Jumat, 13 Maret 2015

Kedai Kopi Bersama Marina


Sudah beberapa waktu aku bertemu lagi dengan teman di masa lalu ku, setidaknya meliburkan diri sendiri dengan berlari ke luar kota hanya untuk menenangkan diri dari persoalan cinta bukanlah hal yang pantas untuk dibanggakan bukan, tapi aku hanyalah gadis si penyulam rindu yang selalu berharap akan keajaiban sebuah temu.

Aku hanya bisa membaur soal rasa di media sosial, meskipun sepertinya orang yang ku tujukan tak pernah merasakan. Dan bagusnya, aku tak pernah mempersalahkan semuanya. Bagiku, dia tau apa tidak akan perasaanku terhadapnya bukanlah masalah besar, ku bilang demikian karena ternyata aku selalu dianggap tersangka dari semua persoalan.

Malam ini aku putuskan untuk bertemu marina disalah satu kedai kopi di daerah pasirkaliki Bandung, disana ada pertemuan yang menghadirkan orang-orang yang hanya menumpakan cinta di sebuah kertas usang atau sebuah file tak bergambar, hanya tulisan yang mempersatukan semua perasaan yang tak pernah bisa diutarakan.

“Aku senang bisa bertemu lagi denganmu.”

“Ya, aku pun.” aku hanya bisa memperlihatkan senyumku sedikit

“Apa yang terjadi?”

“Tak ada.” Jawabku singkat tanpa melihat ke arah marina

Acara pun dimulai, ada pembawa acara yang bagiku terlihat mengesankan, orang itu berbeda. Wajahnya terlihat pucat, pipi merah nya bersanding dengan bintik-bintik jerawat yang bahkan terlihat lucu dimataku. Pembawa acara itu mulai bicara, dengan percaya dirinya dia akan membahas tema pertemuan kali ini. Aku hanya tersenyum sesekali sambil melihat tingkahnya yang tak bisa diam.

Seketika aku dan marina terdiam.

“Apa kamu bercanda?” marina membentak tepat didepan wajah ku

“Tidak.” aku kembali terdiam

“Lagi-lagi soal jarak. Aku muak!”

“Aku pun tidak tau bahwa pertemuan debat puisi malam ini bertema jarak.”

Marina menghela nafas panjang, aku pun sama. “bagaimana bisa?” hatiku ikut bicara

Aku hanya bisa pura-pura tak melihat ketika orang-orang yang membacakan puisi tentang jarak itu berlalu lalang menaiki dan menuruni anak tangga yang hanya beberapa untuk sampai ke atas panggung kecil. Marina pun terlihat sama, dia sibuk mengajaku bicara seakan memberiku tanda bahwa dia tak ingin menggapnya ada. Suara puis-puisi itu seakan menggema dalam kepalaku, merusak sistem kerja otak ku. Aku sungguh membenci jarak.

Pembawa acara itu terlihat seakan mencuri-curi pandangan ke arahku, hatiku langsung merasa tak enak, aku mengajak marina pulang, tapi bodoh nya marina seakan tau apa yang terjadi saat itu, marina yang bodoh menggandeng tanganku dengan paksa, menyuruhku membacakan sedikit perasaan ku malam itu melalui puisi.

“Aku tak mau, aku tak bisa.” aku menggeleng

“Ayo, aku yakin kamu bisa.” marina semakin terlihat bodoh

“Tapi rin…”

“Aku tau kamu sedang terluka oleh jarak, semoga semesta mendengar mu mengelukan jarak malam ini, agar kamu mengerti bahwa takdir tak tinggal diam.”

Aku berjalan perlahan

Aku melihat-lihat sekitar, wajah-wajah yang sedang menampung jutaan rindu untuk orang yang sedang ditunggu. Aku terdiam sejenak, membuat diriku terbawa oleh suasana kedai kopi itu, mencoba mengingat dengan jelas wajah laki-laki yang sering ku bicarakan dengan Tuhan setiap waktu, yang sampai saat ini masih saja belum mau datang untuk mencicipi rindu.

Satu cangkir kopi itu telah habis
Ku telan perbutir hingga mengosongkan semua sunyi
Malam ini ku duduk sendiri
Melihat langit yang selalu terlihat berseri
Meskipun polos hitam yang masih terbentang dengan jelas
Aku tertuju pada perasaan semu
Yang harusnya ku tawari dengan senyum menggelitik
Ternyata harus ku lewati dengan air mata rintik-rintik
Suara kecil menggema dalam kepala
Ku pikir ada yang sedang berencana menyuruhku untuk ke kamar
Ternyata aku salah
Hatiku sedang merintih
Memeluk bayang abadi yang ternyata aku sendiri
Bagai mimpi yang berterbang bagai buih
Hatiku terluka menjerit sambil berdiri
Bersama rindu
Dan perjalan waktu untuk bertemu
Aku menahan pilu
Karena ku yakini kamu mencintaiku

“Rin…” aku memeluknya dalam diam, dengan belaian pengakuan bahwa malam ini hatiku sedang terluka. Puisi itu sudah selesai, seperti pengakuan akan dosa yang sudah membawa ku pada kesalahan jarum jam.

“Aku mengerti.” marina menangis

“Aku yang tak mengerti.” Aku memeluknya lagi dengan erat, tidak aku pedulikan orang-orang yang dengan spontan melihat ke arahku dan marina

“Kamu hanya belum terbiasa.”

“Rindu ini rin, aku tak bisa.”

“Kamu hanya perlu membicarakanya dengan dia.”

“Aku tak bisa mengatasi rindu yang semakin hari semakin bertambah dan kurang ajar terhadapku. Aku tak bisa menahan air mataku ketika sudah bicara soal pertemuan yang ternyata tak pernah bisa ku dapatkan.” Aku menangis kencang

“Dia pun tersiksa.”

“Dia tak ada lagi, disini.”

“Dia mencintaimu.”

“Dan dia tak pernah lagi muncul dihadapanku.”

“Dia hanya tak ingin melihatmu tersiksa karena dia yang masih saja belum bisa mengerti akan banyaknya rindu itu.” marina tersenyum

“Dia sudah pergi, rin.”

Marina terdiam.

“Aku hanya masih saja tak percaya pada jarak yang satu ini, rin.”

“Jarak itu…”

“Aku sedang tak membicarakan jarak. Aku cukup tau soal rindu, soal kepercayaan tentang pertemuan yang katanya akan membuahkan cinta yang lebih besar. Aku hanya ingin dia mengerti bahwa rindu ku lebih besar jika harus dibandingkan dengan sikap diam nya yang hanya mengjaggokan kepekaan. Bukankah kita sudah sama-sama dewasa, sudah tau bagaiamana mengekspresikan perasaan untuk pasangan.”

“Dan mungkin rindu dan jarak itu kembar.” marina tergesa-gesa ketika bicara

“Takdir masih tak ingin ikut main rin…”

“Pertemuan itu penuh sihir, menjadikan dunia seakan sedang berlipat menjadi segitiga. Ketika berjalan menanjak, suatu saat kamu akan menemukan puncak yang menghadiahkan senyum di raut wajahnya. Bagaimana bisa kamu tak mempercayainya? Bahkan ketika lelah menggerogoti cinta, jarak membuatnya mati rasa. Jarak adalah alasan rindu itu terus bermunculan, dan pertemuan adalah jawaban. Mengartikan segalanya adalah rindu mungkin termasuk pembicaraan menakutkan bagi sebuah rasa yang membuat hubungan itu terlihat membosankan. Percaya pada pertemuan adalah kunci untuk pintu membuatmu bertemu dengan takdir Tuhan.”

“Kamu selalu paling bisa menjawab semua pertanyaanku tentang jarak.”

“kamu belum tau tentang rindu yang terus bermunculan dihatiku bukan?”

“Marina… hentikan.” aku mengenggem tanganya dengan erat

“Bagaimana bisa takdir memperhentikan segeitiga perjalanan pertemuan untuk aku dan dia.” marina membahas soal kehilangan

“Aku masih tak percaya pada pertemuan rin.”

“Aku pun…”

Kedai kopi itu memutarkan musik paling merdu yang pernah kudengar; Puisi malam.

4 komentar:

  1. Kenapa jarak selalu menerbitkan rindu yang diiringi candu akan temu yah.. :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mungkin jika tidak begitu, sebuah temu akan terasa sama seperti biasa.
      seperti: Pelangi tak akan terlihat indah dan istimewa jika dilihat setiap hari.

      Hapus