Selasa, 09 Juli 2013

Love Walks On Two Feet



Entah harus aku buat dari mana cerita ini, aku pun sebenarnya tidak tahu apa ini sebuah cerita yang sanggup aku ceritakan pada semuanya. Sebenarnya aku juga tidak tahu menahu tentang ini dan semua masalah ini, aku tidak tahu apa ini sebuah kisah dongeng ataupun mitos lainya, aku juga tidak tahu apakah ini tentang perasaan ku, tentang kehidupanku, atau tentang semua yang berkaitan denganku. Yang pasti saat ini aku merasa bahwa semua anggota badan ku sedang dikendalikan, semua pemikiran diluar jangkauan, wajahku pucat dan pipiku basah karena air mata yang tidak bisa lagi menahan sakitnya yang sedang aku alami saat ini. Hati ini rasanya telah mati, jantung yang harusnya terus berdetak rasanya berhenti begitu saja. “Apakah ada yang mengerti apa yang aku rasa saat ini?”

                                                              *

            Kehilangan seseorang yang harusnya bisa untuk aku miliki meskipun hanya sebentar saja. Rasanya Tuhan tidak adil untuk mengatur semua hidupku, padahal aku sudah memberikan kekuasaan penuh terhadap hidupku padanya. Haruskah aku memperbaiki hidupku yang sebenarnya sudah berada pada akhir kematianku malam itu.

            Harusnya aku bisa, aku bisa mencari sebagian tubuhnya yang hilang atau memberikan yang terbaik jika seandainya aku tahu Tuhan akan meninggalkanku tanpanya. Atau haruskah aku pergi mencarinya untuk memberikan sebagian tubuhnya yang hilang walaupun aku dan Tuhan tahu dia tidak mungkin akan memintanya kembali. Tapi apakah Tuhan tahu tentang perasaanku saat ini, yang hancur tergeletak begitu saja bersama cintaku dan perasaan serba kehilangan akan dirinya terhadapku, atau aku harus meninggalkan Tuhan untuknya, atau aku harus pergi mencarinya dan putuskan untuk tinggal bersamanya.
Semua tidak ada yang mengenaliku tanpanya, aku ingin pegi bersamanya seperti hari itu, dimana saat dia mulai merasakan cintaku yang tulus dan memberikan kepastian yang indah jika seandainya dia bisa menjadi milikku selamanya.

            Apa Tuhan tahu yang ada dipikiranku saat ini, atau apa semua orang yang memandangku ragu tahu bahwa aku bisa saja sekilas membunuh mereka jika seandainya mereka mencoba membawa dia dari ku. “Dia harus selamanya bersamaku”.
Aku inginkan dia untuk menjadi milikku...
Aku inginkan dia untuk tetap bersamaku...
Aku inginkan dia untuk selalu ada untukku...
Aku inginkan dia untuk “Selamanya”

                                                            *

            Sudah mengertikah?
Ingin rasanya aku menjerit, karena menangis sudah tidak bisa aku keluarkan lagi, atau membisu karena kepedihan hatiku yang tak kunjung sembuh. Semua hanya bisa memandangiku, merapat dan mencoba menyadarkanku bahwa sesungguhnya masih banyak orang diluar sana yang akan ada untukku tanpa aku minta. Dan pada akhirnya “hanya dia yang aku inginkan”.

            Sadari bahwa dia tidak bisa untuk menjadi milikku, sadari bahwa bukan dia yang nanti akan berada di hari-hari ku, sadari bahwa dia tidak mungkin dapat menerima ku, sadari bahwa dia telah meninggalkanku, sadari bahwa hanya dia yang ada dihatiku selamanya, sadari bahwa cintaku hanya untuknya, selalu.
Menyadarinya bahwa aku akan selalu ada untuknya, menyadarinya bahwa aku memang ada untuknya, menyadarinya bahwa disini hanya aku yang ada untuknya, sadari bahwa dia telah mati.

            Akan aku coba untuk mengingat kembali kisah yang paling pahit dalam hidupku saat ini, karena hanya ini yang bisa aku lakukan. Menulis semua tentangnya, cinta selamanya.

       Aku, Charla Nanda Amanda.
Ini berawal dari kisah cinta SMA, kisah-kisah yang mulai tumbuh saat hati mulai merasakan kehadiran cinta tersebut. atau saat cinta itu perlahan masuk dalam arena terlarang di sudut-sudut di dalam hati, dan saat cinta itu masuk, cinta itu tumbuh perlahan bermekaran seperti bunga matahari pagi, sehingga akhirnya tumbuh menjadi bunga berwarna kuning cerah cantik yang indah.
Dan saat itu juga aku mulai memandangi dia, sosok pendiam disudut perpustakaan dengan pensil yang terselip di sela telinganya. Dia selalu berdiri dengan menyandarkan tubuhnya pada dinding disudut perpustakaan tersebut. Sejak pertama aku masuk disekolah ini, yang selalu aku lihat pertama kali adalah uniknya gedung sekolah, teman-teman, kemudian sosok dia. Dari pertama aku bertemu denganya, aku sudah merasakan cinta SMA ku akan mulai tumbuh perlahan. Ditemani waktu dan bertemunya hari-hari disekolah ini membuatku terus merasakannya. Hari-hari ku terasa indah bila berada disekolah, aku bisa menghabiskan jam pelajaran ku hanya untuk melihatnya di perpustakaan. Aku selalu mencoba untuk dipandang olehnya meski hanya sekilas.

            Aku mendekatinya sudah hampir satu tahun, apalagi sekarang dia akan meninggalkaan sekolah, tepat hari ini aku tahu dia akan mengambil kelulusan dengan senyuman lebar. Ini adalah tahun terakhir dia sekolah disini, rasanya lemas tahu dia akan pergi meninggalkan sekolah ini, tidak akan ada sosoknya disudut perpustakaan itu. Percayalah, hampir satu sekolah tahu bahwa aku sudah lama menyukainya. Tapi entah, dia tetap memberikan sikap cuek nya terhadapku, tidak ada rasa peduli akan kehadiranku, dan begitu pula aku yang tetap teguh menunggunya sampai dia menyadari bahwa ada aku disini yang menyukainya. Sering bertanya pada diriku sendiri, apa aku akan bertahan.
Aku juga tidak tahu pasti apa yang menyebabkan aku begitu sangat menyukainya, apa ketika saat dia membantuku mengangkat barang-barang pindahan rumah baruku yang tepat berada di depan rumahnya karena mamah memutuskan untuk menjual rumah kami yang dulu dengan menggantinya dengan rumah di kompleks dekat sekolah ku juga kantor mamah, atau saat dia menegurku ketika tali sepatuku lepas, atau saat aku lupa membawa bekal makan ku dan mamah menitipkannya padannya, atau saat aku menyadari bahwa anak perempuan yang aku buat menangis adalah adiknya sehingga dia harus menemuiki dan memintaku untuk meminta maaf pada adik perempuan kecilnya, atau saat dia memberikan senyum terbaiknya padaku saat malam itu.

            Malam itu aku mencoba membuka jendela kamarku, tak sadar dia pun begitu, dia tersenyum padaku, melambaikan tangannya padaku, tiba-tiba alarm ku berbunyi... ketika aku akan mematikanya, tersadar waktu telah menunjukan pukul 08.00 pagi. Aku turun kebawah untuk mencari mamah, dan dalam ketergesa-gesaan mamah malah membuat memo yang ditempelnya di pintu kulkas saat aku hendak akan membawa minuman, tertulis disana “Sayang, hati-hati ya dirumah. Mamah ada keperluan mendadak dan harus ke luar kota sekarang. I love you.”
Aku hanya bisa memandangi memo kecil tersebut, aku melihat tulisan tangan mamah yang dari dulu tidak pernah berubah sejak ditinggal papah bekerja ke Hong kong. Papah hanya pulang satu atau lima bulan sekali, saat pulang pun aku tetap tidak bisa bertemu dengannya, karena jika papah pulang kerumah pun pasti hanya sekedar makan siang kemudian berangkat bekerja lagi. Jika di ingat-ingat ini 3tahun nya aku tidak bertemu dengan sosok papah. Dulu papah tidak sesibuk ini, tapi setelah mengalami kebangkrutan karena tertipunya usaha papah dalam jumah besar maka dari itu papah harus bekerja lebih keras agar dapat mengstabilkan semuanya. Kemudian mamah menjadi sangat sibuk kesana-kemari mengurus dirinya sendiri, aku hanya ditemani satu computer dikamarku, tidak ada sosok seorang kakak ataupun sosok adik atau sanak saudara lainya. Aku hanyalah aku ditempat ini. Jika merasakan kesepian itu lagi, aku menangis.

            Tiba-tiba terdengar suara –Dia-
Aku mencoba mengangkat kepala yang sudah aku tundukan kurang lebih dua sampai delapan menit. Aku mencoba mengusap air mata yang sudah cukup deras aku keluarkan. Dia menanyakan mengapa aku menangis. Dengan waktu yang singkat aku erat memeluknya, aku ceritakan semuanya. Rasanya nikmat, tidak ada beban dan tidak lagi kesepian, aku merasa bebas. Aku merasa hidup kembali. Dan itu hanya dengan memeluknya, begitu istimewanya bukan seorang... Rangga Sastra Wijaya.

            Dia menyuruhku untu segera mandi, aku menurutinya. Dia menyuruhku untuk memakai baju yang aku sukai, aku menurutinya. Dia menyuruhku untuk ikut denganya, dengan senang hati aku menurutinya. Dia memakai parfum yang aromanya wangi hingga menyentuh hatiku dan menumbuhkan cinta yang berlimpah terhadapnya.
Dia memberhentikan sepeda motornya tepat dibelakang rumahku. Aku bertanya-tanya, untuk apa dia menyuruhku mandi, memakai baju yang ku sukai, menaiki sepeda motornya hanya untuk pergi ke taman belakang rumahku.
Tiba-tiba dia beranjak, tetapi tidak memintaku untuk turun dari sepeda motornya. Dia berdiri tepat didepanku, untuk pertama kalinya aku memanangnya dari dekat. Aku melihat senyuman itu, sangat jelas senyuman yang sangat indah. Dia memegang tanganku dan perlahan mengatakan sesuatu... “Charla, ma...mau..k...kaah kamu temani  saya untuk mengahdiri perpisahan sekolah besok hari?”. Perlahan tapi pasti aku menjawab “tentu saja Rangga.” Dengan cepat dan tanpa pikir panjang aku menjawabnya.

            Hari itu, aku ingin terlihat seperti putri yang khusus hanya untunya. Aku memakai baju yang sebelumnya belum aku pakai, aku merias wajahku yang sebelumnya belum pernah aku rias, aku menggeraikan rambutku yang sebelumnya selalu aku ikat. Dan ternyata dia tidak menyukainya, dia menyuruhku untuk terlihat apa adanya. Dia tidak menyukai pakaian ku yang aku paksa dengan terlihat gemerlap, dia tidak menyukai wajahku yang aku rias entah berapa arah. Dia hanya menyukai aku, aku yang seperti biasanya.
Aku kembali ke kamarku, mengganti bajuku menjadi lebih simple tapi tetap modis, rok mini dan baju pink dengan renda-renda, jaket jeans dengan lipatan seperempat di tangan, sepatu converse berwarna pink, dan mengikat rambut dengan satu ikatan. Aku mulai berdoa “Tuhan, ijikan aku untuk menikmati malam ini”

            Sesampai di acara perpisahan sekolah, dia memeggang tanganku erat, mengenalkanku pada teman-temannya, dan yang paling bisa aku rasakan “aku dekat dengan dia”.Tuhan mendengarkan semua cerita dan rengekan ku setiap hari.
ini semua ternyata telah membuatku melupakan waktu, sudah hampir 10 jam aku dan rangga bersama. Dari pukul 09.00 hingga pukul 19.00 WIB kita telah bersama. Aku merasa dia akan menjadi milikku, dia akan bersamaku.
Sebenarnya aku tidak ingin pulang, tidak ingin meninggalkan malam ini dan  semua kesenangan ini. Tapi siapakah aku jika melarangnya untuk tidak pulang. Aku berpamitan pada teman-temannya.

            Di perjalanan pulang, dia menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang membuatku sedikit gila. Dia menyuruhku untuk menikmati malam ini, menjerit semampunya pita suaraku menguras semua tenaga suaraku dan melawan angin malam yang menusuk dalam tubuhku meskipun aku telah memakai jas miliknya.
Dia menyuruhku untuk merasakan bagaimana hidup yang sesungguhnya, dia menyuruhku untuk tidak menunggunya lagi disudut perpustakaan, dan yang terpenting dia ijinkan aku untuk memeluknya, itu hal yang sudah berjam-jam aku tunggu.
Aku memeluknya erat, sangat erat sambil mencoba mengingat pertemuan-pertemuan singkat dengannya di hari-hari yang tidak jelas, bagaimana usaha ku untuk mendekatinya dan bagaimana sikap cuek nya terhadapku.

            Dia memulai pertanyaan “kenapa loe suka gue?”. Hatiku mulai merasakannya kembali, getaran hebat yang mulai terasa lagi. Mungkinkah ini saatnya untuk memulai cerita baru dalam percintaanku. Oh Tuhan tolong tunjukan bahwa aku tidak sia-sia menyadarkannya bahwa ada aku disini yang selalu menunggunya.
            “Iya! gue suka sama loe rangga. Dari dulu! Dari dulu!!!” aku teriak diiringi dengan angin malam yang waktu menujukkan tepat jam sepuluh malam. Dan terdengar pertanyaan terakhir dari mulutnya “terus loe berharap apa dari gue?”. “loe-gue-selamanya.” Pernyataan paling akhir terdengar dari mulutnya, yang aku dengar memang dari dia: “maaf”

                                                                *

Kematian itu menyakitkan, tanpa kepastian dan keindahan tiba-tiba hilang dan pergi tanpa pamit pada cintaku. Semua pergi, semua pergi tanpa ijin dariku. Dia pergi entah pergi untuk pertama atau dia akan datang lagi padaku. Terdengar lagi... “telah terjadi kecelakaan sepeda motor. Polisi menduga karena saat itu lampu-lampu yang berada di jalan sedang mengalami kerusakan dan karena kecepatan sepeda motor yang tidak terkendali dan tidak menyadari bahwa jembatan yang berada didepannya sedang berada dalam perbaikan.” 
           
            Itu aku dan dia, mati dalam suasana keindahan dan malam yang sempurna. Dan mamah yang menangis melihatku terbaring tidak berdaya di ruang ICU, mamah berkata sudah hampir lima hari aku tertidur lelap. Aku tersenyum lepas pada mamah karena terlihat sosok papah yang telah bertahun-tahun tidak aku temui berada disampingnya. Ada mamah Rangga yang memelukku erat, memandang wajahku dan melihat semua anggota tubuhku. Mengusap rambutku dan mencium keningku. Akupun kembali memberikan senyum padanya. Terlihat gadis kecil yang dulu pernah aku buat menangis berada di ranjang tidurku dan memegang tanganku, mulai memperlihatkan senyumnya dan berkata “maaf”.
Hatiku mulai merasakannya kembali, getaran yang hebat mulai terasa lagi dan menyadarkanku. “Dia... dimana rangga?” aku menjerit kesakitan, dia menghilang, tidak terlihat wajahnya ketika aku terbangun. Tiba-tiba dadaku sesak, nafasku mulai tak beraturan, orang-orang dengan berpakaian putih itu berlari menghampiriku dengan membawa alat-alat perawatan, juga suntikan.

            “Loe-gue-Selamanya”
Aku taburkan bunga merah dan seikat bunga kamboja tepat disamping nama, sepi dan sunyi, hanya kicauan burung-burung, suara pohon yang menghilir terdengar ditelingaku dan jeritan ku memanggilnya tanpa sebuah kaki.

                                                                    *

Dia meninggalkan aku tanpa alasan dan sebuah kepastian, baru aku merasa bahwa Tuhan mendengar semuanya tentang isi hatiku. Kecelakaan itu membuatku buta karena benturan di kepala yang disebabkan karena tidak terdapat helm di kepalaku. Dan dia, dia telah memberikannya padaku hingga aku bisa melihat tempat tidurnya yang indah bertaburan bunga-bunga cantik. Walaupun kaki ku telah menemaninya disana. Dan sekarang aku menunggu cintanya lagi dalam keadaan fisik ku yang cacat.

            Hari semakin hari aku semakin gila dan tidak waras, aku selalu menunggunya di sudut perpustakaan itu, aku selalu menunggunya dia taman belakang rumahku, dan aku selalu menunggunya di sebrang jendela kamarku, aku menunggunya dihatiku.
Mamah dan papah selalu berusaha meyakinkanku bahwa masih ada Tuhan di setiap hari-hari ku. mamah memasukan aku dalam pondok pesantren dan papah selalu menemaniku. Tidak pernah aku melewatkan shalat dan berdoa pada Tuhan agar berbaik hati mengembalikan dia padaku. Setiap hari aku berdoa agar cinta ku bisa berjalan dengan kedua kaki ku yang telah hilang. Aku telah kehilangan seseorang yang tidak pernah aku milikki.

Hingga akhirnya aku bisa kembali melihatnya dengan berjalan memakai kedua kaki ku untuk mempertemukan cinta karena kecerobohanku mengendalikan kehidupan yang sebenarnya telah mengikutiku sejak kecelakaan itu, dia menemaniku dalam kanker otak yang tidak diketahui telah parah. Aku yakin, aku akan mati dengan perasaan bahagia karena telah menemukan Tuhan dari dalam hatiku.

“Innalilahi wainalilahi rojiun”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar