Jumat, 12 Juni 2015

Bapak Adinda



Mungkin bagi sebagian orang, musik hanyalah sebuah pengantar malam agar cepat terlelap, atau teman untuk tak merasa sedang sendirian. Tapi bagi ku, musik adalah sebuah perantara yang paling mengerti bagaimana menanggapi semua bentuk rasa. Dari mulai marah, bahagia, sampai perasaan kecewa.

Saat ku dengar musik-musik klasik yang keluar masuk melalui kepala ini, aku sudah mulai merasakan ada hal lain. Hati ku ikut merasakan apa yang sedang dirasakan oleh semua musisi pada semua penikmati karya nya. Itulah salah satu hal yang membuat aku sangat mengagumi musik, karena tanpa menjelaskan bagaimana semua perincian isi perasaan, musik mampu menggambarkan semua yang sedang kita rasakan. Hebat bukan.

Beruntung nya, dari kecil aku sudah dibebaskan memilih apa yang ingin ku jalankan. Hobby ku menyanyi dan menikmati musik klasik, meskipun hanya mampu menjadi penyanyi kamar mandi tapi aku sudah memiliki dua orang penggemar setia; Mama dan Bapak.

“Hallo, Assalamualaikum.”

“Waalaikum salam. Sayang, apa kabar?” ku dengar suara nya yang jauh dari ujung telepon sana

“Alhamdulilah baik ko, ma. Mama dan Bapak apa kabar?”

“Syukurlah, Mama alhamdulilah baik-baik saja. Cuma bapak kayak nya lagi nggak enak badan. Jantung nya sakit lagi. mungkin gara-gara kecapean. Kamu nggak usah khawatir ya”

“Loh ma? Dari kapan? Ko dinda nggak tau Bapak sakit?”

“Sudah dari beberapa hari yang lalu. Bapak nggak mau kamu tau.”

“Loh ko Bapak gitu sih?”

“Bapak tau kamu sedang sibuk-sibuk nya latihan untuk penampilan pertama mu nanti malam. Bapak hanya nggak mau kamu khawatir.”

“Tapi ma, dinda juga kan pengen tau kabar Bapak.” Nada ku sedikit bertambah tinggi

“Hallo, Assalamualaikum.” Ku dengar suara yang membuat hati ku tenang dan rindu yang semakin terasa menjengkelkan.

“Waalaikumsalam, Bapak…” suara ku kembali seperti biasa

“Bagaimana kabar mu, nak? Kamu yang rajin ya latihan nya. Bapak tau kamu akan tampil sangat cantik. Bapak tau, anak bapak yang satu ini akan terlihat paling menawan dan megah dengan cello nya.”
“Tapi pak…”

“Kamu nggak perlu khawatir sama bapak. Bapak cuma kecapean. Kamu jangan pulang. Ingat! Bapak tidak mengkuliah kan mu sampai jauh-jauh di luar kota sana hanya untuk menjadi wanita yang cengeng dan gampang menyerah. Bapak tau, uang yang selama ini bapak pakai untuk membiayai kuliah mu tak akan pernah terbuang sia-sia. Bapak tau kamu sangat mencintai musik. Maka dari itu, buat lah penampilan yang akan membuat bapak percaya akan cinta mu itu. Ya nak?”

“Bapak… dinda pasti bakal bikin Mama dan Bapak bangga!!” suara ku mulai melemah, ku tahan air mata yang mulai berjatuhan

“Mama dan Bapak sudah bangga pada mu. Tau kamu diterima di salah satu universitas terbaik dengan memilih jurusan musik, melihat wajah bahagia mu, tanpa kamu tau, Mama dan Bapak sangat bangga pada mu. Ditambah usaha mu untuk membeli cello sampai menyisihkan uang jajan mu, menggendong cello dari kost mu sampai tempat latihan, sampai kamu sangat merasa kelelahan, Mama dan Bapak percaya kamu bisa membuktikan pada kami bahwa kamu serius dengan apa yang kamu yakinkan sejak dulu.”

Tangis ku meledak dan sendu-sendu yang tak bisa ku tahan itu mulai tak lagi bisa ku bendung. Suara bapak yang ku rindukan dimanjakan oleh suara adzan subuh yang mulai berkumandang. Ini lah instrumen yang paling aku dan Bapak sukai. Adzan membuat aku dan Bapak selalu mendekap doa yang sama; kebahagiaan didalam keluarga.

“Nak, sudah sana ambil air wudhu lalu sholat. Berdoa semoga penampilan mu nanti malam berjalan dengan lancar.”

“Iya pak. Amin. dinda shalat dulu. Sama buat Mama. Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

*

Aku berdiri paling depan, disorot lampu panggung yang menyilaukan. Kaki ku bergemetar, mungkin karena ini adalah pertama kalinya aku tampil dengan ditonton puluhan orang. Aku mengambil posisi duduk yang paling nyaman dan mulai menggenggam cello untuk ku mainkan.

Perlahan waktu berjalan, pikiran ku terbuyar oleh keadaan Bapak yang sangat ku khawatirkan, ditambah ku lihat dua kursi yang kosong didepan. Tadinya, itu adalah kursi yang dipersiapkan oleh panitia acara untuk anggota keluarga. Sesekali aku memejamkan mata, mengingat semua perkataan Bapak untuk ku, soal bangga nya bapak pada ku.

Tiba-tiba ku lihat wajah pria yang damai, dengan kerutan yang mulai terlihat di sudut-sudut wajahnya, dia memandang kearah ku dengan mata yang berkaca-kaca. Senyum nya yang menghancurkan segala bentuk rindu. Pria itu tersenyum kearahku, menikmati permainan cello ku. Dengan sekejap, aku semakin bersemangat sampai ku dengar tepuk tangan yang meramaikan semua isi dalam kepala.

“Adinda.” dengan cepat aku mencari sumber suara yang kudengar

“Bapak.” Ku peluk pria itu dengan erat

“Bapak bangga sekali padamu.” Bapak membalas pelukan ku dengan sesekali mengusap punggung ku

Malam itu sendu-sendu tangis yang sudah tak bisa lagi ku hitung menjadi instrument musik klasik yang akan selamanya mengingatkan ku bahwa pria yang sedang ku peluk ini adalah pria hebat yang bisa menahan sakit dari perjalanan antar kota yang mil-mil jauhnya hanya demi untuk melihat penampilan pertama ku.

Jika menurut Bapak musik adalah segalanya buat ku, maka musik ku adalah Bapak.

4 komentar:

  1. Wah perjuangan seorang bapak untuk anaknya :')))

    BalasHapus
  2. Terimakasih untuk cerpen nya :)
    Bapak adalah seseorang yang selalu siap menangkapku ketika aku terjatuh dari harapan aku:) ❤

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bapak mu itu juga sudah seperti Bapak ku. Jadi, kalau kamu sakitin Bapak mu berarti nanti ku gampar kamu. Haha

      Hapus