Rabu, 06 Agustus 2014

Kamu Tak Pernah Tahu (Part 2)

Jika kalian mempunyai masalah dengan ingatan seperti ku, sebelum meneruskan membaca bagian 2 ini, kalian bisa mengulang membaca bagian 1 disini:
Aku Tak Pernah Tahu (Part1)

Sudah beberapa bulan aku berada di jurusan sastra, dan selama itupun aku masih saja tak bisa mengerti soal perbedaan kosa kata atau penghapalan kata baku yang benar. Bahkan apa yang ku tulis selalu mendapatkan nilai yang tak bisa dibanggakan. Aku pernah ingin menyerah, dan memutuskan untuk pulang ke kota Jakarta dengan hanya membawa senyum malu pada kedua orang tua ku, tapi keputusan ku terbuyar oleh bahan tugas yang sudah ku temukan  di internet.

Besok nya aku akan mempresentasikanya didepan 4orang dosen mata kuliah yang sudah memberikanku nilai yang tak seharusnya mereka berikan. Aku berlari mencari ruang kelas yang akan menjadi tempat presentasi ku, dan tak sengaja aku menabrak seorang wanita yang langkahnya cepat dan tak memperhatikan ke depan kemana dia berjalan.
Wajah nya terhempas pintu yang tak sengaja ku buka dengan tergesa-gesa, dia sedikit berteriak dan  memperlihatkan raut wajah yang membuatku tertawa, alis nya yang mengkerut cenderung membuat dia terlihat seperti anak kecil yang akan menangis karna kehabisan permen karet, bibir merah nya sedikit menguap karena menahan sakit, jilbab nya berantakan dan aku yakin dia adalah wanita yang galak.

Disaat aku tak bisa menahan tawa ku, tiba-tiba dia memandang tajam kearah mataku, dan menghempaskan buku-buku yang sedang ku bawa ditanganku, kertas-kertas bahan presentasiku berjatuhan dan berserakan dilantai. Aku mengambilnya satu persatu dan membereskanya sambil menahan kesal. Tak ku gubris lagi karna ku ingat bahwa aku sudah terlambat. Ku tinggalkan wanita itu dan berlari kearah ruang presentasiku.

Aku merasa puas dengan hasil presentasiku, ku lihat wajah dosen-dosen yang juga merasa puas dengan apa yang ku tampilkan pagi itu. Dan saat aku keluar ruangan, aku mendapatkan tamparan dari seorang wanita yang sepertinya ku kenal barusan. Dia bertanya aku membacakan puisi milik siapa, setelah ku katakan bahwa itu milikku, dia mengatakan bahwa aku pecundang.

Beberapa detik kami saling bertatap muka kesal, rasanya benar-benar tak masuk akal aku bisa ditampar oleh orang yang bahkan tak ku kenal.

***

Ku buka laptop ku dikantin, ada meja yang selalu menjadi tempat yang tepat untuk menikmati jus mangga dan satu mangkok bakso.  Ku buka lagi file-file bahan presentasiku kemarin pagi, hanya ingin mengulang rasa puas. Ku buka tab baru dalam halaman internet ku, ku baca-baca lagi blog favorite ku itu untuk menghabisi rasa rindu pada perasaan yang ingin diberikan pengetahuan soal kosa kata yang bermakna cinta.

“Tunggu dulu!” tiba-tiba aku berkata seperti itu. Aku memang belum pernah membuka profil pemilik blog ini, dan beberapa detik lalu saat aku hanya asal meng-klik, aku merasa mengenali wajah itu. Ku lirik meja sebelah terisi oleh beberapa teman yang sepertinya lebih mengenal kampus ini dari pada aku, aku yakin orang yang mempunyai blog ini adalah mahasiswi kampus ini.

“hey bro” ku dorong pundak salah satu anak yang sedang bergerombol dimeja itu, namanya Yuda, dia teman satu kost denganku.

“woy rangga. Ada apa bro?”

“lo kan mahasiswa gaul di kampus, pasti sering keliling kampus kan lo?”

“hahaha emang kenapa nih?” rangga tertawa mendengar ucapanku

“lo tau ga ini anak fakultas mana. Ko gue berasa pernah liat ya?” ku sodorkan laptopku pada rangga

“blog? Blog punya siapa bro?”

“nah itu dia gue nanya. Lo kenal ga nih sama photo nya? gue penasaran.”

“loh ini kan blog punya anak ekonomi itu. kenapa? Lo demen sama dia? Pacarin sana” yuda tertawa setelah melihat-lihat laptop yang ku sodorkan, bahkan dia mengusap-ngusap layarnya dan tepat dibagian photo nya. ya mungkin yuda sedang menerawangnya.

“anak ekeonomi? Siapa sih emang?” rasa penasaranku semakin meledak

“yaudah besok gue ajak lo ketemu dia ya. Mau ngapain sih emang lo?”

“penasaran aja gue mah yud” ku tampar dia dengan keras

“ahh kirain gue mah mau minta tanda tangan lo” yuda tertawa sambil memusatkan lagi pandanganya kepada teman-temanya

***

Hari ini aku sedang berada diluar gedung ekonomi. Yuda menepati janjinya untuk membantuku mencarikan orang pemilik blog itu. Ku lihat satu kelas yang telah selesai, mereka semua keluar seperti gerombolan mahasiswa yang akan tawuran, jumlah mereka cukup banyak jika dibandingkan dengan jumlah mahasiswa yang berada dikelas ku.

“tuh itu dia orangnya bro!” yuda berteriak dan menunjuk pada satu wanita yang berada diantara gerombolan orang-orang itu.

“what? Are you kidding me?” aku terkejut

“no! why?”

“no no, thanks yud.”

“oke bro” yuda menepuk-nepuk pundakku dan pergi meninggalkanku sendiri dengan perasaan malu karena semuanya ternyata memang memperlihatkanku seperti pecundang bodoh

Aku berdiri didepan ruang kelasnya, ku tunggu sampai dia melihat kearah ku, dan ternyata semua memang seperti yang ku bayangkan. Setelah melihaku dia bertanya mengapa aku berada didepan kelasnya dengan ketus. Ku perkenalkan namaku dan ku ajak dia ngopi untuk memulai pembicaraan, dan dia menolak keras.

“please, ada sesuatu yang mau gue bilang.”

“what? You say sorry? Yes! It’s ok, no problem, rangga.”

“tapi…”

“nama gue langit. Bye!”

Belum sempat ku ucapkan maaf, dia sudah pergi dari pandanganku dengan cepat. Tapi saat itu aku tau bahwa orang yang sering menulis puisi yang indah itu bernama Langit, dan dia juga adalah wanita yang sudah menamparku dan berteriak bahwa aku adalah pecundang bodoh. Ku tarik nafas panjang lalu membuangnya bersama angin.

Aku benar-benar menginginkan maaf darinya, jadi ku putuskan untuk melakukan cara apapun untuk meminta maaf padanya sampai dia mau menjadi temanku, atau mungkin menjadi wanita yang istimewa bagiku. Aku merasa ada rasa yang berbeda ketika melihatnya, bahkan ketika kami sama-sama belum bertemu aku sudah jatuh cinta padanya, ya, maksudku dengan puisi-puisi nya, dengan pengetahuan sastra nya, dan tentu saat ini semakin lengkap karna aku sudah bertemu dengan sosok nya. rasa amarah ku lenyap oleh rasa bahagia karena sudah menemukan orang yang bahkan tak pernah ku cari, entahlah ada perasaan yang tak bisa ku jelaskan disini.

Hari ini aku putuskan untuk datang lagi ke gedung ekonomi dan akan ku bacakan puisi yang paling ku suka di blog nya.
Dan saat ku lihat wajah indah itu, aku memanggil namanya. Dia terlihat masih kesal padaku, aku tau dan aku paham karena aku adalah orang yang telah mengambil hasil karya nya untuk bahan tugas kuliah ku, dan aku sadar aku telah salah padanya. Tanpa ku pikirkan rasa malu terlebih dulu, aku membaca puisi nya dengan lantang, tak ku pedulikan bagaimana banyak pasang mata yang melihat kearah kami berdua, yang hanya ku lihat adalah raut wajahnya yang telihat tak percaya pada perlakuanku yang sebegini bodohnya hanya untuk mendapatkan maaf darinya. Ku tutup puisi itu dengan kalimat “I’m so sorry” dan satu tangkai bunga mawar merah yang ku petik disamping gedung perhotelan kampus

Ku tunggu dia membuka mulutnya dan mengeluarkan kata-kata yang ku harap adalah penerimaan maaf. Tapi ternyata salah, harapku tak menjadi nyata. Langit hanya mengoceh tanpa henti, bahkan dia tak mengatakan terimakasih untuk perlakuan ku tadi. Tanpa pernecanaan ku ajak dia makan malam, dan seperti yang ku duga langit pasti menolak, dan seperti yang sudah ku rencanakan juga, aku sudah mempunyai alamat lengkap rumahnya dari teman-teman nya yang kemarin sudah ku sogok dengan nomor ponsel yuda, tak sedikit wanita dikampus ini yang tergila-gila dengan yuda.

Aku sudah mempersiapkan segalanya, jam berapa aku akan kerumahnya, restoran mana yang akan kami jadikan tempat makan malam untuk yang pertama kalinya, dan satu meja yang tempatnya sangat strategis untuk kami saling berbagi cerita.
Sesampai dirumah langit, ku lihat wajahnya yang seperti tak percaya melihatku malam ini. Dengan sombongnya dia katakan “loh ngapain lo jam 7 malem nongkrong depan rumah gue?” wajahnya benar-benar menggemaskan ketika sedang marah seperti itu. Ku paksa langit untuk menerima ajakan ku untuk makan malam, dengan berbagai cara, meskipun dengan berteriak memanggil kedua orang tuanya. Haha sungguh usaha yang bodoh untuk orang yang sedang jatuh cinta.

Saat aku memarkirkan mobil, ku lihat lagi wajah langit yang terkejut lagi melihat restoran yang ku pilih tak sesuai dengan penampilanya malam ini, dan terlihat terkejut lagi saat ku katakan pada pelayan meja yang sudah dipesan atas nama ku, dan untuk yang terakhir ku lihat lagi wajah langit terkejut tau ada satu ikat bunga mawar merah yang sudah ku pesan pada pelayan. Aku cukup senang melihat wajahnya yang terkejut beberapa kali untuk malam ini.
Kami saling berbagi cerita, ku ceritakan tentang diriku padanya, dan ku jawab pertanyaan-pertanyaan yang dia tanyakan tak hentinya. Tapi saat ku tanya mengapa hanya denganku dia berbicara dengan panggilan gue-elo, dia terdiam sejenak, lalu menjawab bahwa dia hanya membaur denga gaya bicara asal kota ku. Padahal aku berharap panggilan aku-kamu disetiap kami bicara, lagi pula aku kan anak jurusan sastra. Kosa kata yang tak biasa.

***

Setelah malam itu, aku sering menhampiri langit dan bertemu denganya. Kami bisa saling bicara, saling membagi tawa kecuali cinta. Setiap hari tak bosan ku paksa dia untuk memanggil ku dengan sebutan “kamu” tapi setiap hari juga langit menolaknya. Pernah ku suruh dia untuk memanggil namaku saja, tapi setelah ku katakan itu langit merubah raut wajahnya seperti kesedihan yang sangat mendalam, suatu rasa kehilangan yang tak bisa digambarakan. Aku adalah orang yang sering membaca blog nya, ku ikuti tahap tiap tahap tulisanya, sampai aku mengerti dan menyadari bahwa ternyata namaku sama dengan nama pria yang dulu dia cintai. Blog nya selalu terisi dengan nama “Angga” siapapun dia, langit pasti merindukanya dan selalu tak percaya pada kabar kematinya. Ya, itu sudah jelas terasa saat ku baca salah satu tulisanya.

Aku tak pernah henti untuk mendapatkan hatinya, setiap hari ku kejar kemanapun dia menghindar. Tak pernah ku permasalahkan jika wajahku terkadang membiru atau memar karena terlalu sering dia tampar. Berhari-hari, berbulan-bulan kami bersama dan aku semakin tak tahan untuk  mengatakan yang sebenarnya.  Pernah satu kali ku tanya apa dia peduli padaku atau tidak, tapi yang kudapat hanya teriakan yang seperti biasanya. Tapi saat ku tanya apa dia menyayangiku atau tidak, tak ada teriakan yang terdengar, hanya keheningan. Aku bingung harus seperti apa aku mengadili semua rasa yang tertumpuk dalam benakku.

Ku pilih tempat dengan jus mangga dan bakso yang biasa ku santap dikantin ini. Tiba-tiba ku lihat punggung wanita yang  tak sing untukku

“Sinta!” teriakku

Wanita itu menoleh “Rangga Prasetya woy! Apa kabar lo dek? kangen gue sama lo” sinta memelukku

“apalagi gue” aku memelukkunya dengan erat

Sinta adalah kaka tingkatku, dia dua semester diatasku, dan dia juga yang selalu membantuku dalam tugas yang tak ku mengerti saat aku baru masuk ke kampus ini. Dia sudah seperti kaka untukku.

“lagi apa lo disini ka?” ku mulai pembicaraan

“kangen gue sama kampus. Ngurusuin bahan buat tugas akhir jadi jauh sama kampus”

“gaya lo so sibuk dah ka”

Kami berdua tertawa

“gimana lo? Udah nemu pacar belom? “

“pacar? Belom ka. Tapi calon ada lah ka!”

“gaya lo so ganteng dah, terus kapan rencana lo nembak dia?”

“sekarang.”

“so? Masih ngapain lo disini? Pergi sana temuin dia”

“ah lo mah dari dulu paling bisa cari solusi. Doain gue ya!” ku peluk lagi tubuhnya sambil tertawa dan berlari ke tempat yang seharusnya ku datangi dari tadi

“semangat dek!” ku lihat sinta sedang melambaikan tanganya padaku

Aku berlari mencari wajah langit, ku lihat dia sedang beregeas kearah gerbang keluar. Ku panggil namanya beberapa kali tapi dia tak berhenti.

“langit!” ku genggam tanganya agar tak meninggalkan aku begitu saja seperti yang sudah-sudah

“kenapa lo?” wajahnya terlihat berantakan

Aku tersenyum lebar, tak bisa ku tahan rasa yang menggebu ini, dada ku berdebar kencang, bibir ku komat-kamit seperti yang sedang membacakan mantar sihir. Ku tarik nafasku dan saat akan ku katakan tiba-tiba langit pergi begitu saja, melepaskan genggamanku dan berlari tanpa menoleh kearahku. Hatiku rapuh

***

Langit menghilang, tak ada kabar, tak membalas semua pesan yang ku kirim padanya, tak mengangkat telepon ku, jika aku harus pergi kerumahnya, aku tak berani. Aku memang payah

Sudah satu minggu lebih aku tak bertemu denganya, aku masih tak mengerti apa yang terjadi padanya. Setiap hari ku datangi ruang kelasnya, dan selalu tak terlihat batang hidungnya. Sampai pada siang itu aku melihat wajahnya muncul lagi. Ku hampiri dia dan bertanya kemana saja dia belakangan ini, dan yang ku dapat hanya hindaran, langit menhindariku

“Lo lagi lo lagi. Bosen gue liatnya!”
Kalimat pertama yang kudengar dari mulutnya. Kami bertengkar hebat, aku terpancing emosi dan ku paksa dia untuk memanggilku dengan sebutan; kamu

“gak mau, Rangga Prasetya” langit berteriak

Untuk pertama kalinya ku dengar dia memanggil namaku. Entah apa yang terjadi padanya dan pada kami berdua.

“lang, kenapa lo jauhin gue?”

“wanita itu… dikantin dekat gedung sastra.” Suaranya terdengar samar

“wanita? Wanita apa sih lang?”

“lupakan!”

Aku terdiam, mencoba mengingat dan yang ku ingat bahwa aku hanya bertemu dengan sinta dan itupun membicaraknya “tapi lang…”

“cukup rangga! Aku tak ingin melihatmu lagi”

“kamu tak pernah tau lang” aku tertunduk lemah dan mencoba menerima bahwa langit tak pernah mau mendengar penjelaskanku. Dan pada akhirnya, aku tak pernah menyatakan cintaku pada langit.

Tanpa tersadar, langit membuatku menangis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar