Kamis, 05 Desember 2013

Jangan Pernah Tau

aku mendengar suara lagi. Berbisik namun pasti akan aku ketahui apa maksud dari semua ini. Aku mendengar nya semakin jelas, hantu yang tak menjelma, suara yang bergema menjadi saksi bisu akan perasaan ku yang selalu memperhatikanmu dari jauh, selama ini sudah ku jaga dengan hati-hati agar suara bisikan ini tak terdengar oleh mu.

            “Aku sayang kamu, tapi kamu gak perlu tau. Aku mohon”

aku tersenyum setiap kali melihatmu, kamu bukan kapten basket,  juga bukan termasuk anak populer di sekolah, kamu tidak tampan, tidak juga mempunyai badan atletik, kamu juga tidak tinggi, dan kamu benar-benar payah jika harus bicara dengan seorang wanita. Tapi ketika kita bicara, setiap kali kamu bicara dengan memandang wajahku, aku merasa bahwa kamu pintar dalam hal menggombal. Kamu berbeda.

            “Kita bertemu pertama kali di Lapangan parkir sekolah. Satu tahun yang lalu, waktu itu aku masih memakai seragam putih abu-abu.”

Ingatanku menyentuh lagi peristiwa yang tak pernah ku lupakan, ketika aku melihat kamu sedang sibuk mencari disebelah mana motormu kamu parkir kan. Perhatianku tertuju pada kamu yang sibuk mengkerutkan wajahmu dengan waktu yang sangat lama. Dan ketika motor mu telah kamu temukan, wajahmu berubah menjadi putih kemerahan, dengan bibir yang menyerupai bulan sabit. Wajah mu memerah karena panas hari itu sangat terik, yang mungkin saja bisa membakar wajahku karena sudah lama berdiri memperhatikanmu dari kejauhan, tepat di depan laboratorium computer.

            “Apa aku mengenalmu? Apa sebelumnya kita pernah bertemu? Dari mana asalmu? Mengapa laki-laki biasa sepertimu mampu membuat matahari terik menjadi langit senja yang indah untukku”

Aku menghela nafas perlahan, terus kulakukan sehingga membuatku terlihat seperti ibu-ibu hamil yang akan segera melahirkan seorang bayi mungil. Aku melihatmu lagi, membuntuti setiap langkahmu tanpa melihat jalan dihadapanku. Aku berhenti sejenak dan melihat kamu yang seakan tak pernah melihat keberadaanku. Aku tersenyum, namun yang kau lihat hanya wanita bodoh yang belum bisa mengajakmu untuk berkenalan.

“Haruskah aku yang mulai terlebih dulu untuk mengajakmu berkenalan?”

Bahkan untuk berkata “hay” padamu saja sudah membuatku mati ditempat. Aku terlalu bodoh untuk mengajakmu bicara, apalagi untuk berkenalan, rasanya memang harus ku lupakan. Aku yang tak terlihat akhirnya harus memutuskan untuk pulang, kembali ke langit-langit kamar yang hanya bercahaya ketika aku ingin melihatnya, berbeda dengan kamu yang tetap bercahaya meski bukan aku yang melihatnya. Kamu bersinar.

Dan malam ini isi pikiranku hanya tentang kamu. Bagaimana dengan kamu yang tidak pernah melihatku. Aku benci malam ini, karena ini akan menjadi akhir penantianku yang tak kunjung lelah dalam memendam.

            “Kamu tersenyum padaku di lapang parkir sekolah hari itu. Tepat di tempat pertama kali kita bertemu”

Aku terdiam, masih membingungkan langkahku untuk pulang. Aku tak ingin melihat kamu ketika aku harus melewati lapang parkir itu. Aku benci melihat kamu yang tak pernah melihatku. Lalu tiba-tiba langit menjadi rintikan, kemudian berubah menjadi deras hujan. Aku menoleh ke arahmu, tak terlihat, kamu sudah menghilang. Aku khawatir kamu berteman dengan deras hujan diperjalanan akan pulang, dan angin itu masuk ke tubuhmu. Aku takut kamu sakit, aku takut tak bisa melihat wajahmu disekolah esok hari.

Aku benci dengan tatapan kosong mu ketika melihatku. Aku tak memandang apapun, selain memikirkan bagaimana keadaan mu dengan hujan di perjalananmu pulang. Lalu pikiranku tersambut oleh hentakan dibahu kanan ku. Tersenyum, bercahaya, dan sempurna. Kamu tersenyum. Kita bertatapan, kita berbicara, kamu mengenalku, kamu tau namaku, kamu tau aku penyuka music beraliran keras, kamu juga tau bahwa aku selalu menyempatkan hadir di acara penggelaran acara music. Aku suka gaya bicaramu yang perlahan, kamu membuatku tak pernah sekalipun berfikir untuk menyerah mendekatimu.

Kita saling berkomunikasi, pesan singkat, tatapan disekolah. Semuanya terasa nyaman, meskipun perasaan ini tetap ku pendam. Ku fikir cukup mencintaimu seperti dulu saja, diam-diam. Hanya menatap, tanpa berucap.

            “Apa kamu lihat usahaku? Aku masih mempertahankanmu dalam pendamku”

Kamu datang dengan menggenggam hadiah pada hari istimewaku. Aku terlihat bodoh karena tau ternyata kamu peduli akan hadirku. Tentang tatapanku, aku harap kamu mengerti bahwa perasaan ku ini tak tertandingi, meskipun akan dibandingkan dengan sosok lain.

            “Bukan hanya aku yang mencintaimu. Ternyata bukan hanya aku yang selalu menatapmu.  Tapi, apa mereka yang mengatakan sangat mencintaimu melebihi cintaku tau tentang semua usahaku? seberapa sering aku diam-diam membuang waktuku hanya untuk memperhatikanmu dari jauh. Aku tak ingin menjadikan ini sebuah kompetisi dalam mendapatkan hatimu.”

Karena bagiku, hatimu terlalu utuh untuk dimiliki seorang pengecut sepertiku, aku terlalu takut untuk mengatakan bagaimana kondisi hatiku ketika kamu menyatakan tentang isi hatimu, tentang perasaanmu, tentang pernyataan cintamu padaku. Bukan nya aku yang tak ingin mengakhiri usahaku yang sebenarnya sudah cukup lelah untuk terus memendam. Tapi aku tak ingin menyakiti siapapun ketika sedang mencintaimu.

            “Anggaplah aku yang telah berhasil dalam usahaku memendam. Aku tak ingin kamu tau”

Aku memendam, lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar