nama itu. Ku minta agar engkau menjaganya? Memberikan kebahagiaan yang tak terkira untuk hidupnya…”

kini tangisku semakin tak bisa ku kendalikan. Entah apa yang terjadi pada hidupku ini. Rasanya benar-benar mengerikan, bahkan untuk dibayangkan saja aku tak menginginkanya. Kali ini ku tanya pada kalian “Apa segampang itu yang kalian katakan untuk melupakan?”

Tiar, wanita yang akan menjadi satu-satu nya di hidup angga menghubungiku malam itu. Bicara tak lepas dari kata bahagia karna esok hari nya akan melaksanakan pernikahan mereka. Padahal sudah ku katakan berkali-kali padanya apa tak terlalu muda baginya untuk membina sebuah keluarga. Tiar hanya tertawa, bisa ku rasakan bagaimana wanita ini benar-benar mencintai pria yang ku cintai.

Aku sudah tak lagi mendengar kabar Angga setelah malam itu ku putuskan untuk menolak lamaran nya. mustahil bagiku untuk meninggalkan keluarga ku hanya untuk pria yang tak seiman denganku. Apa yang akan di pikirkan Ayah ibu ku tentang cinta ku ini, mungkin tak ada bedanya dengan pandangan semua orang terhadap kami berdua; cinta kami dianggap salah.

Dalam butiran sendu air mata ku doakan pasangan itu bahagia. Menjadi keluarga yang diridhoi oleh semesta dan agama mereka. Aku percaya bahwa Tuhan adalah maha segalanya. Sampai malam itu tiba…

Ponsel ku berdering tepat jam satu lewat lima belas menit dini hari. Satu panggilan tanpa nama yang membangunkanku dari mimpi penuh ketenangan.

“Hallo?”

“Langit!!”

“Siapa i.. Angga?” nama itu terucap begitu saja

“Lang! angga sama sekali gak mau menikah dengan wanita yang bahkan gak angga cintai sama sekali. angga mohon cegah angga lang, cuman alasan itu yang mampu bikin angga ninggalin masalah ini.”

Ingin sekali ku katakana semuanya pada angga “Angga, jangan menikah dengan Tiar. aku mencintai kamu dari saat pertama kali kita bertemu, dan aku mulai menyukaimu bahkan ketika aku belum mengenalmu. Aku tak bisa membiarkanmu menikah dengan wanita lain yang bukan aku.” Tapi entah mengapa bibir ku mengucapkan kalimat yang berbeda “Gak angga. Aku gak bisa.”

“Langit, angga bener-bener gak tau harus gimana.”

“Pergi ke gereja. Tundukan kepala dan menggenggam salib mu dengan erat. Cobalah berdoa pada Tuhanmu untuk meminta pertolongan.”

“Saat ini angga jauh dari keramaian”

“Jaga diri ngga.” Tak ku tanyakan keberadaanya, dengan mendengarnya saja ku tau bahwa angga sedang diam di pinggir pantai. Ombak nya yang besar sampai terdengar di telinga.

Beberapa saat kami terdiam bersama

“Lang…”

“Ya ngga?”

“Kamu percaya takdir?”

“Ya. Langit untuk angga bukan?”

“It’s true, sugar”

Suara gemuruh angin yang besar dan ombak itu seakan sedang berpesta, sampai-sampai suara angga tak terdengar. Telepon terputus begitu saja.

Lima hari setelah itu Tiar menghubungiku. Ku abaikan, sama sekali tak ingin ku dengar kabar yang mungkin menurutnya adalah kabar bahagia. Mungkin mereka sedang berada dalam acara bulan madu atau masa dimana satu pasangan pengantin baru sedang membuat daftar kehidupan baru dengan penuh canda gurau dan tawa yang akan membuahkan seorang anak nantinya. Aku belum siap mendengar semuanya…

Ku baringkan tubuhku dengan isi perasaan yang seperti sedang menunggu seseorang datang, yahh.. ku harap sebentar lagi angga mengetuk pintu rumah ku dan melamarku satu kali lagi, mungkin aku akan menerimanya kali ini.

Satu email masuk ke ponsel ku. Dan pengharpanku berbuah kenyataan, email itu dari angga. Angga mengirimkan ku satu buah gambar, tanpa melihatnya aku sudah tau bahwa itu bukan gambar yang bagus. Dengan perlahan ku baca kata demi kata kalimat yang mengantarkan gambar itu padaku, rasanya seperti dijambak oleh takdir. Tawa kecil membuat suasana kamar lebih menyeramkan selepas ditinggal angga ke pernikahan dengan tiar.

Kepada sahabatku, Langit.
Maafkan aku karena belum bisa menjaga cintamu yang begitu besar.
Pengorbanan yang kau berikan sama sekali tak membuahkan kebahagiaan.
Tolong jangan biarkan aku menanggung ini sendirian.
Aku tak sekuat engkau. Aku butuh pelukan orang yang bisa mengerti bagaimana rasanya kehilangan orang yang begitu amat dicintai.

salam cinta dan kasih dariku, Tiar.

“Hallo tiar!!!”

“Langit…” suara nya merintih

“Apa yang kau lakukan dengan email angga?”

“Email nya selalu terbuka di laptopnya, selalu menunggu email baru masuk darimu.”

“Apa maksudmu dengan isi email itu?” aku berteriak

“Buka gambar itu langit!”

Mata ku berhenti berkedip saat itu, jari jemariku lumpuh seketika dan suara ku menghilang. Ada jeritan yang sedang ku tahan. Perasaanku sedang dicambuk oleh penyesalan. Apa aku harus bahagia karna ternyata angga benar-benar tak menikahi tiar.

 “Aku tak tahan lang!” suara nya merintih seperti orang kesakitan

Ku lihat gambar itu dengan seksama, meyakinkan diriku bahwa itu bukan angga, mana mungkin bisa seperti ini akhirnya. Bukankah akhir adalah bahagia, maka jika semua belum merasa bahagia itu bukanlah akhir bukan.
Rasanya ingin ku peluk gambar itu dengan dekapan mesra sebagaimana mana mestinya. Menyedihkan karna aku hanya bisa mendekap ponsel ku dengan erat, berharap gambar itu bukan soal angga.

“Apa maksudmu dengan mengirimku sebuah gambar kuburan?” suaraku lemah

“Pagi itu saat aku sedang merias wajahku, melihat gaun pengantinku. Ada wanita masuk dengan wajah sembab seperti sedang diancam untuk membuatku tetap sabar. Suara lonceng gereja tempat aku seharusnya bahagia berubah menjadi kabar kematian dari pria yang seharusnya menjadi pendampingku di pernikahaan hari itu. Angga menghilang, dia tenggelam di pantai. Awalnya aku percaya itu adalah akal-akalan angga agar tak menikahi ku. Selalu ku tunggu kabar darinya meskipun semua wajah sedang menangisi keberadaanya. Ku tunggu tanpa mengenal waktu hingga lupa dari hari apa ku tunggu dan pagi mana yang sedang ku nikmati. Sampai pagi tadi, ku lihat angga pulang dengan tubuh yang kembung ombak pantai dan wajah yang sedang menahan dinginya takdir.”

Tanpa kata-kata ku lempar ponsel itu ke sudut kamar, terbentur pada dinding hingga ponsel ku sudah tak berbentuk lagi, semuanya terbelah-belah dan terurai entah ke arah mana saja. Tak ku pedulikan
Entah apa yang terjadi pada diriku, karena dari saat itu aku tak pernah percaya bahwa isi peti didalam tanah itu bukanlah tubuh angga. Aku yakin tiar hanya mengarangnya agar aku bisa membiarkan dia bahagia dengan angga.
Aku selalu menunggunya, menunggu angga datang dan mengetuk pintu rumah ku untuk melamarku lagi. Selalu ku tunggu sampai hari ini


“Angga, biarkan takdir itu berjalan lagi. Langit untuk angga tak akan terpisahkan meskipun kabar kematian telah menyimpan banyak kesakitan. Kau harus percaya bahwa kenangan manis tenang kita tak pernah ku lupa.”

buat aku lupa bagaimana merasakan rasanya kebahagiaan

tak apa jika aku tersesat didalam kelam

asal bisa bersama pria yang ku cinta

Langit Untuk Angga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar